Rabu, 31 Maret 2010
CINTA TANAH KELAHIRAN – CINTA TANAH TEMPAT TINGGAL BAGI SANG PENGEMBARA
Cinta saya terhadap tanah kelahiran, bisa diibaratkan seperti cinta saya dengan ruh saya sendiri. Di sana terdapat orang-orang yang selalu mengitari derap langkah hidupku dengan sekumpulan do’a-do’a dan cinta. Tidak sekali-kali saya mencoba untuk memberanikan diri melakukan satu tindakan yang bisa membuat hatinya luka, apalagi sampai memercikkan noda dosa di antara pusaran samudera cinta mereka. Tanah kelahiran adalah tanah yang menyimpan “ari-ariku”. Separuh ruh yang dihembuskan oleh Tuhan masih bersemayam di sana – dan sampai saat ini tetap setia menunggu, menyambut kedatanganku di kelak kemudian hari untuk bersatu kembali menuju Tuhan Sang Pencipta kami. Demikian juga dengan engkau.
Engkau-pun senantiasa menjaga cinta itu. Sedapat mungkin engkau akan melakukan apapun demi menjaga kelestarian cinta tersebut, jika ada orang yang berani membuat kocar-kacir susunan cinta di tanah kelahiranmu. Adalah wajar jika amarahmu muntab menerjang senjata apapun yang menjadi penyebab terlukanya cinta. Karena masing-masing di antara kita bersemayam “ari-ari kehidupan” hasil maha karya Sang Khaliq. Susunan cinta yang terangkai, sebagai karcis persyaratan bagi kita untuk ikut memainkan pertunjukan film kehidupan ini. Jika kita tidak mau berperan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan keberadaan kita di atas pentas.
Tanah kelahiran adalah hidup dan mati kita.
Sedangkan cinta terhadap tanah tempat tinggal, ibarat cinta saya dengan anak-istri/suami. Mereka juga hidupku. Bermakna atau tidak perjalanan kehidupanku tentunya tidak terlepas dengan bermakna atau tidaknya kehidupan mereka. Hanya manusia sinting yang menganggap anak-istri/suami sebagai beban. Mereka adalah sumber energi Ilahi yang membuat saya betah untuk berlama-lama menjalani hidup. Sebab senyum mereka adalah senyumanku, dan tangis mereka-pun juga tangisku. Dan engkau-pun setuju itu.
Rasa-rasanya tidak ada seseorang yang enggan untuk berlama-lama hidup di dunia ini.
Tanah yang sekarang saya tempati tidak mungkin kubiarkan orang asing merebutnya. Sampai kapanpun aku akan membela kelestarian sekaligus kelembutan debu tanah yang membuat setangkai padiku tumbuh di hamparan sawah kehidupan. Satu-satu benih kutanam – dan satu-satu pula kalian menanam untuk kekekalan senyum anak dan istri kalian semua. Jika ada yang berani mencemari tanah tempat tinggalku, itu sama artinya mencemari anak-istri/suamiku.
Lantas bagaimana jika ada pergesekan dengan tetangga kita?
Kita tidak pernah sendiri dalam segalanya, keberadaan kita senantiasa tak-kan keluar dari lingkaran berjuta-juta kehidupan orang lain. Pergesekan atau perseteruan memang manusiawi, sebab kita diciptakan Tuhan bukan sebagai mahluk yang penuh dengan kearifan sekaligus kesempurnaan segalanya. Mungkin kita kurang bisa mengambil hikmah, seandainya tidak ada amarah yang pernah tumpah. Namun akan lebih bijak seandainya mulai sekarang masing-masing di antara kita mau belajar me-maknai amarah yang pernah tumpah, supaya ari-ari kita, anak-anak kita, istri/suami kita tetap berada dalam garis lingkaran cinta yang dianugerahkan Tuhan.
Tapi yang jelas, bagaimana kita bisa menjaga hubungan simbosis mutualis dua tanah kehidupan ini???
Sabtu, 13 Februari 2010
MENGUMPAT - ALIAS NGE-REPEK ALIS NGE-DUMEL
Saya kurang tau persis hal apa yang membuat pola hidup masyarakat di sekitarku ini sedemikian dahsyat. Pola hidup tak mau ambil pusing, sombong dengan kekayaan, pangkat dan jabatan serta tak mau ketinggalan mentalitas sebagian atau kebanyakan orang dalam berbusana sekaligus berpacaran. Kedahsyatannya mampu menjebolkan kekokohan etika dan norma religiusitas yang selama berlaksa-laksa tahun dipegang sebagai pedoman hidup dan cita-cita surgawi. Akal dan fikiranku menjadi kocar-kacir jika menyaksikan tingkah polah anak-anak muda yang mengitariku setiap detik. Telingaku menjadi tuli jika mendengar betapa lantangnya suara mikropon masjid mengajak manusia supaya meniti jembatan yang sudah ditentukan Ilahi – mana baik dan salah. Namun itu semua sia-sia dan tidak dianggap.
Pernah aku merasa frustasi dan memohon kepada-Nya, “Engkau gulung saja kehidupan ini, jika segala sesuatunya tidak bertanggungjawab. Mengapa Engkau biarkan manusia seperti itu yang justru ditimang-timang dalam kenikmatan-Mu, sementara orang-orang saleh dan apa adanya menjalani hidup tidak pernah Engkau gubris keberadaannya”. Berkali-kali aku protes, dan berkali pula protesku, SALAH!.
Jika demikian, ingin rasanya aku membuat film “ADA APA DENGAN ENGKAU”
Dunia jungkir balik. Engkau bisa dibilang “kampungan” jika hari gini masih perawan. Atau engkau akan dikatakan “bandot” jika hari gini belum pernah “ngentot”.
