Senin, 05 Oktober 2009

UPIN – IPIN DAN MIMPI PERDAMAIAN


Ada kelakuan yang cukup menggelitik rasa humorku tatkala menyaksikan film animasi produksi Malaysia, yaitu Upin dan Ipin yang diputar di salah satu stasiun televisi swasta di tanah air kita. Terlepas dari hubungan kedua negara yang lagi bermasalah entah karena permasalahan harta gono-gini yang bernama seni dan budaya, atau adanya indikasi perselingkuhan - alias WIL (Wilayah Idaman Lain), yang jelas saya merasa terhibur menyaksikannya. Ada salah satu adegan di mana, betapa susahnya membangunkan Upin dan Ipin dari tidurnya untuk “makan sahur”. Terlihat jelas sang nenek ataupun Kak Ros stress berat lantaran butuh sekian puluh menit Cuma untuk membangunkan dua anak kecil nakal namun pintar sekaligus taqwa tersebut. “Upin – Ipin bangun, lekas makan sahur” sang nenek membangunkan, namun keduanya tidak menghiraukan. Alhasil – setelah sekian menit, sang nenek terpaksa menyeret keduanya untuk sekedar membasuh muka dan berkumur, lantas duduk di depan meja makan guna menikmati santapan makan sahur.

Setelah duduk manis di depan meja makan, kedua bocah lucu itu masih juga terngantuk-ngantuk. Nampak kedua bola matanya masih belum mampu menahan rasa kantuk yang masih terasa begitu hebatnya menggelayuti di antara kedua bahunya dengan manja dan nikmat. Namun, bukan Kak Ros namanya, jika tidak punya akal untuk membangunkan keduanya. Dengan cepat diambilnyalah “sepotong paha ayam goreng”. Paha ayam goreng tersebut lantas didekatkan di kedua hidung anak manja tersebut. Aroma paha yang menggiurkan itu lantas dengan cepat mampu menembus rongga-rongga penciumannya, lantas menggelitik otak nafsu kenikmatan rasanya untuk menyuruh mata terbelalak, mengikuti keterbelalakan bibir dengan mengirimkannya setetes dua tetes air liur, kemudian minta disampaikan kepada sang lidah untuk mengecap dan menjilat “paha gemuk nan nikmat itu”.

Sejurus kemudian keduanya pun terbelalak, bangun dari tidur kecil-secepat kilat tangannya menyambar potongan paha ayam, lalu…”nyam-nyam-nyam”. Makan sahurpun tak terlewatkan.

Itu sepotong cerita Film Upin dan Ipin yang sampai sekarang masih diputar di televise. Lantas apa hubungannya dengan “PERDAMAIAN”?

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya hari senin tanggal 28 september 2009, kawan-kawan yang berkecimpung di ranah Perdamaian Kalbar membuat sebuah himbauan yang cukup mengundang komentar di salah satu media local. Aku sendiri yang ada di Pemangkat, tidak luput mendapatkan sederet pertanyaan yang cukup bervariasi. Ada yang sedikit tersinggung, namun banyak juga yang mengacungkan jempol pertanda mendukung dengan upaya yang dilakukan kawan-kawan (kalau tidak salah hitung sekitar 78 nama) yang tercantum dengan jelas di samping ucapan himbauan itu. Saya pribadi mengucapkan “Salut untukmu Kawan” keberanianmu Insya Alloh akan kutiru dengan tulisan, bahasa serta sikap yang melekat pada diriku sendiri.

Terlepas dari keberanian kawan-kawan melakukan upaya pendobragkan tersebut, atau situasi yang mengiringi sebelum maupun sesudah himbauan tersebut di cetak satu halaman penuh di media, satu hal – saya berharap semoga Tuhan mendengar serta mengabulkan apa yang menjadi do’a dibalik kata-kata yang tertulis di selembaran koran local terebut.

Untuk dijadikan catatan saja, bahwa masyarakat biasa – yang sebiasa biasanya sekali, yang tidak pernah kenal computer atau teknologi canggih lainnya, mereka bertanya kepadaku (maaf ini benar/tidak mengada-ngada) “Aku membunuh empat orang dalam tragedy tersebut, berarti nanti kawan-kawan mas ridwan, atau mas ridwan sendiri pasti akan melaporkan aku ke polisi, terus mereka menangkap serta memenjarakanku. Kalau sudah begitu, gimana donk? Berarti sekarang kita jadi musuh donk?. Subhanalloh, terus terang aku kehabisan kata-kata kawan.

Saya harap kawan-kawan jangan terjebak karena ini.


Selang beberpa waktu setelah itu, siangnya aku menulis sebuah dukungan atas upaya kawan-kawan di alamat facebook ku, tak kusangka ternyata ada sebuah komentar dari abang kita Mohammad Loter yang bilang “kalau kami yang terus teriak tkut ampek gila, tapi yang tidak tercantum harus teriak, mana aktifis perdamaian Sambas…berbicaralah untuk kebenaran terhadap pembantaian yang sistemik”.

Membaca komentar tersebut aku sedikit berkerut. Tidak dipungkiri memang, jika di Sambas orang-orang yang mau berbicara soal perdamaian (Konflik 99 khususnya), dengan tulus dan ikhlas memang masih minim. Belum ada kebulatan keberanian yang mampu mendobrak, semuanya masih patah-patah. Hanya satu-satu dan itu pun masih tergagap-gagap. Tapi bukan berarti kami tidak ada, kami ada sebagai ruh belum mampu menjelma sebagai wujud. Kami menerobos bahkan melingkari setiap jalur hidup, namun masih sebagai virus – belum lahir sebagai kebijakan. Kami belum memiliki wadah yang kuat untuk itu. wadah kami hanyalah cangkir kecil, itu pun udah mulai retak lantaran terlalu lama dipakai dan hanya satu-satunya.

Di tingkat raja-raja pun seperti itu. Beberapa bulan yang lalu ada semacam geliatan ingin memperjuangkan slogan rekonsiliasi, namun masih sebatas proyek belaka. Bahkan belakangan diketahui ada indikasi ketidak jelasan arah dan tujuan, bahkan ujung-ujungnya malah bermasalah soal keuangan. Hanya Alloh yang tahu mana yang benar dan salah.

Persis seperti cerita Upin dan Ipin di atas, mereka bangun untuk makan sahur lantaran ada godaan aroma dari paha goreng yang gemuk dan harum. Pemangku kebijakan pun nampaknya tak jauh beda. Rekonsiliasi menggeliat lantaran ada aroma paha goreng dari pak menteri – atau wakil presiden, atau apalah. Yang jelas mereka terbelalak bangun untuk makan sahur bukan dikarenakan teriakan kemanusiaan yang membangunkanya, namun aroma proyek dan uang. Dengan mengejutkan – ramai-ramai mereka jadi simpati dan terenyuh menyinggung soal konflik, namun ujung-ujungnya terbengkalai tak tentu arah.

Jika bang M. Loter bertanya lantas saya tergeragap menjawabnya, itu bukanlah hal yang aneh. Sebeb kenyataannya panggung kehidupan kita masih tidak jauh beda dengan Film Upin dan Ipin, adalah “Rekonsiliasi Paha Ayam Goreng”……