Sabtu, 06 Juni 2009

PANGGILAN GAJI


Pagi itu, kurang lebih tiga minggu yang lalu, tiba-tiba HP ku berbunyi nyaring, sebuah lagu dari sang musisi senior yang sudah menelurkan berratus lagu balada, dialah Ebit G Ade berjudul “Ayah Aku Mohon Maaf “ yang kujadikan ring tone membuyarkan lamunanku di pagi yang masih terselimuti kabut pegunungan tepat di depan rumahku. Sebuah lagu yang pasti cukup popular di tahun keemasannya itu memanjakan telingaku untuk menikmatinya sejenak. Petikan gitar akoustik bernada klasik melengking menjadi sebuah intro sebelum masuk ke bait pertama berbunyi “Dan pohon kemuning, akan segera kutanam, dan suatu saat kelak dapat jadi peneduh…” Sebuah syair lagu yang begitu merdu. “Pak Ridwan nanti sekitar jam 08.00 harap segera ke kantor BPD ada yang harus ditanda tangani, ini penting!” belum sempat aku menjawab dengan kalimat “Siap pak!” telepon sudah diputuskan. Sontak saja instruksi mendadak barusan yang berasal dari ketua BPD tersebut, membuat aku harus bergegas mandi dan sedapat mungkin sarapan pagi walau di meja makan hanya tersaji nasi, sambal ikan teri dan dua potong tempe goreng sisa semalam sebagai lauk andalan orang Jawa. Begitulah masyarakat di sini biasa memberikan predikat bagi orang Jawa yang ada di Kalimantan, “tempe” ya,..hanya tempe, tak lebih tak kurang. Maaf, bukan bermaksut ngenyek atau menghina, tapi anekdot itu sudah terlalu memasyarakat di sini hingga sudah tidak asing terdengar di telinga, dan tidak bakalan membuat mengkerut jidat kita yang sudah terlanjur ber cap “Mas Jawa”. Sekali lagi maaf saya mohon anda jangan berpikir kalau itu rasis, bukan apa! Saya Cuma tidak mau hanya gara-gara tempe kita nanti akan berkonflik. Kalau tidak percaya buktikan saja.

Panggilan mendadak tersebut membuat aku berpikir keras “ada apa gerangan!”. Biasanya setiap ada permasalahan di kantor ( boleh ya, saya sedikit menyombongkan diri menyebut kantor di sini ), jauh hari sebelum hari H pasti ada pemberitahuan melalui surat resmi. Tapi ini tidak, tanpa ada surat atau SMS sebelumnya hari itu juga kurang lebih satu jam lima belas menit lagi aku harus segera meluncur ke Kantor BPD. Buru-buru aku mengantarkan istri serta anakku yang selalu dibawa serta ke sekolahan tempat ia honor alias ngabdi di SD Muhammadiyah mlarat tersebut ( bukan bermaksud meminjam istilah Andrea Hirata, tapi memang sejatinya mlarat ). Sekolahan tempat istriku mengabdikan diri memang kurang begitu beruntung jika dibandingkan dengan sekolahan-sekolahan lain, apalagi di Jawa sana. SD Muhammadiyah atau Yayasan Muhammadiyah pastilah di mana tempat memiliki kemapanan yang tidak perlu dipertanyakan lagi, lain halnya dengan SD serta Yayasan Muhammadiyah di sini, di tempat istriku ngabdi, ibarat istilah “jauh api di atas panggang, atau jauh api dari panggang, atau jauh panggang dari api” atau entahlah saya lupa, tapi saya yakin anda mengerti maksud saya.

Tidak jauh memang jarak tempuh antara sekolahan dengan rumahku, sekitar sepuluh menit jika pakai motor pastilah sampai. Selesai mengantarkan sang istri dan anak, aku kembali ke rumah untuk membereskan lembaran-lembaran data DPS ( Daftar Pemilih Sementara ) untuk pemilihan Presiden Bulan Juli mendatang yang nantinya akan dijadikan DPT ( Daftar Pemilih Tetap ). Karena akhir-akhir ini aktifitas harianku masih disibukkan dengan urusan Panwas yang memang sedikit banyak mampu menguras waktu dan otak ini yang sebenarnya tidak begitu pinter.