Ada seorang ibu atau bapak, tau persis jika anaknya tersesat dalam dunia prostitusi, sebagai wanita simpanan, atau wanita jadi-jadian, namun dengan enteng mereka pura-pura tidak tau – bahkan hidupnya menjadi sombong. Setoran rutin dari anaknya per-bulan sekian juta, digembar-gemborkan sebagai uang halal hasil kucuran keringat anak-ku sebagai pelayan di salah satu warung kopi, karyawan toko, atau penjaga wartel pinggiran kota.
Atau mental perempuan genit, dengan gemulai menebarkan pesonanya kepada tiap lelaki, lantaran sudah sekian bulan ditinggal suaminya kerja di Malaysia, dengan manis ia minta digarukkan jempol kakinya yang mulai gatal. Dan tidak ketinggalan pula, trend busana yang mulai menggila – semakin sopan engkau berbusana, semakin jauh engkau tertinggal. Namun sebaliknya, semakin telanjang – semakin dekat engkau dengan surga dalam hidupmu.
Atau mental lelaki hidung lebar yang tidak tahan menahan “konak”, jika merasa hidupnya lumayan enak dari segi ekonomi – dengan santai ia merayu sang-istri untuk kawin lagi. Lalu, di suatu malam – istri pertama harus rela mati-matian menahan cemburu sekaligus amarah, lantaran sang-suami numpang tidur di antara dua paha istri ke-dua. Mereka mendesah dalam pergulatan nafsu yang tak mampu dihentikan, kecuali orgasme mereka.
Sesekali, pernah juga terdengar beberapa Pegawai Negeri mulai melupakan sumpah yang ia ucapkan di depan kitab sucinya. Kitab suci tak lebih hanya tumpukan ber-ratus mungkin ber-ribu kertas yang lalu dijilid sebagai buku suci. Kesakralan dan ke-Ilahian-nya tak berpengaruh apa-apa. Karena gaji yang dirasa kurang mencukupi kebutuhan hidup biar dibilang “ngetrend”, ia tersesat dalam lingkaran dunia hitam.
Atau seorang kakek renta, dengan sisa nafas yang tinggal sepenggal, menyempatkan kemaluannya bergerilya mencari lubang, untuk yang terakhir kali mencoba betapa nikmat dan hangatnya kemaluan anak gadis berusia 7 atau 8 tahun-nan.
Jujur, aku cemburu dengan itu semua.
Jika sudah begitu, aku ingin menjelma sebagai pahlawan bertopeng yang mampu menegakkan kebenaran di atas dengkulmu. Ingin kumaki-maki semua orang yang melenceng hidupnya untuk kutata sedemikian rupa, agar tidak lagi zig-zag susunannya, ingin kuangkat tinggi-tinggi syari'at bahkan jika mampu kumasukkan ke dalam urat syaraf mereka agar tidak eror.
Tapi Tuhan berbicara lain, "Jika Aku mau, niscaya Kuseragamkan manusia ini - tetapi tidak, bukan itu maksud-Ku menciptakan manusia di dunia ini. Biarkan mereka tidak seragam, justru dengan ketidak-seragaman itu-lah, manusia berada di level tertinggi di antara makhluk-makhluk lainnya termasuk Malaikat-pun, seandainya mereka mampu menjaga dan memelihara keimanannya kepada-Ku".
Kalau ingat itu, biasanya aku langsung istigfar.
Aku bukan siapa-siapa, hanya mampu berdo'a sekaligus mendo'akan "Ya Alloh Ya Tuhanku, sumpah...hamba mohon jaga dan peliharalah imanku kepada-Mu". Tidak lupa, aku juga akan mendo'akanmu, mudah-mudahan suatu saat Alloh menggugah nurani keimananmu semua, engkau orang-orang yang ada di sekelilingku dan kebetulan sekarang ini masih zig-zag. Amin...
Senin, 16 November 2009
SARJANA
Bukan bermaksud menjelekkan atau membuat remah gelar kesarjana-an yang terlanjur menempel di awal maupun akhir dari nama kita, namun hanyalah sebuah refleksi ringan yang ingin ku tulis.
Rasa-rasanya sudah tidak asing lagi di telinga, begitu banyak kita mendengar bermacam keluhan dari kawan-kawan kita yang terlanjur menyandang predikat sarjana. Keluhan mereka hampir semua seragam, yaitu masalah "lowongan kerja". Lowongan kerja adalah sederet kesempatan yang selalu tidak ada kata jemu untuk kita mengejarnya, dari pagi sampai pagi lagi, bahkan dari hidup sampai hidup lagi, yang namanya pekerjaan selalu dicari letak lowongannya. Setiap bangunan yang berderet di tepi maupun pedalaman jalan selalu sang- manusia mencari tiap relung segala lowongan. Dan lowongan pekerjaan menempati posisi tertinggi dari kebutuhan manusia yang masih terus saja mencari, selebihnya (lowongan yang lain) menempati posisi kedua dan seterusnya.
Lalu, bagaimana nasib dari sang-sarjana?
"Sarjana", manusia mana sich yang tidak mengidam-idamkan predikat tersebut. Dari tahun ke tahun generasi muda kita selalu berlomba untuk memasuki dunia kesarjanaan. Tidak perduli walau letaknya ada di ujung dunia-pun mereka akan mengejar. Segala energi dan materi diperas guna menggapai impian tersebut, bahkan tidak sedikit generasi muda kita yang menjadi gila, gara-gara tidak kesampaian mengejar sarjana. Sarjana adalah bongkahan kemilau emas yang begitu kuat daya pesonanya. Jika diumpamakan ia manusia, wajahnya cantik - se-cantik bidadari, kulitnya putih bersih, parasnya tak ternoda bagai dara dengan rona merah di pipi karena malu. Jika memanggil, telinga ini manja mendengarnya, jika menatap - jantung ini berdegub hebat. Ia adalah sosok yang penuh pesona. Ah...ingin rasanya aku mendapatkan-mu sarjanaku. Jujur saja akupun merindukannya, hingga sekian tahun yang lalu aku berhasil mendekapnya dengan penuh cinta dan kebanggaan.
