Rabu, 14 Januari 2009

REFLEKSI SEPULUH TAHUN KONFLIK SAMBAS


Tulisan ini merupakan kerja yang apik dari kawan-kawan yang berkecimpung sebagai pekerja perdamaian di Kalbar. Berikut isi dari tulisan tersebut :

”Status Quo” Proses Rekonsiliasi
Menjelang 10 Tahun Paska Konflik Sambas Tahun 1999
(Sebuah Catatan Hasil Refleksi)
__________________________________________________________________________________________

A. Latarbelakang

Disadari atau tidak saat ini telah menjelang 10 tahun perjalanan dan proses rekonsiliasi paska konflik Sambas 1999. Sebuah rentang waktu yang terlalu panjang bagi para pecinta dan pekerja perdamaian; dan 10 tahun yang tidak berarti apa-apa bagi kelompok “pro status quo”.

Bercermin dari belahan bumi borneo yang sama; meskipun situasi konflik di kedua wilayah Kalteng dan Kalbar sudah reda; di kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) secara bertahap warga Madura telah kembali ke sana, sedangkan di kabupaten Sambas mereka masih belum masuk ke wilayah itu. Bila dirujuk pada teori mengenai empat tahap resolusi konflik, yaitu : 1) de-eskalasi konflik, 2) intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik, 3) problem solving approach, dan 4) peace building; maka daerah Kalimantan Tengah lebih maju daripada Kalimantan Barat. Kasus Sampit sudah memasuki tahap ketiga, sedangkan kasus Sambas masih berada pada tahap kedua. Hal ini tidak terlepas dari faktor pendorong dan penolak resolusi konflik itu sendiri.

Peranan Negara dalam Transformasi Konflik di Kalimantan Barat dinilai cukup relevan dan penting. Berikut ini kondisi dan permasalahan yang melatarbelakangi :
Pada tahap De-eskalasi Paska Konflik, dalam tindakan jangka pendek : Aparat keamanan dalam jumlah yang sangat terbatas yang ada di area konflik coba meredam konflik, dan aparat yang diterjunkan itu cenderung tidak netral. Perkembangan di lapangan waktu itu menunjukkan bahwa Polsek dan Koramil tak lagi mampu mengendalikan situasi, dan tidak mampu segera mencegah berlanjutnya kekerasan. Aparat gagal melokalisir kerusuhan dan pemblokiran, sehingga kerusuhan meluas. Aparat gagal mencegah jatuhnya banyak korban jiwa dan harta benda.

Untuk periode jangka panjang, Negara Kurang mampu mendorong terjadinya reduksi perasaan saling membenci di antara pihak-pihak yang pernah bertikai. Dalam konteks kasus Sambas Pemerintah Daerah setempat turut mendukung dan menyebarkan “hidden agenda” untuk menolak Madura kembali ke bumi Melayu Sambas. Dilapangan terdapat kecenderungan di kalangan Masyarakat maupun di kalangan elit, perasaan “membenci” etnik Madura masih tumbuh subur. Negara gagal memainkan peranan de-eskalasi karena negara belum mau dan mampu menemukan cara-cara pemecahan masalah yang dapat dikatakan adil bagi pihak Madura. Pendekatan yang dianut ialah “pendekatan alamiah” yang cenderung bermakna “pembiaran”; yang secara sepihak hanya menguntungkan etnik Melayu Sambas, dan sangat merugikan warga madura.

Pada tahap intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik; Pemerintah Propinsi kalbar melakukan relokasi pengungsi; sementara di Sambas terbit Surat Edaran Bupati Sambas tentang Inventarisasi Tanah-Tanah milik orang Madura yang ditinggalkan di Sambas. Dalam hal ini di lapangan menunjukkan tidak adanya koordinasi antara pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten Sambas. Pemerintah sambas merasa ditinggalkan/tidak dilibatkan atau tidak mau ikut campur. Program pemerintah untuk tujuan perdamaian hampir dapat dikatakan tidak ada. Pemerintah Daerah tidak serius, sehingga banyak tanah-tanah milik orang madura yang dikuasai oleh orang Melayu, oleh Pemerintah Desa, atau disita sebagai “rampasan perang”.

Analisis perbandingan terhadap proses transformasi konflik antara Kalbar dan Kalteng menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
Parameter Sambas, kalbar Sampit, Kalteng
Data Korban Korban tewas sekitar 200 orang; pengungsi 30.000
Lokasi Pengungsian di wilayah Kalimantan Barat Korban tewas sekitar 400 orang; pengungsi 100.000
Lokasi Pengungsian di wilayah Jawa Timur
Kondisi Umum Paska Konflik Orang Madura ditolak masuk wilayah Sambas Orang Madura sudah kembali secara bertahap
Peran Negara
Tahap de-eskalasi Aparat keamanan lambat dalam mencegah penyebaran konflik Aparat keamanan lambat dalam mencegah penyebaran konflik
Tahap Intervensi Kemanusiaan Penampungan Pengungsi menjadi proyek Propinsi Kalbar. Kabupaten Sambas tidak dilibatkan Penampungan pengungsi sebagian besar di Jawa Timur.
Pemerintah Pusat menyediakan transportasi kapal (Pelni, TNI AL) untuk mengangkut pengungsi.
Tahap Negosiasi Politik Tidak banyak perannya; kalaupun ada difasilitasi oleh Pemerintah Propinsi dan Polda. Ada dukungan secara nasional lewat pertemuan di Jakarta, Yogyakarta, Malang, Bangkalan
Kepentingan penguasa yang memiliki konstituen kuat di Jawa Timur.
Pengungsi korban konflik Sampit banyak yang lari ke Madura, Pemerintah Jawa Timur merasa Keberatan
Kebijakan Pemerintah Daerah Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor : 143 Tahun 2002 tentang Pembentukan Team Gabungan Penanggulangan Pengungsi Pasca Kerusuhan Sosial di Kalimantan Barat.
Perda No. 10 tahun 2005 tentang RPJMD Provinsi Kalimantan Barat tahun 2006 – 2008 tanggal 31 Oktober 2005; khususnya pada Bab tentang Agenda Mewujudkan Kalimantan Barat Harmonis dalam Etnis) Perda Propinsi Kalteng No. 9 Tahun 2001 tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik
Perda Kabupaten Kapuas Nomor 11 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengembalian Pengungsi Dampak Konflik Etnik
Perda No. 5 Tahun 2004 tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik) Kalimantan Tengah
Peran Masyarakat Kelompok Penolak Resolusi Konflik sangat kuat (FKPM), dengan jaringan yang kuat di kalangan elite formal (birokrasi, DPRD) di tingkat Propinsi sehingga kabupaten, maupun elite Informal (Kesultanan Sambas), serta dukungan luas masyarakat Sambas.
Kelompok pendorong Resolusi Konflik, memiliki jaringan yang lemah dan hanya kuat di kalangan pengungsi Madura saja.
Peran NGO : parsial dan rebutan kapling proyek
Pengembalian pengungsi lebih banyak di kota-kota Hampir tidak ada kelompok penolak resolusi konflik.. Garis keras hanya ada di segelintir elite Dayak, Kristen atau sisa-sisa pelaku konflik. Garis keras tidak ada di grassroot, kecuali bila ada saudaranya terbunuh atau yang punya catatan hitam dalam relasi dengan Madura sebelumnya.

