Minggu, 25 Mei 2008

BIARKAN CELURIT ITU BERSAKSI

Oleh: Achmad Ridwan

Matahari sudah lama tenggelam, tepat saat menunjukkan pukul 22.00. Kembali lelaki itu keluar dari persembunyian. Bagai kelelawar ia terus bergerak menyibakkan ilalang di antara pepohonan yang rapat. Sendiri, hanya suara sunyi yang menemani.
Tiba-tiba puluhan cahaya lampu sorot berkilauan, berputar laksana sirine menerobos kesegala penjuru, di antara ilalang dan pepohonan. Cahaya itu kian mendekat. Terdengar pula teriakan orang-orang “cari sampai dapat..! jangan biarkan manusia itu lolos! ayo terus carii..!” teriak yang lain menimpali hingga membuat pengejaran itu semakin menakutkan.
Bagai disambar petir lelaki itu tersentak, dengan cepat dibenamkan tubuhnya ke lumpur kali yang berbau busuk, bau kematian menusuk, untuk mengelabui masa agar tak terlihat. Setelah dirasa aman, tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang pekat, penuh duri, batu-batu dan pohon yang tumbang, ia berlari sekencang-kencangnya sambil menggenggamku.
Darah ini sudah lama mengering dari tubuhku. Aku ternoda. Aku adalah makhuluk laknat yang terciptakan.
Ia tersengal. Sekilas kutangkap teror yang teramat dasyat dari raut wajah yang penuh ketakutan itu. Tiba-tiba ia berhenti, sepasang matanya yang tajam berusaha menembus kepekatan malam. Ia menoleh, menyelidik di sekeliling sambil terus mendengus dengan nafas yang boros. Telinganya berusaha menangkap suara-suara sekecil apapun, tak ada yang terlihat, tak ada yang terdengar, jantungnya begitu cepat berdegup.
Aku kedinginan. Sudah tiga hari - tiga malam ia diburu akibat peperangan besar itu. Dan tubuhku tak pernah berhenti diseretnya. Entah sampai kapan.
Cerita ini terjadi di sebuah pinggiran kota kecil yang tidak jauh dari negeri seberang. Bermula atas matinya Muhidi Guntur, preman gondrong yang malam itu ia dengan sebelas kawan-kawannya mabok di sebuah warung minuman. Tak jelas apa yang menjadi permasalahan tiba-tiba sekelompok anak muda itu mengamuk sejadi-jadinya. Mereka menghancurkan semua yang ada di situ, membanting gelas, mematahkan dan membalikkan meja kursi, menendang dan memukul orang-orang yang kebetulan sedang minum walau mereka tak tahu menahu, menghantam kepala si Maman dengan botol bekas minuman keras hingga kepalanya gegar otak dan terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit.
Tidak hannya itu mereka juga mengamuk di terminak induk. Dua orang sopir bus dan seorang tukang becak juga tak luput dari amukan mereka. Ketiganya tergeletak pingsan setelah beberapa bogem mentah dan sebuah hantaman benda keras mendarat di kepala mereka. Tiga orang penduduk dan didampingi dua polisi datang untuk melerai dan mengamankan situasi, mereka mencoba untuk menghalangi apa yang mereka ingin lakukan. Namun semuanya harus berakhir di rumah sakit dalam perkelahian yang tidak seimbang itu. Dan di akhir amukannya Muhidi Guntur dan sebelas kawannya membakar tempat itu sebagai pelampiasan sikap marahnya atas terlukanya Ali Botak, sahabat sejatinya yang dituduh mencuri di salah satu rumah warga, dan pulang dalam keadaan babak belur. Menurut pengakuannya ia dianiaya oleh pemuda kota tersebut.
Terlepas benar atau tidaknya pengakuan Ali Botak, yang pasti seluruh kota seketika terhenyak mendengar terminal dibakar oleh para preman yang dipimpin oleh Muhidi Guntur. Sembilan orang masuk rumah sakit, dua diantaranya adalah anggota kepolisian. Karuan saja seluruh masyarakat menjadi marah.