Tapi perlu diingat, selain cantik - ia-pun matre. Jika mendengar soal uang, wow...bukan main perangainya. Jika ingin mereguk kenikmatan sarjana seyogyanya anda harus punya uang terlebih dahulu. Makanya tidak heran jika banyak dari orang tua yang kebingungan mencarikan uang mahar guna melamar pujaan hati anaknya "si sarjana". Bukan seratus dua ratus ribu saja uang mahar yang harus dibayarkan, melainkan bisa mencapai jutaan, bahkan ratusan juta, bisa dibayangkan alangkah sulitnya.
Ketika sang anak berhasil merebut sang pujaan hati, malam pertama setelah prosesi acara pernikahan, alangkah bahagianya hati. Apalagi kini namanya menempel di awal atau akhir nama kita "Drs. Sarjono, Sarjono, SH, atau Sarjono, S.Hum". Bukan main bangganya kita memiliki predikat tersebut.
Namun hidup tidak berhenti di malam pengantin saja, ia terus berjalan di malam-malam biasa. Malam-malam yang dimiliki manusia normal yang ada di jagad raya ini. Malam - dimana pagi harinya perut ini harus terisi, malam - dimana raga ini harus mencari sesuap nasi. Jika tidak, hidup kita akan tersengal dan mati dalam kekakuan yang bisu. Pergerakan hidup yang begitu cepat membuat kitapun harus cepat bergerak, tidak ada kata perlahan jika ingin menaklukkan sang hidup. Kita akan terus dipepet dan diserempet oleh putaran kesempatan, maka dari itu kita harus pandai mengendarai kendaraan kita. Jika tidak, kita akan terjungkal di tepian jalan raya yang hanya ditutupi dengan selembar daun pisang. Hidup ini ganas, maka kita kita harus keras. Keras dalam bekerja, berfikir, berusaha, dan berkarya. Keras yang kita maksud bukan keras kepala melainkan keras dengan tidak mudah menyerah.
Sebagian orang ada sudah mampu menaklukkan itu, namun masih banyak yang belum mendapat kesempatan untuk menaklukkannya. Salah satu yang belum mampu menaklukkan adalah "Sarjana".
Sarjana itu serba salah. Bagaimana tidak. Begitu ia berhasil mendapatkan sang pujaan hati, ia harus kembali ke kominitas asal, yaitu manusia yang menginjakkan kaki di atas tanah. Ketika masih kuliah, hidup kita sebenarnya tidak menginjakkan kaki di atas tanah - melainkan melayang. Impian kita melayang, pemikiran kita melayang dan terkadang kita merasa menjadi sesosok manusia agung - yang ketika melihat manusia kumal yang sedang bergumal dengan tanah, kita jadi mual.
Sekarang dunia terbalik. Dulunya berada di posisi atas kini harus menerima apa adanya jika harus dijungkiran ke bawah. Sarjana yang terjungkirkan harus menerima dengan ikhlas karena sekarang ia yang bergumal dengan tanah. Jika demikian, apapun yang dilakukan sang sarjana selalu jadi cibiran orang-orang. "Sarjana kok jadi kuli, sarjana kok ngernet bus, sarjana kok jualan ayam"...aduuh, sakit rasanya dikatakan begitu. Makanya jangan heran jika sang-sarjana di manapun berada akan selalu mencari-cari setiap lowongan yang tampaknya kelihatan ber-rongga.
Rongga yang tampaknya masih menganga lebar adalah peluang jadi PNS. Wah, jika ngomong soal PNS, para sarjana yang memang lagi pontang-panting cari yang lowong-lowong jadi terbelalak - berjubel melebihi kaun dhuafa yang antri mendapatkan zakat dari sang dermawan. Satu yang dicari - seribu yang daftar, seratus yang dicari - setengah manusia Indonesia yang daftar. Sungguh panorama indah yang selalu menghias tiap akhir tahun pembukaan lowongan CPNS.
CPNS seolah-olah pilihan satu-satunya dan yang paling pantas dalam mencari pekerjaan bagi sarjana. Kesarjanaan kita kurang dianggap jika belum menjadi Pegawai Negeri Sipil. Apa tidak gila itu!!!
Anehnya lagi, tampaknya para sarjana kita pun termakan oleh pengaruh tersebut. Raut muka mereka menggambarkan kekhawatiran yang sangat hebat jika belum meraih predikat baru tersebut. Kulitnya gatal-gatal terkena enzim status kepegawaian, ubun-ubunnya membludak ingin menerobos masuk ke dalam rengkuhannya biarpun harus membayar dengan sekian puluh bahkan ratusan juta.
"Nasibmu sarjana!!!" engkau dicibir di tepian - namun masih ditolak di putaran kepegawaian, jika begitu...namamu cocok dengan gelarmu "SARJANA=SARJONO" (Bagi yang sarjana dilarang marah, ini hanya cerita fiktif belaka, jika ada kesamaan nama ya...nasib-lah)
Rasa-rasanya sudah tidak asing lagi di telinga, begitu banyak kita mendengar bermacam keluhan dari kawan-kawan kita yang terlanjur menyandang predikat sarjana. Keluhan mereka hampir semua seragam, yaitu masalah "lowongan kerja". Lowongan kerja adalah sederet kesempatan yang selalu tidak ada kata jemu untuk kita mengejarnya, dari pagi sampai pagi lagi, bahkan dari hidup sampai hidup lagi, yang namanya pekerjaan selalu dicari letak lowongannya. Setiap bangunan yang berderet di tepi maupun pedalaman jalan selalu sang- manusia mencari tiap relung segala lowongan. Dan lowongan pekerjaan menempati posisi tertinggi dari kebutuhan manusia yang masih terus saja mencari, selebihnya (lowongan yang lain) menempati posisi kedua dan seterusnya.