Jauh hari setelah aku diangkat menjadi Anggota BPD, pernah meluncur kata-kata yang keluar dari mulutku, lalu kuperkuat dengan sepucuk surat pernyataan atau berita acara atau entah apa itu namanya, sebagai tanda resmi sebuah pernyataan sikap bagi orang-orang yang memang duduk di sebuah lembaga institusi, karena kalau ngomong doank tidaklah dipakai. Dalam surat pernyataan itu aku menuliskan permohonan maaf yang kutujukan kepada ketua BPD. “ Bahwa pada hari ini, tanggal sekian, bulan sekian, serta tahun sekian, saya bernama titik-titik, alamat titik-titik, status titik-titik, bla…bla…bla…menerangkan dengan sesungguhnya, belum dapat bekerja penuh waktu mulai tanggal, bulan, sampai dengan tanggal bulan ini tahun 2009, karena konsentrasi untuk sementara waktu di Panwas. Demikian surat pernyataan ini kami buat, atas perhatiannya diucapkan terima kasih ”. Tanda tangan lalu kuberi materai. Kira-kira seperti itulah surat yang saya buat, intinya saya minta maaf belum bisa kerja secara optimal di BPD karena masih konsentrasi di panwas. Alhasil ketua menyetujuinya, makanya bukan suatu keanehan jika saya jarang sekali nongol di kantor BPD, hingga di pagi itu sebuah telpon mengejutkanku untuk segera datang ke sana.

Saking banyaknya lembaran kertas yang berserakan, bahkan jika disatukan lalu di jilid, mungkin saja lembaran-lembaran itu melebihi jumlah lembaran dalam Al-Qur’an. Itu semua mampu membuat aku senewen. Banyak sekali dan berserakan di mana-mana, di lantai, di bawah meja, dalam kolong lemari, di atas rak buku, di pojokan rumah, di atas atap, di kandang ayam bahkan dalam kolam ikan lele yang ada di belakang rumah. Bertaburan tak tentu arah seperti masyarakat di jagat ini yang bertaburan, melintang ke sana ke mari tak tentu arah. Aku puyeng merapikannya.

Hampir satu jam aku direpotkan oleh kertas-kertas sialan ini, baru dapat tanggung jawab untuk mengawasi DPS saja udah puyeng sampai muter-muter, bagaimana jika disuruh jadi calon presiden atau wakil presiden mungkin langsung gila yang sembuhnya nunggu dua hari lagi mau kiamat, gerutuku dalam hati. Belum habis aku ngomel-ngomel, kembali HP ku berdering, “Kami sudah nunggu di kantor Pak Ridwan, cepet datang!” suara itu terdengar keras dan cepat, “SSS!” baru mulutku mengucapkan huruf “S” dari kata “Siap Pak!” lagi-lagi telpon itu diputuskan. Mungkin aku harus ganti HP yang bisa langsung secara otomatis menjawab kata “siap pak!” biar enggak dongkol hati ini. “Dasar barang bekas tak bisa menjawab sendiri telpon dari orang, harus nunggu kita yang ngomong, kalau kamu memang HP yang professional, canggih, dan berdaya jangkau jauh melewati lintas batas harusnya tidak perlu aku yang ngomong donk, kamu yang menjawab sendiri, masak mengucapkan lafal (siap pak) saja nggak mampu!”. Ku maki-maki HP ku sampai kecut ia.

Secepat kilat kutinggalkan kertas-kertas berserakan tadi yang baru setengahnya dapat aku rapikan, tak peduli dengan kondisi kamar yang masih seperti pesawat Herkules yang lagi mabuk udara, lantas menukik tajam dan membentur batu cadas hingga hancur berkeping-keping, lantaran mesin pendorongnya lepas baut serta skrupnya itu. Aku ngacir menuju kantor BPD guna memenuhi panggilan mendadak super penting dari sang ketua. Sepanjang jalan kepala ini tak henti-hentinya bertanya “ada apa gerangan”?.

Kotaku memang masuk kategori kota kecil. Jadi kalau ingin ke mana-mana tidak perlu repot-repot atau bersusah payah. Cukup pakai motor atau numpang tetangga yang mau belanja ke pasar, atau sepeda onthel atau kalau perlu jalan kakipun langsung sampai ke tujuan.