Di pagi itu, dua puluh delapan orang yang rata-rata adalah pemuda usia sekitar duapuluh limaan berniat balas dendam. Dicarilah Muhidi Guntur dan gengnya ke segala penjuru kota. Polisi tak kuasa menahan masa yang sudah terlanjur marah, dan kebetulan mereka geram juga sebab dua anggotanya menjadi korban akibat aksi brutal dari preman-preman yang dipimpin Muhidi Guntur.
Tidak kurang dari tiga hari, Muhidi Guntur tertangkap. Ia mati setelah dieksekusi oleh masa. Otak terburai keluar dari kepalanya, dan matanya melotot nyaris lepas. Dan kesebelas kawan-kawannya, tiga diantaranya mati sedang yang lain melarikan diri entah ke mana hilang seperti ditelan bumi.
Kematian Muhidi Guntur membuat darah Markeso Guntur mendidih. Ia adalah abang dari Muhidi Guntur. Sosoknya tinggi besar, dikenal sebagai kepala preman yang konon mempunyai kesaktian yang luar biasa. Ia kebal terhadap segala jenis senjata tajam juga senjata api. Karena kekebalannya itulah, ia dinobatkan sebagai kepala preman. Tak seorang pun berani mengusik, apalagi berusaha untuk merebut wilayah kekuasaannya. Sudah lima kali ia keluar masuk penjara, tapi pamor Markeso Guntur tak pernah luntur. Malah sebaliknya, semakin sering masuk penjara maka derajat kehebatannya makin meningkat.
Di siang itu, tiga puluh menit setelah azan sholat Dzuhur, dengan kemarahan yang memuncak, Markeso Guntur mengamuk di tengah kota laksana harimau luka. Amuknya melebihi kebringasan adiknya. Segala yang dilihat dan ada di depan matanya akan jadi sasaran. Sebuah mobil pribadi yang baru keluar dari shouroom ringsek dan terbakar. Orang-orang berlarian mencari selamat. Semua ketakutan.
Bagai orang yang mendapatkan bisikan gaib, ia pun tahu apa yang harus dilakukannya.
“Jika tak seorang pun yang mau mengakui siapa pembunuh adikku.” Ia berkata penuh kepastian, “maka itu berarti seluruh kota ini adalah pembunuhnya.”
Sehari kemudian di Senin itu, ketika matahari baru tenggelam satu jam yang lalu. Bersama sekitar empat puluhan anak buahnya, di saat orang-orang harus berkumpul ditengah-tengah keluarga mereka karena letih oleh aktivitas kerja, ia melakukan aksi paling brutal yang akan diingat sejarah sebagai saat-saat paling mengerikan. Dan aku pun dibawanya.
Mereka akan menghancurkan kota. Secara terang-terangan tanpa takut dengan aparat yang mulai siap siaga dengan senjata lengkap. Markeso Guntur maju dan diikuti lebih dari empat puluh anak buahnya. Penduduk kota bersama aparat berhadapan dengan pasukan kecil yang dipimpin langsung oleh jawaranya preman. Mereka siap untuk mati demi membela sesuatu yang aku sendiri tidak pernah mengetahuinya. Mengapa semuanya bisa terorganisir sedemikian rapi? Apakah memang benar hanya gara-gara kematian seorang Muhidi Guntur dan tiga begundalnya mereka rela untuk mati? Atau ada muatan-muatan kepentingan lain? Semuanya samar.
Perang itu akan terjadi pada detik ini. Kota itu sebentar lagi akan berubah menjadi lautan darah. Semuanya membawa senjata-senjata pembunuh yang mengerikan. Beberapa diantaranya menenteng senapan angin rakitan, yang lain mengayun-ayunkan klewang panjang dan pedang terhunus. Kota terdiam dalam puncak ketegangan.
Terdengar suara menggema bagai raungan traktor menembus sunyi. “Serbuuu!” Entah siapa yang memulai. Semuanya berwarna merah. Kurasakan tubuhku terus diayun-ayunkan olehnya entah sudah berapa kali, mungkin ratusan atau malah ribuan. Semuanya sama, hanya warna merah itu yang kulihat. Beberapa kali tubuhku menerjang pemuda itu!. Darah muncrat setelah aku menghujam masuk di dadanya. Sembilan luka menganga. Ia terkapar dan mati.