Lalu, bagaimana nasib dari sang-sarjana?
"Sarjana", manusia mana sich yang tidak mengidam-idamkan predikat tersebut. Dari tahun ke tahun generasi muda kita selalu berlomba untuk memasuki dunia kesarjanaan. Tidak perduli walau letaknya ada di ujung dunia-pun mereka akan mengejar. Segala energi dan materi diperas guna menggapai impian tersebut, bahkan tidak sedikit generasi muda kita yang menjadi gila, gara-gara tidak kesampaian mengejar sarjana. Sarjana adalah bongkahan kemilau emas yang begitu kuat daya pesonanya. Jika diumpamakan ia manusia, wajahnya cantik - se-cantik bidadari, kulitnya putih bersih, parasnya tak ternoda bagai dara dengan rona merah di pipi karena malu. Jika memanggil, telinga ini manja mendengarnya, jika menatap - jantung ini berdegub hebat. Ia adalah sosok yang penuh pesona. Ah...ingin rasanya aku mendapatkan-mu sarjanaku. Jujur saja akupun merindukannya, hingga sekian tahun yang lalu aku berhasil mendekapnya dengan penuh cinta dan kebanggaan.
Tapi perlu diingat, selain cantik - ia-pun matre. Jika mendengar soal uang, wow...bukan main perangainya. Jika ingin mereguk kenikmatan sarjana seyogyanya anda harus punya uang terlebih dahulu. Makanya tidak heran jika banyak dari orang tua yang kebingungan mencarikan uang mahar guna melamar pujaan hati anaknya "si sarjana". Bukan seratus dua ratus ribu saja uang mahar yang harus dibayarkan, melainkan bisa mencapai jutaan, bahkan ratusan juta, bisa dibayangkan alangkah sulitnya.
Ketika sang anak berhasil merebut sang pujaan hati, malam pertama setelah prosesi acara pernikahan, alangkah bahagianya hati. Apalagi kini namanya menempel di awal atau akhir nama kita "Drs. Sarjono, Sarjono, SH, atau Sarjono, S.Hum". Bukan main bangganya kita memiliki predikat tersebut.
Namun hidup tidak berhenti di malam pengantin saja, ia terus berjalan di malam-malam biasa. Malam-malam yang dimiliki manusia normal yang ada di jagad raya ini. Malam - dimana pagi harinya perut ini harus terisi, malam - dimana raga ini harus mencari sesuap nasi. Jika tidak, hidup kita akan tersengal dan mati dalam kekakuan yang bisu. Pergerakan hidup yang begitu cepat membuat kitapun harus cepat bergerak, tidak ada kata perlahan jika ingin menaklukkan sang hidup. Kita akan terus dipepet dan diserempet oleh putaran kesempatan, maka dari itu kita harus pandai mengendarai kendaraan kita. Jika tidak, kita akan terjungkal di tepian jalan raya yang hanya ditutupi dengan selembar daun pisang. Hidup ini ganas, maka kita kita harus keras. Keras dalam bekerja, berfikir, berusaha, dan berkarya. Keras yang kita maksud bukan keras kepala melainkan keras dengan tidak mudah menyerah.
Sebagian orang ada sudah mampu menaklukkan itu, namun masih banyak yang belum mendapat kesempatan untuk menaklukkannya. Salah satu yang belum mampu menaklukkan adalah "Sarjana".
Sarjana itu serba salah. Bagaimana tidak. Begitu ia berhasil mendapatkan sang pujaan hati, ia harus kembali ke kominitas asal, yaitu manusia yang menginjakkan kaki di atas tanah. Ketika masih kuliah, hidup kita sebenarnya tidak menginjakkan kaki di atas tanah - melainkan melayang. Impian kita melayang, pemikiran kita melayang dan terkadang kita merasa menjadi sesosok manusia agung - yang ketika melihat manusia kumal yang sedang bergumal dengan tanah, kita jadi mual.
Sekarang dunia terbalik. Dulunya berada di posisi atas kini harus menerima apa adanya jika harus dijungkiran ke bawah. Sarjana yang terjungkirkan harus menerima dengan ikhlas karena sekarang ia yang bergumal dengan tanah. Jika demikian, apapun yang dilakukan sang sarjana selalu jadi cibiran orang-orang. "Sarjana kok jadi kuli, sarjana kok ngernet bus, sarjana kok jualan ayam"...aduuh, sakit rasanya dikatakan begitu. Makanya jangan heran jika sang-sarjana di manapun berada akan selalu mencari-cari setiap lowongan yang tampaknya kelihatan ber-rongga.
Rongga yang tampaknya masih menganga lebar adalah peluang jadi PNS. Wah, jika ngomong soal PNS, para sarjana yang memang lagi pontang-panting cari yang lowong-lowong jadi terbelalak - berjubel melebihi kaun dhuafa yang antri mendapatkan zakat dari sang dermawan. Satu yang dicari - seribu yang daftar, seratus yang dicari - setengah manusia Indonesia yang daftar. Sungguh panorama indah yang selalu menghias tiap akhir tahun pembukaan lowongan CPNS.
CPNS seolah-olah pilihan satu-satunya dan yang paling pantas dalam mencari pekerjaan bagi sarjana. Kesarjanaan kita kurang dianggap jika belum menjadi Pegawai Negeri Sipil. Apa tidak gila itu!!!