Kelompok Pendorong Resolusi Konflik ; FK4 (Forum Komunikasi Korban Kerusuhan Kalteng) memainkan peranan yang menonjol. Disamping peran institusi keagamaan IPMPU (Ikatan Pemuda Muslim Pembela Umat) yang didukung baik oleh Madura maupun Dayak Islam.
Peran NGO : ada kerjasama dalam pengembalian pengungsi, lebih banyak di desa-desa.
Dinamika Hubungan Masyarakat-Negara Paska Konflik : lingkup kabupaten
Kekuatan politik menjadi lebih homogen : (i) Membangun “tembok Sambas” ; (ii) Keraton tulang punggung penolak orang Madura Kembali
Pemekaran Wilayah mengakomodasi kepentingan Elite dan Masyarakat, serta pembagian wilayah kekuasaan antar etnik.
Pilkada; Kandidat dengan sengaja menghindari isu pengembalian Madura ke Sambas.

Paska Konflik : lingkup propinsi

Kekuatan politik tetap “heterogen” : (i) peran damang dalam menyeleksi kembalinya orang Madura

Pemekaran wilayah membuat banyak elite yang tertampung dalam struktur pemerintahan. Isu pemekaran menyebabkan masyarakat dayak tidak terfokus menolak warga madura.
Pilkada bisa berdampak negatif bila isu etnis ditampilkan, misalnya menyebarkan isu bahwa calon tertentu memiliki darah Madura.

Adanya rasa aman dan nyaman merupakan kebutuhan dasar bagi umat manusia. Kebutuhan ini mendorong semua unsur masyarakat untuk memperjuangkannya dengan cara dan peran masing-masing. Maka menciptakan rasa aman adalah tugas semua unsur masyarakat. Tetapi bila terjadi ”perebutan peran” dan sering memakai kekerasan dengan akibat warga masyarakatlah yang menjadi korban di tengah perseteruan dan inilah cikal bakal terjadi atau terulangnya konflik.

Keadilan dan kebenaran (tujuan penegakan hukum) mau tidak mau harus kita kedepankan, dan ini merupakan ”nilai sentral” yang selalu menyentuh berbagai aspek dalam praktek kehidupan kita termasuk juga dalam proses kebijakan pembangunan.

Tujuan yang hendak dicapai adalah tujuan untuk mewujudkan penegakan hukum dan menghilangkan kekebalan hukum bagi kelompok tertentu. Langkah kebijakan inilah bertujuan untuk menyatakan secara transparan apa yang benar, dan apa yang salah—(efektifitas hukum dapat tercapai lewat konsep harmonis antar etnis)
Melihat sembilan prinsip Good Governance dalam kaitannya dengan pencapaian visi Harmonis antar Etnis, maka ada beberapa karakteristik yang harus dilakukan pendalamannya dari program lalu, antara lain :
Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasi. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

Rule of Law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Consensus Orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.

Di sinilah diperlukan membangn masyarakat yang responsif, di mana suatu masyarakat atau komunitas yang lebih tanggap terhadap tuntutan warganya dan mau mendengarkan keluhan serta keinginan-keinginan warganya. Masyarakat yang responsif ini adalah masyarakat yang dalam mengungkapkan dan menegakkan nilai-nilai sosialnya, tujuan-tujuannya, kepentingan-kepentingannya tidak dilakukan dengan melalui cara paksaan akan tetapi cenderung dilakukan dengan melalui penyebarluasan informasi, pengetahuan dan komunikasi. Konsekuensinya dalam memecahkan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, budaya dan hankamnya terutama dilakukan dengan cara-cara persuasif dengan memberikan dorongan, bukannya unjuk kekuasaan atau bahkan melembagakan kekerasan.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, strategi kebijakan yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan hukum pada tingkat yang paling tinggi. Pembangunan Hukum harus ditujukan untuk tegaknya supremasi hukum, sehingga kepentingan ekonomi dan politik tidak dapat lagi memanipulasi hukum sebagaimana terjadi di masa lalu. Pembangunan Hukum sebagai sarana mewujudkan supremasi hukum, harus mendapat tempat yang strategis sebagai instrumen utama negara dan kehidupan pada umumnya. Hukum juga harus bersifat NETRAL dalam menyelesaikan POTENSI KONFLIK dalam masyarakat Indonesia (Kalbar) yang majemuk.

Maka untuk mewujudkan konsep perdamaian berkelanjutan sangat berkaitan dan bergantung pada jaminan adanya pemerintahan yang bersih dan layak (good governance), maka pelaksanaan pembangunan hukum harus memenuhi asas-asas kewajiban prosedural (fairness), keterbukaan sistem (transparency), pengungkapan kerja yang dicapai (disclosure), pertanggungjawaban publik (accountability) dan dapat dipenhi kewajiban untuk peka terhadap aspirasi masyarakat (responsibility). Untuk itu, dukungan dari penyelenggara negara merupakan faktor yang menentukan terlaksananya pembangunan hukum secara konsisten dan konsekuen.

Di sinilah diperlukan keterkaitan pembangunan perdamaian berkelanjutan dengan aspek yang terkait khususnya dengan pembangunan hukum, maka langkah-langkah perwujudan sistem hukum nasional dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat untuk menjadikan hukum menjalankan peranya, tidak saja sebagai sarana pembaharuan masyarakat (tool of social engineering ), tetapi juga sebagai alat perekat bangsa (termasuk perekat suku yang pernah bertikai dalam suatu konflik).