Situasi menjadi caos. Kedua belah pihak mulai saling membunuh. Satu-satu nyawa melayang menghadap Tuhannya dengan membawa dendam. Sukmanya melayang lepas dari tubuh dan tak tahu pengadilan apa yang akan dihadapinya di akhirat. Semuanya misteri, semisterinya pengetahuanku akan kasus ini, sampai detik ini. Dalam pelarian tiga hari - tiga malam yang penuh teror.
Grook…! Aku mendengar suara dari urat leher yang putus setelah tubuhku membabatnya. Darah muncrat membanjiri tanah. Histeris, raungan kesakitan dari tubuh-tubuh yang meregang nyawa membuat ragaku bergetar. Anak-anak kecil menjerit, perempuan-perempuan menjerit, rasa kemanusiaan ngumpet di ketiak Dajjal yang laknat.
‘Inikah yang namanya manusia.’
“Jangan kau ajak aku untuk terus membunuh...! Lemparkan aku ke dasar jurang yang dalam itu…!” Teriakku lantang, namun tak terdengarkan, ditelan teriakan perang yang memekakkan telinga. Suara jeritan. Suara erangan. Suara tembakan dari senjata-senjata laras. Suara-suara itu terus bergema menantang malam untuk terbungkam. Tak ada yang mampu menandingi kerasnya suara itu. Bintang pun tertunduk. Malaikat maut mengadu. “Tuhanku, ada apakah ini?”
Langit di atas kota memerah. Bumi pun berdarah. Manusia tak tampak lagi sisi kemanusiaannya
Empat jam berlalu. Yah, hanya empat jam. Hening. Kesunyian menyelimuti seluruh kehidupan yang sudah porak-poranda. Meninggalkan trauma yang tak mungkin terhapuskan dari ingatan, entah sampai kapan. Tragedi berdarah tergurat jelas di antara ingatan dan rasa frustrasi yang memuncak sampai mencapai titik kegilaan yang benar-benar gila. Akal pun tak mampu memikirkan, mengapa sampai terjadi pembantaian seperti itu?
Api masih terus membakar rumah-rumah yang tinggal seper empat. Empat puluh empat anak buahnya mati. kecuali dia!
Mereka mati diterjang peluru ataupun sabetan pedang dan klewang. Dan enam diantaranya dalam keadaan luka parah, walau akhirnya pupus setelah kepalanya dipenggal dan ditancapkan di ujung tombak sebagai simbol umbul-umbul kematian.
Tidak kalah memilukannya, sekitar tigapuluh empat penduduk kota itu pun mati. Lima aparat polisi mati, satu diantaranya luka parah. Beberapa wanita dan anak-anak itu pun menjadi korban. Mereka diyatim – piyatukan oleh perang.
Bapak dua orang anak itu tempurung kepalanya pecah. Si Agus yang penjaga toko itu tubuhnya terbelah menjadi dua mulai dari kepala sampai ke selangkangan. Dan dua belas orang-orang itu kepala mereka terlepas entah ke mana. Sungguh kematian yang tragis.
Melihat seluruh anak buahnya mati, ia melarikan diri menuju bukit hutan lindung di pinggiran kota. Tak tahu mengapa ia harus lari? Mungkinkah kesaktiannya itu hanyalah mitos belaka?
Penduduk kota mengejar. Seratus orang lebih dibantu polisi memburunya bagai seekor rusa yang akan dijadikan santapan harimau lapar. Mengaung melebihi apapun. Hutan itu merinding meringkuk berselimut malam sambil menutup mulut rapat-rapat. Tak berani bersuara.
Aku mendesah. Belum genap satu bulan aku bersamanya, sudah sembilan nyawa melayang. Sudah sembilan puluh sembilan luka menganga karena ulahku. Aku tidak pernah menginginkan hidup seperti ini. Hidup di antara kekerasan dan arogansi. Kehidupan yang tidak aku inginkan, namun terpaksa kujalani. Apa dayaku menolak kehendaknya? Aku tak punya kuasa. Ia adalah dalang dari itu semua. Dialah yang mengontrol hidupku. Hitam putihnya aku dia yang menentukan.
