Sabtu, 19 Juli 2008

TAWARAN UNTUK TERJUN KE POLITIK


Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan sebuah tawaran yang sangat mengejutkan sekali, bagaimana tidak, saya dicalonkan sebagai salah satu kandidat anggota legeslatif untuk fraksi PKB di wilayah Sambas. Terus terang dalam hidup aku belum pernah berpikirkan untuk masuk ke wilayah pulitik, tau-tau enggak ada angin – enggak ada hujan – ee..kok tiba-tiba ada gledek nyambar di atas kepala. Ciaat…spontan kukeluarkan jurus manusia mencakar angin. Alhasil, akupun mampu menguasai keadaan keterkejutanku itu.
Butuh beberapa hari bagiku untuk menjawab tawaran yang sangat menggiurkan itu, dan aku pun mulai menelpon teman untuk minta pendapat. Ada yang melarang tapi banyak juga yang menganjurkan untuk menyambut tawaran tersebut dengan catatan; “kalau sudah menjadi anggota dewan jangan kau lupakan perjuangan yang selama ini sudah kita rintis.” Setelah saat itu aku terus-terusan merenung, sampai-sampai istriku mengira kalau aku punya pacar baru. Dengan enteng ia berkomentar; “Kalau mau bebini agek silekan jak, sodah supan-supan beh..” katanya dengan logat Melayu kental.
Setelah dua minggu berlalu akhirnya waktu yang sudah diberikan habis, kini giliranku untuk menjawab atas tawaran di atas.
“Pak..! Sekarang ini mungkin saya belum siap untuk terjun ke wilayah pulitik praktis, namun jika diminta nyumbang untuk memikirkan PKB yang ada di Sambas InsyaAllah saya siap pak!” jawabku…akhirnya, untuk membuktikan ucapanku itu aku menulis sebuah opini, di mana sekarang ini tulisan tersebut diminta oleh tokoh-tokoh PKB yang ada di Sambas walaupun opini ini jeleknya bukan main, dan aku pun enggak tau mau diapakan tulisan tersebut, tapi satu permintaanku; “Jangan dijadikan sebagai bungkusan kacang pak ya…!
Inilah tulisannya itu…matur nuwun.

TELAAH POLITIK PKB DI SAMBAS PADA PEMILU 2009

Tidak dipungkiri memang, di dalam tubuh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) masih terjadi sekian banyak konflik intern yang sampai sekarang masih saja berkecamuk. Naik – turun kurva garis linier PKB dalam perjalanannya menapaki percaturan politik di tanah air ini. Asumsi yang paling kuat adalah adanya intervensi dari pihak luar yang sengaja menginginkan supaya PKB keropos dari dalam yang berujung kehancuran dengan sistem pengembosan terhadap tokoh-tokoh utama PKB dalam hal ini kiai atau cendekiawan muslim yang dimilikinya.
Kita bisa berkaca dengan sejarah panjang kontoversial PKB dalam percaturan politik ini, mulai dari konflik 2001 dimana PKB pecah menjadi dua, yaitu PKB Kuningan yang dipimpin oleh KH. Abdurrahman Wahid – Alwi Shihab versus PKB pimpinan Matori Abdul Djalil. Setelah itu disusul lagi dengan permasalahan pertentangan antara kelompok pendukung dan penentang reposisi Saifullah Yusuf dari jabatannya sebagai Sekjen DPP PKB yang berujung dengan pencopotan dirinya dari kursi Sekjen DPP tersebut. Tidak berhenti sampai di situ, kembali PKB digambling dengan permasalahan lahirnya pembentukan PKB tandingan yang menelurkan PKB hasil muktamar di Semarang di bawah pimpinan Gus Dur sapaan akrab KH. Abdurrahman Wahid – A. Muhaimin Iskandar versus PKB hasil muktamar Surabaya. Setelah itu selesai, kembali PKB dihebohkan dengan perseteruan antara Gus Dur sendiri dengan Muhaimin Iskandar yang mengakibatkan pecahnya PKB menjadi dua antara PKB kubu Gus Dur dan PKB kubu Muhaimin, yang sampai sekarang pun masih mengisyaratkan adanya konflik. Walaupun perseteruan tersebut sudah selesai namun masih ada sinyalemen yang menunjukkan masih adanya perang urat syaraf di antara kedua tokoh tersebut. Puncaknya ketika pengambilan nomor urut partai untuk pemilu 2009 beberapa waktu lalu yang diselenggarakan oleh KPU jelas membuktikan belum dinginnya suhu di tubuh PKB sendiri.