Dalam konteks inilah masih diperlukan untuk menyusun norma hukum sebagai rambu-rambu yang dapat dijadikan acuan sosialisasi ke depannya. Bila kita akan menjadikan suatu perubahan dalam masyarakat lewat peranan hukum di dalamnya, maka harus diingat bahwa hukum mengandung empat nilai dasar yang merupakan ”law frame” yang harus diperhatikan, yaitu :
Hukum itu berwatak melindungi (mengayomi) dan bukan sekedar berisi muatan norma imperatif (memerintah) begitu saja;
Hukum itu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Keadilan sosial di sini bukan semata-mata sebagai tujuan, akan tetapi sekaligus sebagai pegangan yang konkrit dalam membuat peratutan hukum;
Hukum itu adalah dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan; dan
Hukum adalah pernyataan kesusilaan dan moralitas yang tinggi baik dalam pelaksanaannya sebagaimana yang diajarkan agama dan adat rakyat kita.
Dari keempat nilai dasar pembentukan hukum inilah yang sangat erat kaitanya dengan penuntasan konflik yang harus punya kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait. Di sini peranan pemerintah atau pemerintah daerah sangat diharapkan dan punya pijakan dasar yang pasti (lewat aturan hukum) dalam mengatasi konflik dan membangun perdamaian berkelanjutan dengan koridor harmonis antar etnis.
Atas dasar hal tersebut di atas Refleksi ”Status Quo” Proses Rekonsiliasi Menjelang 10 Tahun Paska Konflik Sambas Tahun 1999; dilakukan.

B. Tujuan dan Hasil yang diharapkan

Brainstorming merefleksikan realitas tentang kondisi, permasalahan, dan tantangan proses rekonsiliasi yang dihadapi; menjelang 10 tahun paska konflik Sambas tahun 1999.

Mengkaji ajaran (norma) yang dianut oleh masyarakat lokal (kearifan agama, tradisi dan budaya ) yang secara substantif dapat menjadi dasar pembentukan hukum dan pengembangan kebijakan untuk mengatasi konflik dan membangun perdamaian berkelanjutan dalam konteks advokasi oleh jaringan
Tercapainya sebuah kesepakatan-kesepakatan dalam nenetapkan strategi advokasi kebijakan yang mendukung proses rekonsiliasi dan rekonstruksi paska konflik sosial Sambas tahun 1999

C. Pendekatan

Kegiatan kali ini dilakukan dalam bentuk Focus Group Discussion yang melibatkan Ahli dan Jaringan Program.

Secara umum, dalam konteks Program Advokasi Kebijakan pro-Keadilan Sosial Dalam Kerangka Penguatan Proses Rekonsiliasi, terdapat dua isu kebijakan yang strategis yaitu : “ Rekonstruksi dan Rekonsiliasi ” paska kerusuhan sosial Sambas tahun 1999. Dalam konteks rekonstruksi sosial, isu yang akan digali dan dibahas antara lain : realitas masyarakat yang masih menanggung beban yang cukup berat dalam mengelola berbagai akibat konflik (melawan trauma) dalam berbagai aspek kehidupan; terkait dengan keterbatasan sumber daya alam, sarana dan fasilitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan (pangan, pendidikan, kesehatan, dll). Sedangkan dalam konteks “rekonsiliasi”, isu yang akan digali dan dibahas adalah : realitas di masyarakat bahwa pada dimensi personal masih dirasakan ketakutan, prasangka yang berlebihan antar kelompok etnis (madura dan melayu Sambas); relasional, masih ditemuinya pembatas-pembatas dan sumbatan-sumbatan komunikasi antar warga yang pernah bertikai, struktural, belum mampunya pemerintah menjamin perlindungan hak-hak warga yang pernah bertikai; dan kultural, masih rendahnya apresiasi terhadap nilai-nilai multikultural (ragam budaya) pada masyarakat yang majemuk.

Secara khusus dalam forum ini membahas strategi untuk mendorong terjadinya proses kebijakan yang sensitif “perdamaian” dengan menjadikan ajaran (norma) yang dianut oleh masyarakat lokal (kearifan agama, tradisi dan budaya ) sebagai dasar pembentukan hukum dan pengembangan kebijakan.

D. Catatan Hasil Refleksi

Kegiatan Dialog Kebijakan yang dibiayai dengan dana yang bersumber dari anggaran Program YSDK – CORDAID ini itelah dilaksanakan oleh Team Program Peace Building YSDK bekerjasama dengan Jaringan Program. Kegiatan ini telah melibatkan sebanyak 21 orang (4 orang atau 19%-nya perempuan) yang terdiri dari masyarakat, institusi/pemimpin lokal, NGO yang tergabung dalam jaringan program Advokasi Kebijakan pro-Keadilan Sosial Dalam Kerangka Penguatan Proses Rekonsiliasi; media / pers; dan staff program.

Rekonsiliasi dan Proses Kebijakan (Sudut Pandang Hukum)

Keadilan dan Kebenaran sebagai tujuan penegakan hukum, mau tidak mau harus dikedepankan, dan itu merupakan nilai sentral yang menyentuh berbagai aspek dalam praktek kehidupan termasuk dalam proses kebijakan pembangunan.

Berbagai langkah strategis dapat dilakukan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran itu. Tujuan yang hendak dicapai adalah mewujudkan penegakan hukum dan menghilangkan kekebalan hukum bagi kelompok tertentu. Langkah kebijakan inilah bertujuan untuk menyatakan secara transparan apa yang benar dan yang salah. Dalam Konteks Kalimantan Barat, secara konseptual efektifitas hukum harusnya dapat tercapai melalui “Harmonis antar Etnis”.

Untuk memperjuangkan harmonis antar etnis melalui proses kebijakan pembangunan di Kalimantan Barat, bisa dilakukan dengan mengurangi volume konflik dan meningkatkan kesadaran masyarakat, agar tidak ada orang yang tersingkir (masyarakat / suku yang termarginalkan); dan untuk terciptanya rasa aman dari segi politik dan ekonomi, diperlukan “rekonsiliasi sosial”, suatu pemulihan kembali tatanan kemasyarakatan moral sedemikian rupa sehingga apa yang terjadi sebagai kejahatan masa lampai tidak akan terjadi di masa mendatang.

Di sinilah diperlukan antara lain : mencari kebenaran mengenai masa lampau (mencari kebenaran); mencari tahu keadilan mana perlu ditegakkan (mencari keadilan); dan mencari serta berjuang menciptakan suatu masa depan yang lebih adil (menciptakan harapan dan peluang hidup) melalui proses pembangunan yang sedang berlangsung.

Rekonsiliasi bukan sesuatu yang mudah dan cepat tercapai, melainkan sebuah proses yang penuh susah payah untuk meresapi apa yang terjadi di masa lampau dan menciptakan suatu dunia baru dimana penderitaan masa lampau tidak akan terjadi lagi. Jangan terjadi lagi seperti dulu, membuat wajah Kalbar mundur beberapa puluh tahun ke belakang (akibat terjadi pelanggaran hukum secara besar-besaran).