Selalu darah yang dipilih. Aku miris.
Gumamnya mengagetkan lamunanku. “Sekarang ini kalian bisa selamat dari mautku!” tiba-tiba ia bicara yang entah ditujukan untuk siapa. Mungkin penduduk kota itu. “Tunggu pembalasanku nanti. Hutang harta bayar harta, hutang darah bayar darah, hutang mati bayar mati!”. Suaranya tiba-tiba berat, dicengkeramnya aku sekuat tenaga hingga tubuh ini sakit. Aku berusaha protes, namun tak ada suara. “Tunggu sampai aku lolos dari kalian” lanjutnya…
“Bertaubatlah engkau Markeso Guntur”, nasehatku. Ingatlah! Perang kalian belum tentu benar di Mata Tuhan. Tak ada manusia yang memiliki kebenaran sejati.” Aku berbicara terus namun semuanya menguap dibawa angin. “Aku sudah lelah, lelah sekali. Berhentilah perang, atau jangan bawa aku lagi!” Protesku. Namun tetap teracuhkan.
Selalu begini, tangis dan keluh kesahku tidak pernah mampu menggugah perasaannya. Aku berteriak sampai serak, tapi tetap saja. Semuanya hilang. Bahkan kini membersihkan diri dari aliran darah sembilan nyawa dan sembilan puluh sembilan luka menganga itu pun aku tak mampu.
Suara itu kembali terdengar, yah,…orang-orang itu, cahaya puluhan sorot itu, kembali berputar berkilauan di antara ilalang dan pepohonan. Kembali wajahnya diteror ketakutan yang amat dasyat. Ia menggingil, matanya menoleh ke segala penjuru. “Apa itu?” Ia mulai gelagapan. Dengan cepat ia melompat. Kembali, tanpa memperdulikan keadaan yang pekat, penuh duri, batu-batu dan pohon yang tumbang kembali ia berlari.
Waktu sudah menunjukkan jam 02.00. Ia terus mengendap-endap. “Aku tidak boleh mati” tekatnya.
“Tangkap saja, kita cari dia sampai dapat, kalau perlu kita bakar bukit ini biar dia terpanggang!” teriak seorang di kejauhan. Ia menghentikan langkah dan memutuskan balik arah.
“Brengsek. Apa-apa main celurit. Segalanya diselesaikan dengan celurit. Emang nyawa ini punya bapaknya apa?” maki yang lain. Disusul dengan gemuruhnya suara tariu. Malam yang tak kunjung usai, bagi Markeso Guntur sosok yang menjadi tuanku itu. Napasnya semakin memburu. Sekujur tubuhnya masih dipenuhi lumpur kali. kedua tangannya gemetar, kaki dan kehidupannya pun gemetar diteror kematian yang terus mengejar. Aku hampir lepas dari genggamannya.
“Lari ke mana dia tadi?” Tanya seseorang, entah pada siapa. Tak terdengar jawaban. Tapi terdengar suara masa semakin mendekat.
“Cari! geledah semua! Kita sebar kelompok kita menjadi empat penjuru angin. Lima puluh orang patroli ke arah timur-selatan, dan lima puluh lagi menyisir wilayah barat-utara. Tidak boleh ada satu wilayah pun yang lolos dari pemantauan kita!” Seseorang mengkoordinir pencarian.
“Kalau ketemu kita penggal kepalanya dengan celuritnya sendiri!” sahut yang lain.
Ia tersengal. Keringat dingin semakin deras mengalir. Kini tak tahu kemana lagi ia akan sembunyi. Semua tempat sudah terkepung. Tanpa tahu arah yang akan di tuju, ia berlari ke sana kemari mencari perlindungan. Tapi tak ada tempat untuk berlindung. Adakah orang yang bisa menyelamatkan kami?
Yah, suara-suara itu masih terdengar di luar. Dapat kurasakan suara takut yang mencekam dirinya saat ini. Cahaya dan suara-suara itu kian bertambah. Dekat dan bergema menghancurkan kesunyian malam yang terasa lama.