Karena kecilnya wilayah kami itulah, makanya sesuai dengan pemberitaan di media massa local baru-baru ini, bahwa Kalbar bakalan sepi dari hiruk-pikuk kampanye Pemilu Presiden nanti. Jika ditinjau dari jumlah prosentase pemilih atau lumbung-lumbung suara di Indonesia, Jawa menempati posisi tertinggi dengan kisaran 60% dari jumlah penduduk di tanah air ini. Sedang 20% lagi berada di wilayah Sumatera, sementara sisanya yakni 20% nya lagi diperebutkan untuk 3 wilayah antara lain Kalimantan, Sulawesi dan wilayah-wilayah Indonesia bagian timur. Sedikit nasehat dariku untuk anda semua, “jika ingin terjun ke kancah politik, apalagi anda berada di wilayah Kalimantan, yang perlu anda perhatikan itu ada dua. Pertama, kamu harus menduduki posisi strategis di intern partai, misalnya, ketua umum merangkap wakil, merangkap sekretaris dan yang paling penting juga merangkap sebagai bendahara. Jadi kalau ada pembagian jatah anda tidak akan ketinggalan. Kedua, jangan pernah memilih partai kecil atau partai gurem, sebab yakinlah (yang namanya ‘g u r e m’) itu selalu membuat jengkel manusia, suka gigit, bikin gatel badan dan nasibnya pasti setalu dipites-pites / digencet-gencet sampai bunyi “kruk!”, lalu tewas. Karena Kalimantan jumlah penduduknya kecil secara otomatis pundit-pundi suara pun sedikit. Maka jangan heran jika Kalimantan bukanlah sasaran tembak yang tepat untuk calon-calon presiden atau partai politik. Imbasnya bagi anda yang terjun ke politik, jika partai politik anda kalang kabut antara timbul tenggelam di lautan, maka partai kalian yang terakhir akan mendapatkan pertolongan jika yang lainnya terselamatkan terlebih dahulu. Itupun kalau ingat!.

Tidak jauh beda jarak antara rumah dengan sekolahan tempat istriku mengabdi – dengan jarak antara rumahku dengan kantor BPD. Kurang lebih sepuluh menit sampai juga aku di sebuah pelataran kantor BPD yang tidak seberapa luas. Di halaman parkir sudah berderet jenis kendaraan roda dua segala merek, mulai dari Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki, Harly Davidson sampai BMX pun ada. Tidak ketinggalan pula beberapa kendaraan roda tiga teronggok di sudut lapangan kantor, mulai dari becak, bemo sampai mobil angkutan bekas yang rusak berat dan kebetulan ban roda depannya hilang satu dicuri maling yang lagi sinting, makanya kumasukan sebagai kendaraan roda tiga. Sejurus kemudian aku termangu memperhatikan sekeliling.

“Silahkan masuk Pak Ridwan!” suara itu terdengar memanggil namaku dari dalam kantor. “SSS”…tit…tit..tiiiit…tiba-tiba suara klakson dengan nyaringnya mengagetkanku. Aku melompat berusaha menghindar sambil menoleh ke belakang melihat asal muasal dari suara itu. “Sialan kamu bang membuat aku kaget jak!” ucapku kepada Bang Udin yang tadi mengagetkanku dengan suara klakson motornya itu. Untuk kesekian kalinya aku masih gagal mengucapkan kata “Siap Pak!”

Sesampainya di dalam saya langsung dipersilahkan menempati sebuah kursi yang memang lagi kosong. Jika dilihat dari bentuknya kursi itu mungkin sudah berumur lebih dari sepuluh tahun. Kayu-kayunya sudah mulai keropos, ada lubang di sana-sini dan tak ketinggalan pula sebuah kepala paku nongol siap mengoyak celana siapapun yang gegabah mendudukinya. Dua keping papan sebagai sandaran punggung itu pun copot satu. Aku menyeringai memandang kursiku. “sebelas!” kusempatkan menghitung jumlah kursi yang tersedia dalam hati. Yach, jumlah itu sesuai dengan jumlah anggota BPD di mana sesuai aturan haruslah berjumlah ganjil. Nampaknya ada unsur kesengajaan bahwa pak ketua tidak memanggil orang lain selain kami semua anggota BPD yang berjumlah sepuluh orang ditambah dengan satu sebagai ketua merangkap anggota. Akhirnya rapat mendadakpun digelar dan aku ada diantara situasi tersebut, kucel dengan rambut gondrong awut-awutan, tak jelas dan masih bertanya “ada apa ini?”.