Tidak ada lagi jalan lain untuk membangun keharmonisan baik di dalam atau antar etnis yang masing-masing pernah terluka, selain membangun suatu sikap (pribadi maupun kolektif) yang jujur, ikhlas hati dan kesediaan untuk berupaya tanpa mengenal lelah. Dengan cara mengembangkan sikap mendengar, membatasi ledakan emosi, memberikan peluang secara setara kepada setiap pihak untuk mengungkapkan diri. Maka jalan menuju rekonsiliasi, merupakan jalan menuju suatu dunia yang lebih adil dan penuh damai. Unsur kesetaraan akan memberikan dasar yang kuat untuk mengatasi suatu konflik dan menuju pemulihan kembali hubungan antar warga yang pernah berkonflik.

Adalah suatu proses kebijakan pembangunan yang sedang dilakukan di Kalimantan Barat dengan kata pengikatnya “harmonis antar etnis”; yang tertuang melalui suatu kebijakan hukum dengan dikeluarkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalbar tahun 2006 – 2008 tanggal 31 Oktober 2005. Sebagai landasan konstitusional sebagai bentuk hukum dalam perkembangan sistem politik yang semakin terbuka memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat Kalimantan Barat untuk ikut terlibat dan berperan aktif dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan kepentingan bersama, seluruh komponen masyarakat Kalimantan Barat untuk diwujudkan dalam kehidupan sosial dalam membangun NKRI di daerah Kalimantan Barat. Hal ini lah nantinya melalui “payung hukum” yang ada konsepsi “harmonis antar etnis” semakin urgent untuk diperjuangkan agar menjadi sebuah “kesadaran kolektif” (identik dengan kesadaran hukum) di tengah masyarakat Kalimantan Barat yang heterogen pluralis.

Dalam kerangka pembentukan hukum dan pengembangan kebijakan dalam membangun perdamaian, beberapa aspek perlu dicermati :
Para korban diberi kesempatan untuk mengutarakan nasibnya secara terbuka, tanpa ancaman, diberikan kesempatan untuk memahami latarbelakang persoalan yang menimbulkan atas dirinya;
Para korban diajak berbicara proses penyembuhan “luka batin” secara pribadi;
Membuka secara luas sejarah pahit, dengan mengarah pada perbaikan tatanan sosial, sehingga yang terjadi di masa lampau tidak akan terulang lagi;
Hasil rekonsiliasi perlu dijadikan “milik umum”.

Payung Hukum dan Kebijakan Publik merupakan bagian rekonsiliasi yang masih tersendat-sendat dalam 10 tahun paska konflik di Kalimantan Barat. Peningkatan “Kesadaran Hukum” Masyarakat yang akan mencerminkan pada rasa patuh dan taat terhadap hukum masih menjadi kendala. Menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan “keadilan dan kebenaran”; di sini diperlukan :
Mengembangkan “budaya hukum” di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam rangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum;
Menegakkan hukum secara konsisten untuk menjamin kepastian hukum, kepastian, dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai hak asasi manusia;
Menata secara menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati “hukum agama dan hukum adat” melalui program legislasi;
Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam seluruh aspek kehidupan.

Dengan adanya payung hukum dalam rekonsiliasi, hal ini merupakan pembangunan hukum, harus mendapatkan tempat yang strategis sebagai instrumen utama dalam mengarahkan, menjaga dan mengawasi jalannya rekonsiliasi yang sudah dibangun selama ini dalam kehidupan dua suku yang pernah bertikai. Dan “hukum” harus juga bersifat “netral” dalam menyelesaikan “potensi konflik” dalam masyarakat Kalbar dan Indonesia yang majemuk.

Alangkah bijaknya umat islam bila masih ingat pada “batu-batu dasar” yang telah diletakkan oleh “Piagam Madinah” sebagai landasan kehidupan ke depan bahwa hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antar komunitas yang lain didasarkan atas prinsip-prinsip : Bertetangga baik; Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; Membela mereka yang teraniaya Saling menasehati; dan Menghormati kebebasan beragama. Dengan menghormati Piagam Madinah ini, berarti “kewajiban” mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, kewajiban melaksanakan agama masing-masing secara utuh dan menyeluruh, kewajiban membela kebenaran dan kewajiban bertanggungjawab atas resiko yang timbul dari pelanggaran dirinya sendiri.

Walau demikian yang masih perlu dipertanyakan sampai saat ini adalah faktor “penolakan” terhadap rekonsiliasi. Penolakan rakyat terhadap suatu perubahan dikarenakan beberapa alasan antara lain : Mereka tidak memahaminya; Bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada; Para anggota masyarakat yang berkepentingan dengan keadaan (vested interest) cukup kuat untuk menolak perubahan tersebut; Resiko yang terkandung dalam perubahan itu lebih besar daripada jaminan sosial ekonomi yang bisa diusahakan.

Keempat faktor di atas itu lah yang harus didalami untuk kepentingan ke depan. Sebab berlakunya payung hukum dalam masyarakat (lembaga) akan / telah sampai pada suatu perhitungan tentang faktor-faktor yang mendorong maupun menghambat (menjadi kendala perwujudan hukum sebagai perilaku).

Apabila hukum dinyatakan berlaku, berarti didorong oleh faktor motif dan gagasan yang berupa : kepentingan sendiri, tanggapan pengaruh sosial, kepekaan terhadap sangsi dan kepatuhan. Sedangkan hukum dinyatakan tidak berlaku, maka ada sejumlah faktor yang turut menghalanginya antara lain : bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma, dan resiko sosial.
Dialog Kebijakan (perspektif budaya)

Konflik tidak akan terjadi jika tidak ada biang keladi yang merekayasa, konflik tidak terjadi jika semua orang mengakui bahwa kita ini satu. Di Sambas tidak perlu terjadi konflik, karena sejak ratusan yang lalu telah terjadi perkawinan lintas suku. Kita harus mengakui bahwa identitas kita tidak ada yang murni seratus persen; di dalam diri kita pasti ada darah-darah lain yang masuk. Kejujuran untuk mengakui hal itu tidak terjadi; sebaliknya kita secara egoistis selalu membanggakan ke-akuan kita. Jika pikiran seperti itu dikembangkan akan terjadi seperti yang dilakukan Hitler; bahwa rasnya yang paling utama, sementara ras yang lain tidak penting. Menangani kasus Sambas, jangan hanya di permukaan tetapi harus sampai pada dimensi itu.