PKB dengan segala kelebihan dan kekurangannya memang selalu menarik untuk dipelajari, dari sejak kelahirannya pada tanggal 23 Juli 1998 sudah muncul pro – kontra yang hebat. Itu semua lebih dipicu oleh kelahiran PKB sendiri yang notabene dibidani oleh PBNU. Padahal dalam muktamar NU 1984 secara tegas dinyatakan bahwa NU melepas diri dari ikatan partai tertentu dan kembali menjadi organisasi keagamaan (Jam’iyyah diniyyah). Ada fenomena menarik di balik itu semua. Di sini telah tampil dua tokoh utama Ormas besar Islam yang mendirikan partai yang tidak berasaskan Islam yaitu; Gus Dur dengan PKB-nya dan Amin Rais dengan PAN-nya. Letak perbedaan yang mencolok dan yang membedakan dari kedua tokoh tersebut adalah, Amin Rais tidak melibatkan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi yang secara langsung membidani berdirinya PAN, sedangkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur melibatkan secara langsung organisasi NU dalam pembentukan PKB. Sekiranya Gus Dur tidak melibatkan PBNU secara langsung, dapat dipastikan tidak akan muncul perdebatan.
Sejarah yang tertorehkan itu adalah fakta, bagaimanapun masyarakat sudah mengetahui dan adalah sebuah langkah pembodohan jika kita tetap menutup-nutupi fenomena tersebut kepada publik. Yang perlu kita ambil pelajaran adalah; dapatkah kita menelaah sekaligus berfikir positif terhadap PKB dan bukan justru menonjolkan sinisme yang berlebihan terhadap partai tersebut.
PKB dalam dua pemilu berturut-turut, yaitu pemilu 1999 dan pemilu 2004 mampu menampilkan wajah yang sangat luar biasa. Saya pribadi sebagai penulis merasa salut dengan ketegaran PKB yang tidak pernah menyerah dalam menangani konflik internalnya. Di pemilu 1999 PKB sebagai partai baru adalah partai yang paling sukses dengan mengantongi suara sebanyak 12,6 persen dan berhasil meraih 51 kursi di DPR RI. Itu prestasi yang luar biasa dengan ditunjukkan dengan kemampuannya menempati posisi ke tiga setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar. Sementara pada pemilu 2004 memang ada penurunan dari suara PKB dari 12,6 persen turun menjadi 10,57 persen. Namun yang menarik adalah perolehan kursinya di DPR mengalami kenaikan satu kursi dibanding hasil pemilu 1999, dari 51 menjadi 52 kursi.
Kesuksesan tersebut lantas disempurnakan dengan berhasilnya Gus Dur yang notabene adalah deklarator berdirinya PKB sebagai Presiden RI ke empat setelah BJ Habibie. Walaupun dalam perjalanannya memegang tampuk kepresidenan, Gus Dur harus mundur dari jabatannya lantaran semakin kuatnya intervensi dan goyangan dari pihak luar. Benarkah PKB dengan sosok KH. Abdurrahman Wahid itu sering diintervensi? Jawabannya adalah benar!.
NU sebagai orang tua yang melahirkan PKB adalah sosok organisasi massa yang memiliki power luar biasa. Adalah jelas hanya dan untuk PKB sajalah sebenarnya suara orang-orang NU itu disalurkan. Fobia atau ketakutan-ketakutan dengan kebesaran Partai NU di masa silam, membawa lawan-lawan politik PKB untuk merekayasa supaya PKB menjadi ciut dan terpecah dari dalam. Setidaknya ada tiga bentuk intervensi yang dimainkan oleh mereka sejak mulai pemilu 1999 agar PKB tidak menjelma sebagai partai besar antara lain; Pertama, intervensi untuk memecah suara NU dengan membentuk partai baru yang notabene juga muncul dari orang-orang NU sendiri, dengan mendirikan sebuah partai pecahan seperti Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Nahdlatul Umat (PNU). Kemunculan ide untuk membentuk dua partai ini jelas yaitu keinginan untuk memecah suara NU agar tidak terfokus pada satu partai yang sebenarnya memang hanya diuntukkan bagi PKB. Kedua, intervensi yang dilakukan dengan mengadu domba antara PKB dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dikarenakan pada masa rezim Orde Baru kekuatan dari PPP itu terletak di orang-orang NU sebagai mayoritas pemilih di setiap pemilu. PPP sendiri pun tidak menginginkan kekuatan politiknya melemah dengan kemunculannya PKB di panggung perpolitikan nasional. Ketakutan tersebut adalah sebuah peluang bagi lawan-lawan politik PKB untuk memperkeruh suasana dengan cara mengadu domba diantara keduannya. Ketiga, adanya bentuk kampanye yang bernada sentimen dengan dihubungkannya keakraban kedua tokoh antara Gus Dur dengan Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum PDIP. Statement tersebut adalah “memilih PDIP itu sama dengan memilih PKB.”
