Senin, 06 Oktober 2008

MULTIKULTURALISME DAN KESADARAN HAK ASASI MANUSIA



Setelah bulan lalu kami menceburkan diri dalam kekhusyu’an zikir, untuk menemukan hakekat kemanusiaan yang selama ini kami anggap menguap entah ke mana, kembali kami menggeliat sambil menghembuskan nafas perdamaian. Hanya satu yang menjadi harapan yaitu ‘kerukunan’. Rukun dalam arti yang seluas-luasnya bagi kami laksana menu yang akan menjadi santapan manusia di Kampung Surga nanti. Surga mungkin terlalu mahal bagi kami untuk dapat memasukinya, namun toh, seandainya Tuhan memberi sedikit anugerah-Nya yang super maha itu, memberikan sedikit peluang walau sebatas mencium aroma sedapnya menu surgawi tersebut, itu sudah cukup. Bukan berarti kami men-sangsi-kan kerukunan umat yang sudah terjaga selama ini. Manusia Indonesia sudah rukun bahkan berlebih, kalau boleh mengandaikan, seorang pencuripun jika hidup di Indonesia, ia akan berkata “maaf tuan, boleh tidak saya mengambil sedikit harta tuan untuk anak dan istri saya di rumah”! masyaAllah indahnya Indonesiaku dalam menata kerukunan umatnya.

‘Rukun Indonesia’ – hampir sepadan dengan ‘Ruquq Sholat’. Ruquq adalah pengejawantahan diri dalam menata kehidupan bermasyarakat, (hablum minan nas) agar berimbang dalam melangkah. Sedang Rukun adalah wujud dari realitas ruquq kita. Realitas terhadap kesadaran hidup bermasyarakat yang wajib menata serta memelihara kerukunan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Puncak dari itu semua adalah totalitas kepasrahan diri dalam Sujud, (hablum mina Allah). Ruquq dan Sujud merupakan dua hal yang tak terpisahkan dalam hidup, cideranya salah satu di antara dua gerakan tersebut niscaya akan menguap sholat kita – menguapnya sholat pertanda ada ketidak becusan dalam memelihara sunnatullah, lantas manusia akan masuk dalam lingkaran petaka.

Nafas perdamaian yang kami hembuskan bukan bermaksud menganggap kalau nafas Indonesiaku sudah berbau bacin, tidak! Semuanya wangi se-wangi-wanginya. Hidup kami di tanah Borneo – lebih tepatnya di Sambas juga wangi, pak gubernur, bupati, camat, lurah, rt/rw, dewan, dekan, dosen sampai dukun seluruhnya wangi. Cuma satu yang perlu disayangkan! Masih ada sedikit sisa makanan yang masih mengendon di kedalaman gigi geraham kita, jelas itu mengganggu! Pertanyaannya, “makanan apa sich itu?” jawabku “HAM (Hak Asasi Manusia)”. HAM itu baru sebagian tersentuh sikat gigi kita, wanginya pasta gigi yang menebarkan kebersihan belum sepenuhnya merata. Ada sisi kemanusiaan yang masih tertinggal jauh di belakang perjalanan zaman ini, dan itu semakin jauh tertinggal. Apa to itu? Tak bosan-bosannya kami selalu menjawab “konflik Sambas 1999!”.

Seolah tak pernah kapok-kapoknya, kembali kami menggelar acara lokalatih dengan tema pokok ‘Multikulturalisme dan Kesadaran Hak Asasi Manusia' 25 September 2008 di kota Singkawang. Tidak tanggung-tanggung sekitar 32 utusan dari berbagai instansi pemerintahan maupun non pemerintahan ikut hadir dalam acara yang diprakarsasi oleh YSDK-CORDAID dengan program peace buildingnya, bahkan ikut hadir juga kawan dari UGM Yogyakarta yang sedang melakukan riset untuk program S2 nya, namun sayang saya tidak sempat untuk bincang-bincang dengan beliau.

Suasana Ramadhan pada waktu itu, membawa sedikit sentuhan tersendiri bagi kami yang hadir di acara tersebut. Walau sedikit terhuyung, namun toh saya berusaha untuk menguatkan diri untuk hadir. Tiga nara sumber yaitu Subro dari MiSem, M. Siddiq dari Komnas HAM Provinsi Kalbar, B.Syukrie.MS mewakili Pemkot Singkawang, berbicara panjang lebar mengenai materinya masing-masing.