Berbicara perubahan, jangan terlalu percaya dengan pendekatan-pendekatan kepada elit yang terkait dengan berbagai kepentingan dan konstelasi politik. Lebih baik pendekatan dengan anak-anak, karena dengan pendekatan terhadap anak, bisa menyentuh pada persoalan tentang rancangan masa depan yang kita idam-idamkan. Untuk melakukan perubahan pada level kebijakan, sebaiknya tidak fokus kepada legislasinya, tetapi pada manusianya (dengan peningkatan kapasitas : pengetahuan dan ketrampilan) yang membuat legislasi.

Sambas tidak relevan lagi disebut sebagai “serambi Mekah”, nilai nilai luhur pernah dianut masyarakat, tetapi hal itu terjadi pada ratusan tahun yang lalu. Sekarang sudah menjadi wilayah yang multikultural, kosmopolitan dan ada berbagai interaksi multidimensi dan multikompleks. Tetapi masih ada harapan, seandainya semangat itu di pertahankan bisa melalui norma-norma keagamaan , norma-norma “keIslaman”. Tantangannya adalah saat ini para da’i cenderung lebih doktriner.

Ada berbagai area yang perlu kita dekati untuk tujuan perdamaian dan transformasi konflik, bisa agama, politik, dan bidang pendidikan. Strateginya bisa dengan menggunakan prinsip makan bubur panas (mulai dengan bagian pinggiran yang sudah dingin). Atau dengan pendekatan pada berbagai dimensi perubahan, mulai dari ranah personal yang akan berdampak (multiplier-effect) pada relasional, struktural dan kultural. Ada beberapa langkah yang paling mungkin dilakukan yang bisa berdampak multiplier-effect (dampak yang besar pada berbagai sisi kehidupan) yaitu melalui pendidikan.

Jika penanganan kasus Sambas masih “status quo” , hal itu tidak lepas dari faktor penghambat, yaitu : “kepentingan”

Terkait dengan cita-cita membangun norma Hukum, dalam konteks kasus Sambas; kesadaran personal adalah hal yang utama, namun tidak bisa lepas dari konsesnsus kelompok. Bagaimana hal itu tercipta jika lingkungan tidak mendukung. Apakah perlu ada intervensi dari luar, dikala lingkungan tidak mampu menanamkan doktrin untuk kesadaran personal ?

Terkait nilai dan symbol yang berkembang dan dianut oleh Masyarakat Sambas seperti “serambi Mekah”, dalam konteks masyarakat dinamis tentulah tidak permanen. Bisa saja dari serambi Mekah menjadi Madinah; sebagai sebuah symbol dan representasi kehidupan Masyarakat jika itu positif perlu diapresiasi; tetapi jika itu negatif perlu terus diingatkan.

Karena hubungan relasional yang intensif, nilai-nilai yang hancur itu mungkin sulit untuk dibentuk atau dibangun lagi. Yang ada adalah sesuatu yang baru; pertanyaannya adakah nilai-nilai terbaru yang dapat diacu sebagai norma hukum yang humanis yang menghargai perbedaan.

Pada masyarakat yang paling bawah, kepentingan untuk rekonsiliasi masih belum diterima karena stigma negatif terhadap orang madura yang masih begitu kuat. Masih perlu waktu yang lama untuk memaklumi bahwa orang madura sebenarnya bukan orang jahat, untuk memaklumi bahwa orang madura adalah sahabat mereka, orang-orang baik yang diciptakan Tuhan. Masih sulit untuk menerima perbedaan suku, meskipun dalam tataran agama sama-sama Islam. Stigma ini harus dihapuskan. Perlu dibangun jaringan di Sambas untuk menghilangkan stigma negatif terhadap orang madura.

Elit politik di Kalimantan Barat 60% dikuasai oleh orang Sambas, meskipun pendidikan tinggi tetapi pola pikir kedaerahan masih cukup kuat. Kalaupun mereka berbicara di media untuk isu rekonsiliasi, hal itu hanyalah kamuflase dan bersifat politis saja.

Kita sebenarnya punya aset, yaitu elit-elit yang ada di universitas yang orang Sambasi itu, yang belum dimanfaatkan. Sedikit banyak tentu mereka tahu dan punya sense of belonging terhadap persoalan Sambas. Mereka bisa menjadi “agent” (perantara) untuk meyakinkan komunitas di Sambas untuk menghilangkan stigma. Kalau dibiarkan stigma pada diri komunitas Sambas bisa turun temurun pada generasi muda (anak-anak), sehingga konflik akan berkelanjutan.

Diperlukan kejujuran semua pihak, akuilah bahwa konflik ini sudah sepuluh tahun; diperlukan intervensi.

Perubahan akan sangat besar terjadi pada masyarakat Sambas ketika nanti Pertamina menyalurkan gas dari Natuna ke Paloh, ketika plan di Paloh nanti beroperasi akan ada dampak positif dan negatifnya. Akan ada banyak orang luar datang, secara positif akan menjadi agen untuk menetralkan atau mencairkan kebekuan yang ada; tetapi mungkin juga sebaliknya akan terjadi konflik karena dampak dari perubahan yang besar.

Tentang nilai-nilai apa yang masih bisa dianut; itu kembalikan saja kepada masyarakat. Tahun 60-an di Sambas, ternyata masyarakatnya hidup “peacefull”; masyarakat Sambas sebenarnya “permisif” sangat terbuka, siapa saja diterima. Tetapi kondisi semacam itu bisa terjadi karena tergantung pendekatan; maka diperlukan adanya agensi perubahan sosial.

Makin banyak Lembaga yang melakukan advokasi terhadap isu ini akan lebih baik, tetapi harus dilakukan pemetaan dulu tentang mana-mana daerah yang menolak terlalu kuat yang memerlukan pendekatan. Sosok yang berasal dari dunia pendidikan mungkin akan lebih fleksibel melakukan pendekatan, dan menjadikan para guru menjadi agen perubahan. Pendidikan itu seperti “menanam pohon kelapa” , yang tidak bisa 3 bulan di panen, memerlukan waktu 7 tahun. Prinsipnya, perubahan perlu dimulai dari “sekarang”, dari hal yang “kecil”, dan kembalikan kepada “nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat” Sambas.

Sebenarnya mereka tahu bahwa tidak perlu saling bermusuhan; di suatu kampung di Sambas ada ungkapan bahwa setelah ditinggal orang madura hasil pertaniannya menurun. Ada pengakuan bahwa keberadaan orang madura sebenarnya juga memberikan sumbangan secara ekonomis dalam kehidupan masyakat Sambas. Diungkapkan juga bahwa dulu ketika mau berkurban (Idul Adha) jika dibutuhkan, sapi potong itu cukup banyak, tapi sekarang ini susah dan harus mendatangkan dari luar.