Anehnya lagi, tampaknya para sarjana kita pun termakan oleh pengaruh tersebut. Raut muka mereka menggambarkan kekhawatiran yang sangat hebat jika belum meraih predikat baru tersebut. Kulitnya gatal-gatal terkena enzim status kepegawaian, ubun-ubunnya membludak ingin menerobos masuk ke dalam rengkuhannya biarpun harus membayar dengan sekian puluh bahkan ratusan juta.
"Nasibmu sarjana!!!" engkau dicibir di tepian - namun masih ditolak di putaran kepegawaian, jika begitu...namamu cocok dengan gelarmu "SARJANA=SARJONO" (Bagi yang sarjana dilarang marah, ini hanya cerita fiktif belaka, jika ada kesamaan nama ya...nasib-lah)
Senin, 05 Oktober 2009
UPIN – IPIN DAN MIMPI PERDAMAIAN
Ada kelakuan yang cukup menggelitik rasa humorku tatkala menyaksikan film animasi produksi Malaysia, yaitu Upin dan Ipin yang diputar di salah satu stasiun televisi swasta di tanah air kita. Terlepas dari hubungan kedua negara yang lagi bermasalah entah karena permasalahan harta gono-gini yang bernama seni dan budaya, atau adanya indikasi perselingkuhan - alias WIL (Wilayah Idaman Lain), yang jelas saya merasa terhibur menyaksikannya. Ada salah satu adegan di mana, betapa susahnya membangunkan Upin dan Ipin dari tidurnya untuk “makan sahur”. Terlihat jelas sang nenek ataupun Kak Ros stress berat lantaran butuh sekian puluh menit Cuma untuk membangunkan dua anak kecil nakal namun pintar sekaligus taqwa tersebut. “Upin – Ipin bangun, lekas makan sahur” sang nenek membangunkan, namun keduanya tidak menghiraukan. Alhasil – setelah sekian menit, sang nenek terpaksa menyeret keduanya untuk sekedar membasuh muka dan berkumur, lantas duduk di depan meja makan guna menikmati santapan makan sahur.
Setelah duduk manis di depan meja makan, kedua bocah lucu itu masih juga terngantuk-ngantuk. Nampak kedua bola matanya masih belum mampu menahan rasa kantuk yang masih terasa begitu hebatnya menggelayuti di antara kedua bahunya dengan manja dan nikmat. Namun, bukan Kak Ros namanya, jika tidak punya akal untuk membangunkan keduanya. Dengan cepat diambilnyalah “sepotong paha ayam goreng”. Paha ayam goreng tersebut lantas didekatkan di kedua hidung anak manja tersebut. Aroma paha yang menggiurkan itu lantas dengan cepat mampu menembus rongga-rongga penciumannya, lantas menggelitik otak nafsu kenikmatan rasanya untuk menyuruh mata terbelalak, mengikuti keterbelalakan bibir dengan mengirimkannya setetes dua tetes air liur, kemudian minta disampaikan kepada sang lidah untuk mengecap dan menjilat “paha gemuk nan nikmat itu”.
Sejurus kemudian keduanya pun terbelalak, bangun dari tidur kecil-secepat kilat tangannya menyambar potongan paha ayam, lalu…”nyam-nyam-nyam”. Makan sahurpun tak terlewatkan.
Itu sepotong cerita Film Upin dan Ipin yang sampai sekarang masih diputar di televise. Lantas apa hubungannya dengan “PERDAMAIAN”?
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya hari senin tanggal 28 september 2009, kawan-kawan yang berkecimpung di ranah Perdamaian Kalbar membuat sebuah himbauan yang cukup mengundang komentar di salah satu media local. Aku sendiri yang ada di Pemangkat, tidak luput mendapatkan sederet pertanyaan yang cukup bervariasi. Ada yang sedikit tersinggung, namun banyak juga yang mengacungkan jempol pertanda mendukung dengan upaya yang dilakukan kawan-kawan (kalau tidak salah hitung sekitar 78 nama) yang tercantum dengan jelas di samping ucapan himbauan itu. Saya pribadi mengucapkan “Salut untukmu Kawan” keberanianmu Insya Alloh akan kutiru dengan tulisan, bahasa serta sikap yang melekat pada diriku sendiri.
Terlepas dari keberanian kawan-kawan melakukan upaya pendobragkan tersebut, atau situasi yang mengiringi sebelum maupun sesudah himbauan tersebut di cetak satu halaman penuh di media, satu hal – saya berharap semoga Tuhan mendengar serta mengabulkan apa yang menjadi do’a dibalik kata-kata yang tertulis di selembaran koran local terebut.
Untuk dijadikan catatan saja, bahwa masyarakat biasa – yang sebiasa biasanya sekali, yang tidak pernah kenal computer atau teknologi canggih lainnya, mereka bertanya kepadaku (maaf ini benar/tidak mengada-ngada) “Aku membunuh empat orang dalam tragedy tersebut, berarti nanti kawan-kawan mas ridwan, atau mas ridwan sendiri pasti akan melaporkan aku ke polisi, terus mereka menangkap serta memenjarakanku. Kalau sudah begitu, gimana donk? Berarti sekarang kita jadi musuh donk?. Subhanalloh, terus terang aku kehabisan kata-kata kawan.
Saya harap kawan-kawan jangan terjebak karena ini.
Selang beberpa waktu setelah itu, siangnya aku menulis sebuah dukungan atas upaya kawan-kawan di alamat facebook ku, tak kusangka ternyata ada sebuah komentar dari abang kita Mohammad Loter yang bilang “kalau kami yang terus teriak tkut ampek gila, tapi yang tidak tercantum harus teriak, mana aktifis perdamaian Sambas…berbicaralah untuk kebenaran terhadap pembantaian yang sistemik”.