Bagaimana dengan Pemilu 2004? Ternyata intervensi tersebut masih terus saja terjadi. Setidaknya ada tiga peristiwa juga yang dilakukan oleh lawan-lawan politik PKB untuk terus memecah belah suara PKB agar tidak menjadi partai besar, apa saja itu; Pertama, digulingkannya Gus Dur dari kursi presiden pada Juli 2001. Kedua, munculnya dualisme kepemimpinan dalam tubuh PKB antara Gus Dur versus Matori Abdul Djalil. Kejadian ini membawa ketakutan tersendiri mengingat posisi Matori yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Gotong Royong, walaupun akhirnya Gus Dur memenangkan dalam proses pengadilan. Ketiga, dengan tampilnya Saifullah Yusuf di dalam PKB yang mencalonkan dirinya sebagai ketua umum DPP PKB yang notabene dia sendiri baru seminggu keluar dari PDIP. Karena desakan kuat dari para elite politik di dalam serta desakan kuat dari para Kiai akhirnya Syaifullah mundur dari pencalonan tersebut.
Lantas apa yang terjadi pasca pemilu 2004, apakan intervensi tersebut berhenti? Jawabannya tetap tidak. Terbukti adanya indikator dari beberapa kader dan kiai PKB untuk membentuk partai tandingan yang akhirnya terbentuklah PKB hasil muktamar di Semarang di bawah pimpinan Gus Dur – A. Muhaimin Iskandar versus PKB hasil muktamar Surabaya yang berujung dengan dibubarkannya PKB tandingan tersebut setelah dikeluarkan SK Nomor M.14 – UM.06.08 tahun 2006.
Dan sampai sekarang pun di tahun 2008 intervensi terhadap PKB masih dilancarkan guna merusak citra diri dan kekuatan PKB sebagai partai besar. Adalah hal yang luar biasa ternyata PKB mampu melewati itu semua dan tetap menempati posisi ke tiga dalam dua kali pemilu di atas. Harapan saya, semoga PKB tetap diberi kekuatan untuk memecahkan segala persoalan yang selalu menggelayutinya.
***
Bagaimana posisi PKB di pemilu 2009 mendatang, serta hubungannya dengan suara di Sambas – Kalimantan Barat sendiri? Jawabanya adalah PKB tetap menempati posisi lima besar di jajaran tingkat nasional, dan di Sambas pada pemilu 2009 PKB akan mampu memperoleh kursi.
Konflik yang selalu menggelayuti PKB bukanlah hal yang aneh. Di Indonesia hanya PKB sajalah yang dalam perjalanan politiknya tidak pernah lepas dari konflik, jadi seolah-olah tanpa konflik laksana sayur tanpa garam. Bukan PKB namanya kalau tidak konflik, dan bukan Abdurrahman Wahid kalau tidak kontrofersial. Karena sampai kapanpun intervensi terhadap PKB masih terus dilancarkan sebab NU merupakan organisasi terbesar di Indonesia yang menjadi ladang empuk untuk dipermainkan. Jadi tidak mengherankan pula jika konflik yang terjadi di daerah manapun dan kebetulan ada basis NU dan PKB-nya dapat dipastikan, merekalah yang akan dikambing hitamkan.
Demikian pula konflik etnis yang terjadi di Sambas tahun 1999 silam. Terjadinya konflik etnis mampu menorehkan trauma yang luar biasa bagi masyarakat Melayu-Sambas. Trauma tersebut berimbas ke wilayah politik yang berujung dengan sinisme terhadap salah satu partai yaitu PKB, dan salah satu etnis yang bertikai tersebut memang secara mayoritas adalah orang-orang NU. Ketika rezim Orde Baru suara NU diaspirasikan ke PPP, secara otomatis jurus yang dipakai untuk menjatuhkan PPP dengan ultimatum kalau partai ini adalah partainya orang-orang ‘anu’ – sampai sekarang setelah NU melahirkan PKB otomatis pula sebutan di atas berubah menjadi PKB-lah partainya orang-orang ‘anu’. Secara kebetulan kelompok etnis yang satu ini di mata masyarakat Melayu-Sambas memang selalu membawa madharat dari pada manfaat, bahkan gara-gara mereka-lah Sambas dilanda perang antar etnis yang terjadi sepuluh tahun silam. Statement negatif ini selalu disandang hingga pada pemilu 2004 silam yang berujung dengan ketidak mampuan PKB untuk mendapatkan kursi di Dewan. Sebenarnya pernyataan seperti di atas adalah menyederhanakan permasalahan dan salah besar.