Ada kesadaran, dan ada pengakuan “saling membutuhkan”, tetapi ada pembatas yang cukup kuat yaitu siapa yang berada di atas, siapa yang memegang bendera (yang berkuasa). Untuk itulah perlu intervensi, hanya saja bagaimana (strategi) intervensi itu dilakukan, yang masih memerlukan kajian terus menerus; bisa jadi melalui informal leader dari kalangan berbagai agama, atau mengoptimalkan peran intelektual yang ada di Pontianak, atau mendorong orang-orang yang terpandang yang mempunyai kekuatan untuk melakukan perubahan.

Perubahan harus terjadi, jangan sampai nanti dikejutkan dengan perubahan ekonomi dan sosial akibat pembangunan, industrialisasi, dll. Harus berani mengakui bahwa orang madura itu telah berkontribusi terhadap perubahan yang besar, dan hasilnya digunakan oleh banyak orang; dan jangan menilai dari sisi kriminalnya saja, karena kriminal itu dimana-mana ada. Hal ini yang perlu digunakan sebagai “isu” untuk meyakinkan para pihak untuk sebuah perubahan.

Persoalannya memang kembali kepada strategi intervensi; tentang bagaimana dan dimana dilakukan. Misalnya pendikatan tidak lagi dilakukan di Pemangkat, karena Pemangkat atau Sekura merupakan area yang sudah terbuka. Sejak Sambas masih disebut Serambi Mekah, Sekura sudah cukup maju dalam pergaulannya. Apakah kita bisa memasukkan virus-virus perubahan itu pada calon-calon legislatif, sebab umur lembaga legislatif sekarang ini tinggal 10 bulan. Mereka yang akan duduk kita pesankan untuk melakukan sesuatu walau sekecil apapun untuk melakukan perubahan. Pendekatan yang dilakukan perlu multi-aspek, melalui berbagai cara dengan informal leaders, politik, pendidikan, dan agama, yang bisa betul-betul memberikan pemahaman yang berarti.

Sesungguhnya saat ini terjadi saling ketakutan antara orang Sambas dan orang Madura. Mungkin situasi dipandang masih suasana perang. Kerja-kerja peacebuilding ini bisa jadi dipandang secara sempit sebagai pembelaan terhadap orang madura, tetapi yang terpenting adalah bagaimana meletakkan persoalanya secara kontekstual. Contoh yang sangat sederhana : Di Sambas ketika ada orang madura banyak pencurian, tetapi apakah sekarang ketika orang madura sudah tidak ada, masih ada pencurian ?

Konflik itu hanya sekedar dampak saja, yang terpenting adalah mencari titik kesamaan dimana semua orang bisa terbuka, hal ini yang belum ketemu sehingga pada tataran penyelesaian salah, baik pada kelompok Madura, Dayak, atau Melayu. Pendekatan yang dilakukan sekarang ini masih mengecil pada kelompoknya masing-masing, dan cenderung formalistik, politis. Dampaknya adalah pengelompokan yang lebih kecil, dan pendekatan yang formalistik cenderung memperkuat bukan persatuan “antar”-nya, tetapi justeru “dalam” kelompoknya. Banyak organisasi di Kalimantan Barat ini yang lebih mengesankan representasi kelompok-kelompok kesukuan. Kalau caranya seperti ini, yang akan jadi korban adalah : orang Madura, Cina, dan terakhir bisa Jawa. Atau yang terakhir nanti yang terjadi adalah perang antara kelompok Dayak dan Melayu. Hal itu bisa terjadi jika pendekatannya Formalis berbasis Kelompok Suku. Hal ini harus segera diperbaiki dari segi metodhologi dalam bekerja untuk isu-isu peace building atau keadilan sosial.

Perlu belajar dari pengalaman transformatif pada organisasi petani seperti yang dilakukan NGO di Sanggau, Sekadau yang selama ini terdoktrin dengan pikiran antropologis sukuisme didekati dengan pendekatan ekonomi politik terbukti sangat efektif untuk membangun sebuah perubahan. Orang Jawa dan orang dayak yang berada dalam satu organisasi bisa mempertahankan tanah yang sama.
Pengetahuan, cara pikir, pendekatan analisis dalam menyelesaikan masalah yang lebih mengemuka adalah pendekatan antropologis dibanding dengan pendekatan ekonomi-politis. Sehingga dampaknya sangat kelihatan, jika muncul konflik cenderung kesukuan, keturunan, dll. (bukan ekonomi). Hal ini untuk membantu melihat akar persoalan konflik yang terjadi, atau dalam mengembangkan teori secara komperehensif.

Sambas, tahun 2000 – Sekarang, hampir 70%-nya menjadi lahan konsesi perkebunan/kehutanan. Apakah ada yang pernah membaca bahwa konflik itu karena masuknya investasi besar di kalimantan Barat. Sementara Paloh itu menjadi seperti Batamnya (pusat ekonomi) Kaimantan Barat. Kalau pendekatannya masih seperti itu, jelompok jawa akan menjadi sasarannya.

Meskipun pendekatan antropologis juga berpotensi memunculkan pemikiran yang terkotak-kotak, bukan berarti pendekatan antropologi itu tidak penting, dalam konteks kasus Kalteng ternyata juga terbukti bermanfaat membawa perubahan. Persoalannya di Kalimantan Barat untuk kasus Sambas, sebenarnya telah terjadi horizontalisasi persoalan, dalam konteks Sambas kita selalu dihadapkan dengan pemahaman bahwa Konflik Sambas ini adalah persoalan antara Melayu dan Madura, pihak-pihak yang kita sebut dengan elit politik dan elit akademis selalu punya kedok dengan mengatakan bahwa masyarakat belum bisa menerima. Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa hubungan-hubungan personal itu sudah terbangun, meskipun sebagian masih diliputi rasa ketakutan.

Elit masyarakat memang tidak peduli dan tidak mempunyai kejujuran samasekali. Bagi elit politik bicara “rekonsiliasi” di Sambas itu sangat beresiko dalam hubungan politiknya, berbeda dengan di Sampit. Sangat disesalkan bahwa bukan hanya tidak peduli, tetapi para elit justeru sering terjebak dengan “tintanya yang berdarah itu” ; statemen, penelitian, pemikiran akademis yang cenderung hanya membuat semakin jauh kesesatan dan melanggengkan konflik.