Membaca komentar tersebut aku sedikit berkerut. Tidak dipungkiri memang, jika di Sambas orang-orang yang mau berbicara soal perdamaian (Konflik 99 khususnya), dengan tulus dan ikhlas memang masih minim. Belum ada kebulatan keberanian yang mampu mendobrak, semuanya masih patah-patah. Hanya satu-satu dan itu pun masih tergagap-gagap. Tapi bukan berarti kami tidak ada, kami ada sebagai ruh belum mampu menjelma sebagai wujud. Kami menerobos bahkan melingkari setiap jalur hidup, namun masih sebagai virus – belum lahir sebagai kebijakan. Kami belum memiliki wadah yang kuat untuk itu. wadah kami hanyalah cangkir kecil, itu pun udah mulai retak lantaran terlalu lama dipakai dan hanya satu-satunya.
Di tingkat raja-raja pun seperti itu. Beberapa bulan yang lalu ada semacam geliatan ingin memperjuangkan slogan rekonsiliasi, namun masih sebatas proyek belaka. Bahkan belakangan diketahui ada indikasi ketidak jelasan arah dan tujuan, bahkan ujung-ujungnya malah bermasalah soal keuangan. Hanya Alloh yang tahu mana yang benar dan salah.
Persis seperti cerita Upin dan Ipin di atas, mereka bangun untuk makan sahur lantaran ada godaan aroma dari paha goreng yang gemuk dan harum. Pemangku kebijakan pun nampaknya tak jauh beda. Rekonsiliasi menggeliat lantaran ada aroma paha goreng dari pak menteri – atau wakil presiden, atau apalah. Yang jelas mereka terbelalak bangun untuk makan sahur bukan dikarenakan teriakan kemanusiaan yang membangunkanya, namun aroma proyek dan uang. Dengan mengejutkan – ramai-ramai mereka jadi simpati dan terenyuh menyinggung soal konflik, namun ujung-ujungnya terbengkalai tak tentu arah.
Jika bang M. Loter bertanya lantas saya tergeragap menjawabnya, itu bukanlah hal yang aneh. Sebeb kenyataannya panggung kehidupan kita masih tidak jauh beda dengan Film Upin dan Ipin, adalah “Rekonsiliasi Paha Ayam Goreng”……
Sabtu, 06 Juni 2009
PANGGILAN GAJI
Pagi itu, kurang lebih tiga minggu yang lalu, tiba-tiba HP ku berbunyi nyaring, sebuah lagu dari sang musisi senior yang sudah menelurkan berratus lagu balada, dialah Ebit G Ade berjudul “Ayah Aku Mohon Maaf “ yang kujadikan ring tone membuyarkan lamunanku di pagi yang masih terselimuti kabut pegunungan tepat di depan rumahku. Sebuah lagu yang pasti cukup popular di tahun keemasannya itu memanjakan telingaku untuk menikmatinya sejenak. Petikan gitar akoustik bernada klasik melengking menjadi sebuah intro sebelum masuk ke bait pertama berbunyi “Dan pohon kemuning, akan segera kutanam, dan suatu saat kelak dapat jadi peneduh…” Sebuah syair lagu yang begitu merdu. “Pak Ridwan nanti sekitar jam 08.00 harap segera ke kantor BPD ada yang harus ditanda tangani, ini penting!” belum sempat aku menjawab dengan kalimat “Siap pak!” telepon sudah diputuskan. Sontak saja instruksi mendadak barusan yang berasal dari ketua BPD tersebut, membuat aku harus bergegas mandi dan sedapat mungkin sarapan pagi walau di meja makan hanya tersaji nasi, sambal ikan teri dan dua potong tempe goreng sisa semalam sebagai lauk andalan orang Jawa. Begitulah masyarakat di sini biasa memberikan predikat bagi orang Jawa yang ada di Kalimantan, “tempe” ya,..hanya tempe, tak lebih tak kurang. Maaf, bukan bermaksut ngenyek atau menghina, tapi anekdot itu sudah terlalu memasyarakat di sini hingga sudah tidak asing terdengar di telinga, dan tidak bakalan membuat mengkerut jidat kita yang sudah terlanjur ber cap “Mas Jawa”. Sekali lagi maaf saya mohon anda jangan berpikir kalau itu rasis, bukan apa! Saya Cuma tidak mau hanya gara-gara tempe kita nanti akan berkonflik. Kalau tidak percaya buktikan saja.
Panggilan mendadak tersebut membuat aku berpikir keras “ada apa gerangan!”. Biasanya setiap ada permasalahan di kantor ( boleh ya, saya sedikit menyombongkan diri menyebut kantor di sini ), jauh hari sebelum hari H pasti ada pemberitahuan melalui surat resmi. Tapi ini tidak, tanpa ada surat atau SMS sebelumnya hari itu juga kurang lebih satu jam lima belas menit lagi aku harus segera meluncur ke Kantor BPD. Buru-buru aku mengantarkan istri serta anakku yang selalu dibawa serta ke sekolahan tempat ia honor alias ngabdi di SD Muhammadiyah mlarat tersebut ( bukan bermaksud meminjam istilah Andrea Hirata, tapi memang sejatinya mlarat ). Sekolahan tempat istriku mengabdikan diri memang kurang begitu beruntung jika dibandingkan dengan sekolahan-sekolahan lain, apalagi di Jawa sana. SD Muhammadiyah atau Yayasan Muhammadiyah pastilah di mana tempat memiliki kemapanan yang tidak perlu dipertanyakan lagi, lain halnya dengan SD serta Yayasan Muhammadiyah di sini, di tempat istriku ngabdi, ibarat istilah “jauh api di atas panggang, atau jauh api dari panggang, atau jauh panggang dari api” atau entahlah saya lupa, tapi saya yakin anda mengerti maksud saya.