Masyarakan Sambas yang kadung termakan informasi tersebut menelan itu bulat-bulat. Tentunya situasi seperti itu sama sekali tidak menguntungkan bagi PKB terlebih lagi semakin kuatnya lawan-lawan politik mengambil keuntungan dengan keadaan tersebut. Pemahaman masyarakat tentang politik yang memang masih kurang jadi memperparah hal itu, LSM yang ingin mengusung rekonsiliasi di Sambas-pun belum memiliki keberanian untuk menggunakan politik sebagai salah satu pijakan maneuvernya, dan yang lebih dasyat lagi kurang tingginya penguasaan politik di kalangan intern PKB sendiri, dalam hal ini tokoh-tokoh PKB yang ada di Sambas. Maka tidak heran jika PKB di Sambas kurang mendapat animo masyarakat.
Sampai sekarang perang etnis tersebut belum mendapatkan perhatian serius dari para pemangku kebijakan. Keamanan dan kepentingan politik masih menjadi salah satu sebab buntunya upaya rekonsiliasi, selain adanya dugaan kuat faktor kepentingan ekonomi juga mempengarui tersendatnya upaya tersebut. Di sini PKB dengan NU-nya sebenarnya adalah korban dari permainan politik. Perasaan takut yang melanda seluruh lapisan masyarakat terhadap upaya rekonsiliasi ini hanyalah fenomena ‘balon udara.’ Mengapa seperti itu? Karena semua orang merasa takut kalau-kalau rekonsiliasi ini di hembuskan akan terjadi lagi sebuah ledakan besar yang pasti akan banyak memakan korban. Sangat tepat jika situasi ini di boncengi dengan seribu kepentingan.
Tugas berat bagi PKB di Sambas adalah membentuk opini public secara provisional dan matang untuk meyakinkan rakyat bahwa PKB adalah salah satu partai yang menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan pluralisme, tentunya PKB bukan milik satu etnis melainkan milik seluruh rakyat Indonesia. Tidak kalah pentingnya adalah peningkatan Sumber Daya Manusia di tubuh PKB yang harus ditingkatkan. Tanpa itu semua kemungkinan di pemilu 2009 kembali PKB akan menelan pil pahit dengan tidak mendapatkannya kursi, namun jika itu sanggup dilakukan niscaya di 2009 PKB pasti berhasil memperoleh kursi. Semoga.

Senin, 14 Juli 2008

AKU BERTANYA PADA MEDIA MASSA DI KALIMANTAN BARAT


Bukan hal yang aneh, jika manusia sekarang ini dalam hidupnya sudah mencapai tingkat ketergantungan dengan yang namanya media massa. Entah itu media cetak seperti surat kabar, majalah, buku dan lain sebagainya, atau pun media elektronik seperti televisi, radio, tape, hand phone dan masih banyak lagi. Itu semua bergerak dalam lingkaran kehidupan dari kita melek mata, sampai dipejamkannya mata kita oleh ajal. Karena sifatnya yang terus berada di samping kehidupan manusia dan keberadaannya pun sangat diperlukan, secara otomatis apa pun yang keluar dari corong media massa itu mampu membentuk arah dan cara pandang kita dalam mensikapi hidup ini. Seorang presiden mungkin tidak akan takut dengan sidang pertanggung jawaban kepresidenanya, tapi jika sudah ketemu dengan media massa tentu ia akan sangat berhati-hati – mungkin juga takut. Itu salah satu point dari kehebatan media massa. Tapi, dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk membahas tentang manfaat atau madharatnya sebuah media massa karena itu terlalu luas untuk dibahas di sini.