Ketika kita baca di media, sekalipun pesimis, tetapi masih ada setitik harapan, misalnya adanya Forum Cendekiawan Sambas, meskipun hanya sekedar statemen, tetapi itupun tidak pernah muncul. Demikian juga pada kalangan aktivis; pada sebuah forum konsultasi regional untuk perdamaian di Kalimantan, tipikal personal aktivis NGO sangat berbeda dengan di Kalteng; ketika kasus Sambas diangkat untuk menjadi agenda prioritas untuk Kalbar mereka menyatakan keberatanya, karena dianggap kasus Sambas sudah selesai, jadi kalau bicara perdamaian : perdamaian seperti apa lagi yang diminta ? ; masih muncul pernyataan dan pertanyaan seperti itu.

Sebagai ilustrasi lagi, dalam forum konsultasi regional tersebut hadir Pemerintah dari Sampit dan Sambas yang berbeda sekali performance-nya. Di forum itu, pemerintah Sampit dalam ungkapan-ungkapanya meskipun terkesan keras terhadap orang Madura tetapi mencerminkan pengalaman tetang upaya yang serius untuk rekonsiliasi. Sementara Pemerintah Sambas, ungkapanya sentimentil (prihatin, sedih, dll); demikian juga terjadi pada NGO-nya yang sok pluralis tetapi tidak ada yang berbuat !

Sepuluh tahun merupakan rentang waktu yang cukup lama, membuat para pekerja perdamaian tidak sabar juga untuk melakukan perlawanan dan melakukan intervensi. Bahwa Sambas itu bagian dari Indonesia yang punya pemerintahan dengan hirarki struktural yang cukup jelas ke pemerintah pusat. Berkembang pemikiran tentang kasus Sambas yang telah dianggap selesai karena : “orang madura sudah tidak ada lagi di Sambas, orang Sambas merasa aman dan orang Madura tidak dibunuh lagi karena memang tidak di Sambas”; inilah yang melatarbelakangi munculnya pertanyaan seorang aktivis NGO di Kalbar : penyelesaian macam apa lagi yang di mau ?

Ironis memang, tapi harapanya sebenarnya bukan seperti itu; tetapi bahwa bagaimana agar orang madura ke Sambas tidak dianggap lagi seperti sebagai Tahanan Politik, Nara Pidana, atau mantan Preman yang akan kembali ke daerahnya.

Ini adalah pesoalan dikotomi yang tidak adil antara mayoritas dan minoritas; kelompok yang mayoritas (dominan) lebih cenderung mempertahankan status quo. Bagaimana kelompok minoritas ini bisa melakukan perlawanan untuk mendapatkan keadilan? Menunggu kelompok mayoritas untuk mengakui kelompok minoritas sebagai bagian yang berbeda adalah hal yang mustahil. Harus ada intervensi dari luar seperti misalnya pemerintah pusat; jika dibiarkan mengharapkan Pemerintah Daerah yang otaknya sudah rasis akan sulit.

Apakah diseminasi atau penetrasi ide, dan mendorong proses politik / kebijakan masih cukup relevan sebagai bentuk intervensi untuk rekonsiliasi Sambas ?

Di Kalimantan Barat, sesungguhnya orang Sambas itu pihak yang secara politik “kalah”, kekuatan politiknya hanya di Sambas. Kemudian mereka mengamankan posisi politik yang mutlak, bagi elitnya benteng keamanan politiknya hanya di Sambas.

Ini adalah eksperimen dan pertarungan politik elit politik Sambas untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada tingkatan ini kita harus lebih cermat melihat; kalau berbicara siapa yang berkonflik dan siapa yang memelihara konflik, yaitu : “Elit Politik”. Pada tataran strategis, dalam hal ini konteksnya tidak lagi bagaimana mengintervensi pemerintahan yang ada, tetapi bagaimana “menciptakan kekuatan politik di Sambas yang pluralis”. Harus dari pemain yang baru, bukan pemain yang lama yang mempertahankan kekuasaannya, yang notabene tidak bisa dilepaskan dari kekuatan feodal Sambas jaman dulu yang sekarang bermetamorfosis dalam sistem politik yang ada. Ternyata Feodalisme di Sambas lebih kuat dibanding Jawa; ilustrasinya pada tingkat akar rumput untuk bagaimana petani melawan pak RT-nya saja itu beratnya minta ampun di Sambas, baru bisa diyakinkan dengan harus mengatakan bahwa pak RT itu musuhnya, karena yang menyebabkan tanah petani lepas dirampas oleh sebuah PT. Untuk melakukan perubahan menggunakan pepatah yang dianut, misalnya : pemimpin lalim kita lawan, pemimpin adil kita junjung.

Perlu dilakukan pemetaan yang cermat pada semua kelompok di Sambas. Secara kontekstual dalam konflik antara kelompok Madura dan Melayu, cara memahaminya yang berkonflik di pihak Madura adalah “madura yang penjahat”, sedangkan di pihak Melayu “Elit Politik yang ingin berkuasa secara penuh”. Kekuatan politik di Sambas didominasi penuh oleh kelompok Melayu Sambas, hal ini sangat berpotensi menyuburkan pemikiran yang cenderung di-“generalisasi” dan memperkuat stigma. Di Kalimantan Tengah meskipun pendekatanya antropologis, tapi tidak terjadi generalisasi dalam penyelesaiannya, misalnya dengan memilah kelompok Madura yang “black-list” yang tidak boleh masuk kembali, sehingga tidak terjadi penolakan kepada “semua Madura”. Tinjauan ini yang tidak meng-generalisasi ini lah yang sebenarnya boleh diintroduksikan sebagai pendekatan untuk kasus Sambas.

Tinjauan secara formil dan ekstrim agar konflik ini selesai dalam waktu yang singkat, dan orang Madura bisa kembali tinggal di Sambas, hanya satu cara : Pemerintah dengan tentaranya bawa orang Madura ke Sambas dengan senjata yang lengkap. Tetapi jika kita mengandalkan pendekatan “kesadaran”, akan memakan waktu cukup lama bisa seratus tahun, asumsinya kalau tidak ada perubahan ekonomi yang mendasar, atau bencana alam seperti di Aceh, yang memungkinkan adanya mobilisasi dan interaksi secara lebih dinamis. Kalau mau jangka pendek, memang harus ada peran Pemerintah yang cukup jelas dan tegas dengan segala kekuatan dan kewenangannya.