Ia berhenti. Duduk di sebuah batu landai di antara dua pohon ara tua yang terkelupas kulit-kulitnya, entah karena umur atau terpanggang matahari tropis. Ia menarik napas dalam-dalam, perlahan sambil mengatur emosi dan ketakutannya agar terkendali. Ia terpejam dalam sekian detik. Ketakutannya tiba-tiba berubah menjadi ketenangan yang luar biasa tenang. Perlahan diletakkannya aku di atas daun pisang yang tumbang, dan tak lupa dibersihkannya darah yang lama mengering di tubuhku ini. Aku bersyukur akhirnya bersih juga tubuhku. Tapi entah sukmaku?
“Celurit”! ia membuka kata yang ditujukan kepadaku. Aku tak mempercayai dengan pendengaran dan penglihatanku. Aku terkejut sampai ke ubun-ubun. ‘Ia memanggilku’. “Aku bisa menangkap suaramu, keluh kesahmu, nasehatmu, keinginanmu dan lain sebagainya, untuk itu jangan kau terkejut!” Lanjutnya, hingga sedetik kemudian pertanyaanku habis. Aku hanya mendengarkan dalam ketidak percayaan.
“Dengarkan olehmu wahai celurit sahabatku! Di sini, di hadapanmu kini aku akan membuat pengakuan!” bagai seorang raja agung ia berbicara.
“Pertama; Aku minta maaf atas segala dosaku. Bukan kebenaran yang kuperjuangkan, melainkan sebuah harga diri.”
“Kedua; Aku tidak kalah, tapi aku tak mungkin hidup sementara kutahu seluruh sahabat-sahabatku telah mati. Kalau aku tetap hidup, roh mereka akan terus mengejarku. Aku tidak mau menghianati roh-roh mereka!” katanya dengan nada sedih.
“Ketiga; Aku akan mengakhiri hidupku sekarang tapi bukan oleh mereka, tidak juga kamu. Tidak juga bunuh diri yang jadi pilihanku.”
“Kempat; Kaulah saksi sejarah itu!”
“Kelima; Aku akan Moksa!”
Selesai bicara ia duduk bersila di tanah yang lembab dan sejurus kemudian ia pun memulai meditasinya. Tak ada suara, tak ada gerakan. Kami dikelilingi keheningan supranatural sampai ke titik zenit.
Kini ia pun moksa. Tubuhnya melebur berubah menjadi butiran-butiran cahaya. Ia pergi meninggalkan dunia dan juga aku. Dengan membuang seluruh raganya, membuang seluruh materi yang mengkungkung ruhnya untuk menghadap Tuhan guna mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang telah ia lakukan. Semuanya misteri, semisteri kemampuannya memahami bahasaku sebagai benda mati.
“Ia ada di sana!” aku tersentak, tiba-tiba suara itu terdengar dekat sekali dengan lokasi kami. Sedetik kemudian puluhan lampu sorot ditembakkan kearahku bagai sebuah pertunjukkan show artis di atas panggung. Suara gemuruh dan cahaya itu terus menghampiriku dekat dan semaki dekat.
“Aku menemukannya!” Salah seorang diantara ratusan masa itu berteriak dengan nyaring. “Ini dia manusia yang selalu menabuhkan genderang perang!...Ayo! Kita adili ia dengan pengadilan kita sendiri! Pengadilan yang tak akan tersentuh oleh hukum manusia apa pun. Kita penggal kepalanya.”
Tubuhku dikelilingi oleh ratusan manusia marah yang setiap saat siap untuk membunuh. Aku merinding. Tubuh ini seolah melayang, seperti melayangnya roh ke angkasa.
Markeso Guntur sudah moksa. Melebur menjadi cahaya menuju langit, tapi mengapa orang-orang itu mengayunkan senjatanya ke arahku? Bukankah aku hanya celurit yang teronggok di sini? Belum sempat kudapatkan jawaban, tiba-tiba sebongkah batu sebesar buah semangka menerjangku. Aku nanar. Dan semua menjadi gelap.
Aku terbangun dipagi itu. Dan mendapatkan diriku tergeletak di meja pengadilan sebagai barang bukti.
“Dapatkah kuceritakan kesaksianku di pengadilan ini?”

(Penulis adalah pengelola sebuah Lembaga Pendidikan Al-Kautsar
di Pemangkat)