Setelah lebih kurang lima belas menit ketua kami berbicara, akhirnya aku tau juga alasan mengapa pagi-pagi tadi HP ku berbunyi nyaring. Ternyata Panggilan gaji. Yach…kami semua dikumpulkan dalam rapat ini tidak lain tidak bukan untuk mengambil gaji BPD. Aku terbengong-bengong bego tapi sedikit senang karena mendengar bakal menerima gaji. Sungguh acara pagi itu sangatlah meriah. Semua yang hadir terlihat berseri-seri tak ada setitikpun kemuraman terpancar dari wajah-wajah mereka. Akupun bergitu.

“Sodahlah gak usah panjang lebar ngomongnye…kappak tok ndengarkannye…bagi-bagikan jak weh…usah lama-lama”!, yang artinya kurang lebih (cepat gak usah lama-lama, capek dengarkannya, bagi-bagikan aja) Long Esa menyela dengan logat bahasa Melayu Sambas sangat kental, dan yang lain pun menyetujui apa yang diomongkannya. Akupun begitu.

Satu per satu kami menerima sebuah amplop yang dibagian luarnya ada cap stempel BPD. Amplop itu lumayan tebal. Dan memang tebal, walau bagi orang lain tidaklah tebal mungkin. Di dalamnya ada uang berjumlah Rp. 1.250.000 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Aku termangu sambil menimang-nimang amplop tersebut. Ada kelegaan sesaat merasuki jiwa dan raga ini, demikian juga dengan anggota yang lain perasaanya kurang lebih sama denganku. “Aku kaya hari ini!” batinku.

Senyum sumringah menghias bibir ini sambil diikuti dengan hisapan kuat sebatang rokok. Kuhembuskan asap gulungan kertas ajaib itu kuat-kuat sambil terkekeh menikmati keasyikannya nafsu. Aku melupakan perjanjian yang kutulis beberapa bulan yang lalu. Yach surat perjanjian permintaan maaf yang tertuju kepada ketua BPD karena belum bisa bekerja secara optimal. Aku ingat! Ternyata aku belum kerja. Bahkan sekedar menampakkan mukapun jarang-jarang. Keringat serta daya pikir ini belum pernah setitik pun tercurah di lembaga ini. Lembaga Dewan Kehormatan tingkat desa yang dipilih oleh rakyat desa. Tapi sekarang aku sudah menerima gaji. Yach..gaji buta. Aku menghianati mereka hari ini.

Aku melupakan Firman Nya, “Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal salih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” (Al-Mu’minun:51). “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian” (Al-Baqarah: 172). Menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi menekankan pentingnya bagi seorang muslim untuk mengkonsumsi makanan yang halal, bersih dan lurus. Yang halal ialah yang tidak mengandung kedurhakaan terhadap Alloh, yang bersih tidak mengandung perkara yang melupakan Alloh, yang lurus berarti yang menahan nafsu dan memelihara akal. Makanan yang baik akan mempengaruhi keadaan jiwa. Dalah sebuah hadits dikemukakan, ketika Rasulullah SAW menjabat tangan Sa’ad bin Mu’azd ia merasakan kedua telapak tangannya keras dan kasar karena selalu dipergunakan untuk bekerja. Lalu Nabi bersabda. “Ini adalah kedua telapak tangan yang dicintai Alloh SWT”.

Tangan ini bergetar memegang amplop sambil teringat wajah istri dan anakku. Haruskah kuberi mereka makan dengan harta yang belum pernah aku cari? “Ah yang penting SPJ (Surat Pertanggung Jawaban)-nya beres, semua orang yang kerja di kantor pemerintahan juga gitu kok, gak perlu kerja, paling-paling masuk jam sembilan, baca koran, absent sebentar, ngobrol sana-sini, terus kabur deh” bisik seratus Iblis yang berkeliaran di sekujur raga ini. “Bagaimana? kamu siap enggak melemparkan amplop yang sudah ada di tanganmu itu” bisik Iblis untuk kedua kalinya. Kembali aku tak mampu mengucapkan kalimat “…Siap Pak…!”