Tidak jauh memang jarak tempuh antara sekolahan dengan rumahku, sekitar sepuluh menit jika pakai motor pastilah sampai. Selesai mengantarkan sang istri dan anak, aku kembali ke rumah untuk membereskan lembaran-lembaran data DPS ( Daftar Pemilih Sementara ) untuk pemilihan Presiden Bulan Juli mendatang yang nantinya akan dijadikan DPT ( Daftar Pemilih Tetap ). Karena akhir-akhir ini aktifitas harianku masih disibukkan dengan urusan Panwas yang memang sedikit banyak mampu menguras waktu dan otak ini yang sebenarnya tidak begitu pinter.
Jauh hari setelah aku diangkat menjadi Anggota BPD, pernah meluncur kata-kata yang keluar dari mulutku, lalu kuperkuat dengan sepucuk surat pernyataan atau berita acara atau entah apa itu namanya, sebagai tanda resmi sebuah pernyataan sikap bagi orang-orang yang memang duduk di sebuah lembaga institusi, karena kalau ngomong doank tidaklah dipakai. Dalam surat pernyataan itu aku menuliskan permohonan maaf yang kutujukan kepada ketua BPD. “ Bahwa pada hari ini, tanggal sekian, bulan sekian, serta tahun sekian, saya bernama titik-titik, alamat titik-titik, status titik-titik, bla…bla…bla…menerangkan dengan sesungguhnya, belum dapat bekerja penuh waktu mulai tanggal, bulan, sampai dengan tanggal bulan ini tahun 2009, karena konsentrasi untuk sementara waktu di Panwas. Demikian surat pernyataan ini kami buat, atas perhatiannya diucapkan terima kasih ”. Tanda tangan lalu kuberi materai. Kira-kira seperti itulah surat yang saya buat, intinya saya minta maaf belum bisa kerja secara optimal di BPD karena masih konsentrasi di panwas. Alhasil ketua menyetujuinya, makanya bukan suatu keanehan jika saya jarang sekali nongol di kantor BPD, hingga di pagi itu sebuah telpon mengejutkanku untuk segera datang ke sana.
Saking banyaknya lembaran kertas yang berserakan, bahkan jika disatukan lalu di jilid, mungkin saja lembaran-lembaran itu melebihi jumlah lembaran dalam Al-Qur’an. Itu semua mampu membuat aku senewen. Banyak sekali dan berserakan di mana-mana, di lantai, di bawah meja, dalam kolong lemari, di atas rak buku, di pojokan rumah, di atas atap, di kandang ayam bahkan dalam kolam ikan lele yang ada di belakang rumah. Bertaburan tak tentu arah seperti masyarakat di jagat ini yang bertaburan, melintang ke sana ke mari tak tentu arah. Aku puyeng merapikannya.
Hampir satu jam aku direpotkan oleh kertas-kertas sialan ini, baru dapat tanggung jawab untuk mengawasi DPS saja udah puyeng sampai muter-muter, bagaimana jika disuruh jadi calon presiden atau wakil presiden mungkin langsung gila yang sembuhnya nunggu dua hari lagi mau kiamat, gerutuku dalam hati. Belum habis aku ngomel-ngomel, kembali HP ku berdering, “Kami sudah nunggu di kantor Pak Ridwan, cepet datang!” suara itu terdengar keras dan cepat, “SSS!” baru mulutku mengucapkan huruf “S” dari kata “Siap Pak!” lagi-lagi telpon itu diputuskan. Mungkin aku harus ganti HP yang bisa langsung secara otomatis menjawab kata “siap pak!” biar enggak dongkol hati ini. “Dasar barang bekas tak bisa menjawab sendiri telpon dari orang, harus nunggu kita yang ngomong, kalau kamu memang HP yang professional, canggih, dan berdaya jangkau jauh melewati lintas batas harusnya tidak perlu aku yang ngomong donk, kamu yang menjawab sendiri, masak mengucapkan lafal (siap pak) saja nggak mampu!”. Ku maki-maki HP ku sampai kecut ia.
Secepat kilat kutinggalkan kertas-kertas berserakan tadi yang baru setengahnya dapat aku rapikan, tak peduli dengan kondisi kamar yang masih seperti pesawat Herkules yang lagi mabuk udara, lantas menukik tajam dan membentur batu cadas hingga hancur berkeping-keping, lantaran mesin pendorongnya lepas baut serta skrupnya itu. Aku ngacir menuju kantor BPD guna memenuhi panggilan mendadak super penting dari sang ketua. Sepanjang jalan kepala ini tak henti-hentinya bertanya “ada apa gerangan”?.
Kotaku memang masuk kategori kota kecil. Jadi kalau ingin ke mana-mana tidak perlu repot-repot atau bersusah payah. Cukup pakai motor atau numpang tetangga yang mau belanja ke pasar, atau sepeda onthel atau kalau perlu jalan kakipun langsung sampai ke tujuan.