Tema pertama adalah ‘Multikulturalisme’. Sesuai apa yang di ilustrasikan oleh kang Subro (biasa saya menyapa dengan nama tersebut), multikulturalisme ibarat taman. Di sana terdapat bermacam aneka tetumbuhan serta segala jenis makhluk hidup yang berkembang seiring dengan nafas unsur kealamiahan si taman itu sendiri. Ia anugerah Allah yang harus kita sukuri dan rawat. Andaikan kita dzalim dengan mengencingi atau memuntahi sang taman, itu sama artinya kita telah dzalim kepada sesama manusia, kehidupan, dan puncaknya kita pun sudah dzalim kepada Allah.

Dalam perspektif Islam, syariat memberikan garis pemisah yang jelas antara huquq Allah (hak-hak Allah) dan huquq al-ibad (hak-hak hamba Allah [manusia]). Hak Allah adalah fara’idh (kewajiban) yang dicanangkan kepada tiap manusia untuk dilaksanakan. Pelaksanaan kewajiban tersebut tidak lain adalah pengakuan terhadap keesaan, kemahakuasaan dan keunikan-Nya dengan mengikuti ketentuan-Nya. Sedangkan hak sesama manusia ialah menjaga keharmonisannya, tidak mengeksploitasi alam dan yang lebih penting adalah ‘jangan bermusuhan’.

Sebuah taman memang asyik untuk dinikmati serta di telusuri keharumannya, namun sungguhlah berat untuk dirawat, harga pupuk sekarang kan mahal pak! Itu beberapa pertanyaan yang sempat terlontar dari para peserta. Bagi saya pribadi, berat – ringannya sebuah tanggungjawab kuibaratkan seperti memanjat pohon. Bagi kita yang merasa malas untuk lecet kulitnya, malas untuk kram otot-otot kakinya lantaran memanjat pohon, ya jangan memanjat. Duduk aja melongo seperti sapi bego makan rumput sebanyak-banyaknya sambil berak dan kencing di situ. Walau berat membawa perdamaian di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini, setidak-tidaknya kita sudah berada di atas dahan pohon itu. Apa jadinya jika kita terus tak mau ambil pusing terhadap kemanusiaan? Jelas! Kita tergolong makhluk setengah manusia (dedemit).

Tema ke dua tentang permasalahan HAM. Kini giliran anggota perwakilan Komnas HAM Kalbar yang angkat bicara. Untuk kali ini saya tidak akan berkomentar banyak. Intinya, saya pribadi masih men-sayang-kan mengapa Komnas HAM tidak diberi kewenangan untuk menangkap, seperti KPK misalnya. Mereka hanya diberi ruang untuk sebatas menyelidik, memantau lalu dilaporkan ke sana-sini, wira-wiri, ngalor-ngidul, puter-puter tapi tidak diberi hak untuk memfonis. Bukankan ini juga pelanggaran HAM terhadap HAM sendiri?. Tolong renungkan kawan-kawan.

Tema ke tiga menyangkut masalah kebijakan. Pak Syukrie dalam makalahnya dengan judul “Membangun Bangsa Melalui Potensi Pluralisme dan Multikulturalisme Dalam Persepektif Public Policy di Kota Singkawang”, lebih berbicara banyak tentang perwujudan dari visi dan misi Pemerintah Kota Singkawang yaitu “Mengembangkan Tatanan Kehidupan Sosial Yang Harmonis Dan Demokratis Melalui Peningkatan Sikap Toleransi Keamanan, Ketertiban Dan Menjunjung Tinggi Supremasi Serta Kepastian Hukum Yang Berlaku”. Kembali saya mohon maaf, saya tidak bisa berkomentar banyak. Intinya hebat lah!.

Setelah istirahat Sholat, acara ditutup dengan diskusi. Setiap selesai acara yang di lakukan, dalam hati kecil aku selalu berharap. “Semoga Sambas akan seperti dulu lagi, dengan masyarakatnya yang religius, bertoleransi tinggi, menjaga akhlakul karimah serta terus tersenyum bagi siapa saja” semoga – amien.