Beberapa waktu yang lalu tepatnya hari Sabtu 14 Juni 2008 di Pontianak, saya diundang untuk ikut dalam sebuah seminar sehari yang diselenggarakan atas kerjasama Aliansi Untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi (ANPRI), Mitra Sekolah Masyarakat (MISEM), Institut Dayakologi, PEK-Pancur Kasih, BK3D, Gemawan, dan Segerak. Dalam seminar itu topik yang dibahas adalah Media Massa di Kalbar Menciptakan Konflik Atau Membangun Dan Memelihara Perdamaian (Peace Building). Sebuah tema yang cukup luar biasa, apalagi untuk kapasitas orang seperti aku yang kalau diukur dari segi intelektual masih di bawah standar ditambah aku bukan orang yang pandai menulis, jadi dikalangan media massa aku seperti orang kesasar yang salah masuk rumah orang untung saja tidak diteriaki copet.
Kesan pertama yang kutangkap begitu aku masuk dalam ruangan adalah minder setengah mati, bagaimana tidak, acara yang diselenggarakan itu live di salah satu televisi lokal di Pontianak, yaitu RUAI TV. Lumayan sich sebenarnya bisa numpang ngeceng sebentar di layar kaca, he..he..! Tidak hanya itu saja TVRI Pontianak, RRI, Harian Pontianak Post serta salah satu guru besar sosiologi fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNTAN Prof. Syarif Ibrahim Alqadrie, turut sebagai panelis diacara tersebut.
Yang beruntung mendapat nomer urut pertama untuk mempresentasikan makalahnya adalah bapak professor tersebut. Ada poin menarik ketika beliau membahas secara panjang lebar tentang makalahnya yaitu; “Hipotesis 2020.” Apanya yang menarik? Di situ beliau menuliskan bahwa pertikaian besar-besaran akan terjadi lagi di Kalimantan Barat dalam pereode ke lima pada 3 (tiga) dekade mendatang, yakni pada tahun 2020-an. Yang dijadikan acuan dasar adalah sejarah meletusnya konflik yang terjadi, dan kemudian secara kebetulan itu terjadi selama 4 (empat) periode dalam setiap 30 tahunan sekali, yaitu 1900-an, 1930-an, 1960-an dan 1990-an. Dari situlah beliau melakukan penelitian yang kemudian dijadikan sebagai hipotesis. Kontan saja kritikan meluncur, andaikan analisa bapak itu benar dan di Kalbar tahun 2020 terjadi perang maka kami akan dengan gempang menemukan siapa di balik perang tersebut, jelas jawabannya adalah bapak sendirilah yang menjadi dalangnya. Mendengar kritikan itu beliau tersenyum simpul.
Setelah profesor selesai yang mendapat giliran berikutnya adalah para panelis dari media masa, dimulai dari Harian Pontianak Post yang dianggap sebagai soko guru media masa di Kalbar, lalu TVRI Pontianak, kemudian RRI dan yang terakhir adalah RUAI TV. Semua mengatakan ketika terjadi konflik di Kalbar, media masa sudah menempatkan posisinya sebagai corong masyarakat yang adil serta menjunjung tinggi profesionalitas. Mereka membantah keras ketika ada salah seorang mengkritik terhadap Pontianak Post yang pada waktu itu masih bernama Harian Akcaya, ketika perang 1999 meletus media tidak bisa menempatkan atau mengambil keputusan yang arif untuk memuat/ memberitakan kejadian-kejadian, mana yang sifatnya news atau tidak. Segala sumber berita dimuat tanpa memilah-milah. Sebagai contoh Akcaya pernah memuat pemberitaan mengenai rencana penyerbuan balik oleh orang-orang Madura kepada orang-orang Melayu, atau rencana-rencana yang sifatnya memprovokasi dll. Dan ternyata masyarakat pada waktu itu diserang ketakutan-ketakutan yang ternyata sumbernya dari media masa sendiri. Itu membuktikan jelas ketidak provisionalan media. Atas pertanyaan ini mereka membantah dengan keras. Entah mana yang benar akupun tidak mengetahuinya, karena kebetulan saat itu aku masih di Yogyakarta sebagai mahasiswa yang super malas.
Ketika giliran RUAI TV berbicara, mereka lebih banyak membahas tentang simbol-simbol filosofis yang tergambar sebagai logo televise tersebut. Menurutnya, hanya tiga etnis besar sajalah yaitu Melayu, Dayak dan Cina yang mampu mengkaunter segala konflik. Kontan saja metode berfikir seperti itu mendapatkan sanggahan keras dari para peserta yang ikut dalam seminar. Alhasil, aku pun sekali lagi tidak mendapatkan poin yang menggembirakan.