Tetapi kalau dilihat dari kacamata perubahan politik, agenda untuk mengganti warisan feodal di Sambas (yang menjadi penguasa sesungguhnya sekarang) itu penting dan harus dilakukan. Soal di tingkat akar rumput ada pandangan masyarakat Sambas bahwa dulu orang Madura pernah mencuri, itu akan mudah terklarifikasi dengan sendirinya selama sepuluh tahun tanpa orang Madura.

Dalam tataran strategis, intervensi diperlukan bahkan pada tingkat untuk memaksa, dan harus ada kelompok penekan untuk melakukan perlawanan terhadap feodalisme dan ketidak adilan di Sambas, agar jika muncul sebuah pranata, norma, kebijakan, program, atau apapun pada birokrasi dan pemerintah yang berkuasa di Sambas akan bermuara pada tujuan perdamaian.

Hanya persoalannya yang belum ketemu adalah bagaimana strategi untuk mendorong atau memaksa agar para penguasa itu berbuat untuk melakukan perubahan di Sambas.

Legislasi itu tidak banyak menolong, selama pelaksana pembuat legislasi itu tidak bijak. Perubahan politik atau birokrasi yang ada di Sambas memang harus dilakukan, tetapi masalahnya dalam era otonomi sekarang ini sulit dilakukan. Memang harus ada perubahan atau kejutan, tetapi harus muncul dari perubahan ekonomi. Sambas bisa dipaksa berubah tetapi dari sisi ekonominya. Sepertihalnya Aceh, yang dipaksa berubah sangat besar kerena tsunami.

Karena kita tidak punya power, yang bisa kita lakukan adalah “mendorong” agar terjadi perubahan di Sambas, mulai dari siapa yang memegang bendera kekuasaan di Sambas. Atau dengan intervensi yang bukan politik atau legislasi, tapi ekonomi; kita lihat saja nanti kalau Paloh dan Teluk Keramat menjadi pusat industri, sementara Subah menjadi area penghubung ke Perbatasan, dan setelah jalan perbatasan dibangun, apa yang terjadi ? Diharapkan dengan pola itu masyarakat akan berubah.

Sekarang ini sudah ada perubahan kecil di tingkat bawah, tetapi yang masih belum bisa diputuskan adalah rantai kekuasaan karena pembatas otonomi daerah, yang tidak mungkin memasukkan calon dari luar ke Sambas. Dominasi orang Sambas akan berakhir kalau dipaksa dengan perubahan yang besar. Kekuatan ekonomi yang akan menghancurkan elit-elit politik di Sambas.

Yang paling konkrit kita mulai dari yang kecil, di bidang pendidikan yang menjangkau rentang waktu lintas generasi. Bahwa anak-anak bisa mengetahui dan sadar akan arti konflik dan perdamaian itu melalui pendidikan. Tidak banyak memang yang bisa dilakukan, jika kita bisa melakukan 0,1% dalam sepuluh tahun bisa menjadi 1%. Dan itu merupakan investasi yang sangat berharga untuk puluhan tahun mendatang. Bisa juga dilakukan oleh orang-orang Sambas yang peduli.

Jika kita berpedoman pada kebijakan publik, persoalannya menjadi sederhana sekali. Persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan melalui kebijakan publik. Kita punya kebijakan apa saja yang baik-baik, tidak akan jalan. Bagaimana Sampit menjadi kota mati, karena melalui proses kesadaranlah di sana mulai ada perubahan. Jangan bertumpu pada kraton Sambas, karena kraton Sambas tidak ada pengaruhnya apa-apanya lagi di masyarakat.

Mari kita berbuat, sekecil apapun, tapi kita harus menetapkan strategi yang tepat karena kita berhadapan dengan tembok; meruntuhkan tembok tembok tidak gampang dalam satu atau dua hari, tapi perlu waktu dan teknik yang efektif.

Bangkitkan kekuatan untuk intervensi, empat tahun ke depan Sambas akan berubah dari sisi sosial ekonomi, mudah-mudahan rencana pembangunan dari pertamina itu jadi yang akan membuat orang Sambas yang mempunyai sifat permisif menjadi terbuka secara laik untuk hidup bersama dengan orang orang yang lain yang berbeda.

Kuatnya dominansi para elit itu telah menghancurkan kekuatan tradisional di tingkat masyarakat. Demikian juga dengan kelompok-kelompok kapitalis (yang menguasai permodalan) juga akan meracuni masyarakat. Perubahan yang dimaksud di sini bukan perubahan yang membuat masyarakat menjadi “tidak jelas identitas budaya-nya sehingga tidak punya patokan nilai” , hal inilah yang kita khawatirkan. Harapan untuk menyatukan kembali masyarakat Madura dan Sambas yang sudah porakporanda nilai-nilainyanya juga akan sirna; pertanyaannya dengan perekat apalagi jika kondisinya demikian.

Nilai-nilai itu penting, tapi yang lebih penting adalah memberdayakan siapa yang bisa menjaga nilai-nilai itu, misalnya melalui pendidikan; atau memberdayakan informal leaders yang ada di Sambas. Memberdayakan yang dimaksud bukan institusinya, tetapi pewarisan nilai-nilai itu. Belajar dari Bali, betapapun masyarakatnya di terjang oleh berbagai gelombang perubahan (melalui tourism dll), tetapi nilai-nilai yang dianut di masyarakat tetap dipertahankan; lihat saja ketika hari raya Nyepi, semua pihak berhenti dari hiruk pikuk dan menghargai nilai yang dianut oleh masyarakat Bali. Jadi point pentingnya adalah menanamkan dan melestarikan nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat.

Semua yang disampaikan dalam forum semoga bisa menjadi bahan perenungan baik secara pribadi dan kelembagaan maupun dalam konteks berjaringan.

Point pentingnya adalah :

Diprediksi dalam Empat tahun ke depan Sambas akan berubah, dengan asumsi ada beberapa faktor yang mendorong ke arah sana, salah satunya yaitu ekonomi. Meskipun di awal kita menduga bahwa kebijakan itu bisa merubah keadaan, tetapi kebijakan bukan satu-satunya faktor penentu, masih banyak faktor yang lain karena persoalan Sambas merupakan persoalan yang multikompleks dan multidimensi.

Jika kita bicara “nilai” yang terpenting adalah siapa yang sesungguhnya bisa menjaga nilai, salah satu strateginya melalui proses pendidikan, sehingga kerja-kerja seperti ini tidak mudah : “setelah dari pertemuan ini sertamerta tembok Sambas lalu runtuh..!!??” Perlu kerja yang berkesinambungan baik dalam jangka pendek dan jangka panjang, bahkan untuk rentang waktu lintas generasi ***