Setelah dua jam lebih acara berlangsung, ternyata volume pembahasan yang disajikan hanya berputar-putar tentang masalah yang tidak terlalu besar yaitu konflik yang terjadi di Pontianak, yang disebut “Konflik Gang 16”. Mengapa hanya konflik kecil yang dibicarakan di sini, sementara tragedi Sambas yang sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu dan bahkan dunia pun mengetahuinya tidak dibahas serius di sini dan hanya sekilas saja disinggung? Sementara kasus gang 16 sendiri yang aku pun saja tidak mengetahuinya kok setengah mati dibahas? Dengan lantang aku bertanya tentang itu. Ujung-ujungnya aku pun tau, ternyata belum ada keberanian. Semoga tahun 2020 Kalimantan Barat tidak akan terjadi perang seperti yang digambarkan profesor di atas, namun sebaliknya akan terkuak misteri kabut yang membungkus rekonsiliasi ini dengan kegelapannya menuju jalan terang yaitu “Damai”. Amin.

INVISIBLE POWER VS REKONSILIASI


Seluruh manusia di jagat bumi ini, baik pria atau wanita, dewasa maupun anak-anak bahkan mungkin binatang pun mempunyai ketakutan terhadap yang namanya hantu atau siluman. Secara umum semua berpendapat bahwa ia adalah sejenis makhluk halus, secara harfiah ada, namun tak mampu untuk kita lihat alias sembunyi atau terselubung. Islam sangat jelas berbicara tentang masalah ini. Dan karena tuntutan dari ilmu pengetahuan yang modern dan empiris maka kita menjadi kerepotan untuk memetakan keberadaannya.
Kemudian, istilah tersebut diadopsi (dianalogikan) untuk bermacam fenomena atau kejadian yang terpampang di depan mata kita, benar-benar nyata, menyentuh bahkan mungkin sedang melanda kita, tetapi memiliki sifat yang tidak tersentuh, benar-benar rahasia dan tabu untuk kita ucapkan. Ada konsekwensi tegas apabila kita berani untuk membongkar atau mengangkat sifat silumannya itu.
Sebagai contoh, kita sering mendengar istilah manusia siluman (invisible man), tangan siluman (invisible hand), kekuatan atau kekuasaan tersembunyi (invisible power), kejahatan terselubung (invisible/hidden crime), dan sebagainya sesuai dengan konteks yang mengiringinya. Tetapi yang perlu digaris bawahi semua itu mengacu kepada sesuatu yang menakutkan, berbahaya, dan kekuasaan besar yang menekan. Dalam hal ini adalah kekuasaan atau kekuatan dalam konteks politik, namun saya ingin mengajak melihat persoalan ini dari sisi budaya politik.
Jum’at 30 Mei 2008 di Pontianak, saya ikut hadir dalam sebuah seminar sehari yang diselenggarakan oleh Yayasan Swadaya Dian Khatulistiwa (YSDK) bekerjasama dengan CORDAID sebuah LSM Internasional dari Belanda, dan kebetulan saya ditunjuk sebagai moderator di sisen kedua, mengangkat sebuah tema yang cukup menarik yaitu; Pengembangan Kebijakan Pembangunan Perdamaian Berkelanjutan di Kalimantan Barat. Hadir di situ Kepala Badan Kesbanglinmas Prov Kalbar Toto WD, S.Sos namun diwakili oleh Drs. Usmandi (yang membacakan materi dalam seminar itu), Ahmad Shiddiq Anggota perwakilan Komnas HAM Kalbar, tokoh agama, anggota legislatif, masyarakat, aktivis perempuan, akademisi dll.
Materi yang dibacakan menyangkut tentang komitmen pemerintah terhadap Perda Prov Kalbar No. 10/2005 tentang membangun harmonisasi antar etnis di Kalbar masuk dalam RPJMD Prov Kalbar 2006-2008 yang telah menetapkan visi pembangunan daerah, yaitu terwujudnya masyarakat Kalbar yang harmonis dalam etnis, maju dalam usaha dan tertib dalam pemerintahan. (Pontianak Post 31 Mei 2008)
Bukan rahasial lagi bagi kita mungkin juga bagi dunia, bahwa Kalimantan Barat tepatnya di daerah Sambas pernah tertorehkan sejarah pahit sekaligus berdarah tepatnya tahun 1999, yaitu konflik etnis Melayu (Sambas) dengan etnis Madura. Entah berapa ribu nyawa melayang dan berapa banyak jumlah kerugian materi atau infrastruktur (rumah, tanah, binatang terbak dll) yang diakibatkan dari tragedi perang tersebut. Maka tidak mengherankan Sambas di mata pemerintahan pusat (Jakarta) dikategorikan sebagai ‘kawasan merah’ yang perlu mendapatkan prioritas khusus dalam hal penanganan konflik. Bukan suatu prestasi yang bisa diceritakan untuk anak cucu.
Sampai tahun ini yaitu 2008 permasalahan yang pernah tertorehkan tidak ada jeluntrungnya (penyelesaian). Memang sudah sepuluh tahun teragedi itu berakhir dalam arti perang fisik, namun perang yang bersifat non fisik – universal dalam artian mencakup seluruh aspek kehidupan manusia bisa dikatakan belum berhenti. Akhirnya muncul beberapa pertanyaan yang sangat wajar sekali dari setiap akal dan pikiran manusia, yaitu kenapa? Dan apa yang terjadi?. Seharusnya pemerintah jangan tersinggung – apalagi sampai dikatakan SARA apabila ada beberapa masyarakat yang mencoba memberanikan diri untuk menggelitik para pemangku kebijakan biar mau menjelaskan permasalahan ini secara serius. Dengan catatan ‘jangan sekali-kali diboncengi dengan muatan politik kepentingan’ sebab yakinlah rakyat pasti akan kecewa.
Point lain dari seminar sehari tersebut yang berhasil diungkapkan adalah permasalahan HAM. Sesuai dengan yang di tuturkan oleh Ahmad Siddiq, bahwa pembangunan perdamaian (peace building) di Kalimantan Barat mengalami stagnasi, bahkan lebih ironisnya lagi kebijakan pembangunan di Kalbar banyak yang tidak berspektif HAM dalam hal ini diabaikan, dirahasiakan, disilumankan, ditabukan dll. Sampai sekarang semuanya masih ruwet dan membingungkan. Kekuatan apa yang mengendon di balik itu semua? Belum terkuak.
Ada semacam asumsi dasar yang membuat kita jadi sedikit garuk-garuk kepala/berpikir, apa benar permasalahan ini oleh pihak pemerintah dicuekin begitu saja, ditutupi atau sengaja ditutup-tutupi mungkin, atau ada kekuatan dari kekuasaan yang besar dan kuat yang secara langsung atau tidak kita sadari justru menjadi dalang atas buntunya jalan menuju perdamaian di Sambas ini, atau barang kali ada istilah yang lebih ngetren yaitu ‘biar alamiah’ nanti toh sekian tahun atau sekian generasi yang akan datang peristiwa ini pun akan terlupakan, lagian enggak ada kok yang berani bertanggung jawab. Apa memang seperti itu? ini menguji andrenalin kita kata Aris Bahariyono sebagai koordinator program.
Kembali ke konsep awal. Siluman atau hantu, setan, dedemit, gendoruwo, wewe gombel, kolor ijo, kolor biru, kolor kuning sampai kolor bontex dan seribu jenis namanya itu, memiliki satu visi yang jelas, yaitu menyeret manusia untuk keluar dari jalur yang sudah ditetapkan oleh Tuhan melalui sebuah ketentuan hukum yang tegas, yaitu agama. Ketika manusia terseret dari jalur agama, maka manusia berada dalam posisi yang mundur dalam arti terlempar dari level ketakwaan. Sementara bagi setan ia berada dalam posisi maju ketika berhasil menyeret manusia, dalam arti juga ia masuk pada level yang lebih tinggi. Demikian seterusnya.
Untuk membelokkan rel/jalur manusia yang sudah ditentukan agama tersebut, tentunya si hantu harus memiliki invisible power kekuasaan/kekuatan tersembunyi. Itulah sebabnya banyak manusia yang tidak mampu untuk melawan, apalagi ditambah dengan minimnya kekuatan agama yang bersumber dari Allah SWT yang hanya sekian persen ia miliki.
Dalam dunia politik pun demikian, kekuasaan yang kuat secara langsung atau tidak mampu mengontrol segalanya. Apa hubungan itu semua dengan perdamaian di Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Sambas? Kecurigaan besar adalah tertuju pada Proyek Kelapa Sawit yang sedang dikembangkan di Sambas. Why?
Pertama, pemilik modal besar sengaja menskinariokan ketidak amanan itu agar tidak terjadi persaingan proyek (antara proyek sawit dengan proyek non sawit). Sudah bukan rahasia lagi kalau Sambas dalam rencana ke depan akan dijadikan kawasan Hutan Sawit dalam skala besar-besaran dengan proyek seluas 600 ribu hektar. Subhana Allah, terus terang saya tidak bisa membayangkan apa jadinya Sambas nanti. Hanya segelintir orang saja yang menikmati kelezatan proyek ini yang tentunya si pemilik proyek dan kroni-kroninya, selebihnya adalah kehancuran total. Tanah yang mati lantaran habis unsur haranya termakan sawit, kemudian disusul dengan krisis air yang semakin parah terhisap habis oleh sawit. Sambas akan menjelma sebagai daerah tandus yang menjanjikan kematian bagi anak cucu, karena masa produktifitas dari sawit sendiri hanya sekitar 25 sampai 30 tahun saja. Coba anda bayangkan! Belum lagi ditambah dengan persoalan hak milik tanah karena ada sengketa serius yang terjadi di Sambas akhir-akhir ini, sampai-sampai masyarakat ramai berdemonstrasi menuntut hak tanah mereka karena merasa tercaplok oleh proyek. Kalau Sambas masuk dalam kategori aman tentunya persaingan akan muncul hingga tidak ada lagi yang namanya monopoli proyek.
Kedua, kalau keadaan di atas bisa dikontrol tentunya masyarakat yang notabene adalah orang-orang Suku Madura, dalam hal ini korban kerusuhan 1999 yang mempunyai tanah di Sambas akan beramai-ramai menuntut hak tanah mereka yang selama ini ternyata masih belum ada penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah secara jelas. Dan diperparah lagi adanya beberapa oknum masyarakat Melayu sendiri atau bisa dibilang banyak sekali, yang secara terang-terangan atau pun sembunyi-sembunyi mengambil tanah orang-orang Madura yang pada waktu itu memang harus mereka tinggalkan. Dus, Proses untuk mengambil atau menjual tanah itu sendiri pun sampai sekarang masih sangat-sangatlah sulit. Jangankan untuk mengurus tanah, ingin bersilaturrahmi ke sanak famili atau tradisi ziarah kubur ke Sambas pun mereka harus berpikir seribu kali. Mulai dari unsur terbawah sampai teratas dari hirarkhi kepemerintahan tidak ada satu pun yang berani menjamin keselamatan mereka, apa lagi untuk mengurus ini-itu.
Ketiga, lambatnya proses rekonsiliasi dikarenakan sudah saking tingginya unsur KKN. Mengapa demikian? Jelas, adanya kong-kalikong antara pengusaha proyek dan pemerintah. Memang benar tidak ada yang berani menjamin keselamatan rakyat Madura untuk kembali ke Sambas, bahkan dari masyarakat Maduranya pun keinginan untuk kembali sudah tidak ada lagi. Bukan itu permasalahannya, tetapi pengangkangan hak itu lah yang perlu dipertanyakan. Kalau mau jujur, keinginan untuk kembali itu tetap ada kok, manusia mana sich yang dalam hidupnya tidak pernah memiliki perasaan rindu akan kampung halamannya. Mereka banyak yang terlahir di Sambas, tumbuh besar di Sambas melakukan perkawinan campuran (Madura – Melayu/ Madura – Dayak dll), bahkan banyak orang Madura Sambas yang sampai sekarang tidak pernah menginjakkan kakinya ke tanah Madura yang asli.
Kenapa sampai bisa seperti itu? Ada kekuatan apa? Pertanyaan besar itu sempat saya luncurkan, namun tidak ada satu pun jawaban yang bisa memuaskan. Selama ini prinsip pluralisme yang berkembang di Kalimantan Barat pada umumnya dan Sambas khususnya tidak lebih hanya melibatkan tiga etnis besar saja yaitu Melayu, Dayak dan Cina. Kalau tiga etnis besar itu sepakan untuk bergerak, maka konflik yang ada di bumi Borneo ini akan segera tertuntaskan. Apa memang demikian? Bukankah Kalimantan Barat dihuni oleh banyak sekali etnis, kalau begitu apa arti etnis yang lain? Apakah Jawa hanya sebagai tukang bakso kemudian punya ide kreatif sedikit mengembangkan odong-odong, lantas Bugis sebagai nelayan miskin yang saban hari bisa-nya cuma cari ikan teri melulu, lalu Madura selain selalu buat onar katanya bisa-nya hanya cari-cari besi bekas lantas dioleh menjadi palu kemudian dipakai untuk memukul kepala Madura sendiri biar benjut se-benjut-benjutnya and so..and so?
Intinya, acara seminar sehari tersebut memang kami belum mampu menemukan komitmen pemerintah yang konkrit, namun minimal kami sudah berani menggugah itu semua. Apakah ada perubahan atau tidak, tanyakan pada sawit yang bergoyang.