Karena kecilnya wilayah kami itulah, makanya sesuai dengan pemberitaan di media massa local baru-baru ini, bahwa Kalbar bakalan sepi dari hiruk-pikuk kampanye Pemilu Presiden nanti. Jika ditinjau dari jumlah prosentase pemilih atau lumbung-lumbung suara di Indonesia, Jawa menempati posisi tertinggi dengan kisaran 60% dari jumlah penduduk di tanah air ini. Sedang 20% lagi berada di wilayah Sumatera, sementara sisanya yakni 20% nya lagi diperebutkan untuk 3 wilayah antara lain Kalimantan, Sulawesi dan wilayah-wilayah Indonesia bagian timur. Sedikit nasehat dariku untuk anda semua, “jika ingin terjun ke kancah politik, apalagi anda berada di wilayah Kalimantan, yang perlu anda perhatikan itu ada dua. Pertama, kamu harus menduduki posisi strategis di intern partai, misalnya, ketua umum merangkap wakil, merangkap sekretaris dan yang paling penting juga merangkap sebagai bendahara. Jadi kalau ada pembagian jatah anda tidak akan ketinggalan. Kedua, jangan pernah memilih partai kecil atau partai gurem, sebab yakinlah (yang namanya ‘g u r e m’) itu selalu membuat jengkel manusia, suka gigit, bikin gatel badan dan nasibnya pasti setalu dipites-pites / digencet-gencet sampai bunyi “kruk!”, lalu tewas. Karena Kalimantan jumlah penduduknya kecil secara otomatis pundit-pundi suara pun sedikit. Maka jangan heran jika Kalimantan bukanlah sasaran tembak yang tepat untuk calon-calon presiden atau partai politik. Imbasnya bagi anda yang terjun ke politik, jika partai politik anda kalang kabut antara timbul tenggelam di lautan, maka partai kalian yang terakhir akan mendapatkan pertolongan jika yang lainnya terselamatkan terlebih dahulu. Itupun kalau ingat!.
Tidak jauh beda jarak antara rumah dengan sekolahan tempat istriku mengabdi – dengan jarak antara rumahku dengan kantor BPD. Kurang lebih sepuluh menit sampai juga aku di sebuah pelataran kantor BPD yang tidak seberapa luas. Di halaman parkir sudah berderet jenis kendaraan roda dua segala merek, mulai dari Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki, Harly Davidson sampai BMX pun ada. Tidak ketinggalan pula beberapa kendaraan roda tiga teronggok di sudut lapangan kantor, mulai dari becak, bemo sampai mobil angkutan bekas yang rusak berat dan kebetulan ban roda depannya hilang satu dicuri maling yang lagi sinting, makanya kumasukan sebagai kendaraan roda tiga. Sejurus kemudian aku termangu memperhatikan sekeliling.
“Silahkan masuk Pak Ridwan!” suara itu terdengar memanggil namaku dari dalam kantor. “SSS”…tit…tit..tiiiit…tiba-tiba suara klakson dengan nyaringnya mengagetkanku. Aku melompat berusaha menghindar sambil menoleh ke belakang melihat asal muasal dari suara itu. “Sialan kamu bang membuat aku kaget jak!” ucapku kepada Bang Udin yang tadi mengagetkanku dengan suara klakson motornya itu. Untuk kesekian kalinya aku masih gagal mengucapkan kata “Siap Pak!”
Sesampainya di dalam saya langsung dipersilahkan menempati sebuah kursi yang memang lagi kosong. Jika dilihat dari bentuknya kursi itu mungkin sudah berumur lebih dari sepuluh tahun. Kayu-kayunya sudah mulai keropos, ada lubang di sana-sini dan tak ketinggalan pula sebuah kepala paku nongol siap mengoyak celana siapapun yang gegabah mendudukinya. Dua keping papan sebagai sandaran punggung itu pun copot satu. Aku menyeringai memandang kursiku. “sebelas!” kusempatkan menghitung jumlah kursi yang tersedia dalam hati. Yach, jumlah itu sesuai dengan jumlah anggota BPD di mana sesuai aturan haruslah berjumlah ganjil. Nampaknya ada unsur kesengajaan bahwa pak ketua tidak memanggil orang lain selain kami semua anggota BPD yang berjumlah sepuluh orang ditambah dengan satu sebagai ketua merangkap anggota. Akhirnya rapat mendadakpun digelar dan aku ada diantara situasi tersebut, kucel dengan rambut gondrong awut-awutan, tak jelas dan masih bertanya “ada apa ini?”.
Setelah lebih kurang lima belas menit ketua kami berbicara, akhirnya aku tau juga alasan mengapa pagi-pagi tadi HP ku berbunyi nyaring. Ternyata Panggilan gaji. Yach…kami semua dikumpulkan dalam rapat ini tidak lain tidak bukan untuk mengambil gaji BPD. Aku terbengong-bengong bego tapi sedikit senang karena mendengar bakal menerima gaji. Sungguh acara pagi itu sangatlah meriah. Semua yang hadir terlihat berseri-seri tak ada setitikpun kemuraman terpancar dari wajah-wajah mereka. Akupun bergitu.
“Sodahlah gak usah panjang lebar ngomongnye…kappak tok ndengarkannye…bagi-bagikan jak weh…usah lama-lama”!, yang artinya kurang lebih (cepat gak usah lama-lama, capek dengarkannya, bagi-bagikan aja) Long Esa menyela dengan logat bahasa Melayu Sambas sangat kental, dan yang lain pun menyetujui apa yang diomongkannya. Akupun begitu.
Satu per satu kami menerima sebuah amplop yang dibagian luarnya ada cap stempel BPD. Amplop itu lumayan tebal. Dan memang tebal, walau bagi orang lain tidaklah tebal mungkin. Di dalamnya ada uang berjumlah Rp. 1.250.000 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Aku termangu sambil menimang-nimang amplop tersebut. Ada kelegaan sesaat merasuki jiwa dan raga ini, demikian juga dengan anggota yang lain perasaanya kurang lebih sama denganku. “Aku kaya hari ini!” batinku.
Senyum sumringah menghias bibir ini sambil diikuti dengan hisapan kuat sebatang rokok. Kuhembuskan asap gulungan kertas ajaib itu kuat-kuat sambil terkekeh menikmati keasyikannya nafsu. Aku melupakan perjanjian yang kutulis beberapa bulan yang lalu. Yach surat perjanjian permintaan maaf yang tertuju kepada ketua BPD karena belum bisa bekerja secara optimal. Aku ingat! Ternyata aku belum kerja. Bahkan sekedar menampakkan mukapun jarang-jarang. Keringat serta daya pikir ini belum pernah setitik pun tercurah di lembaga ini. Lembaga Dewan Kehormatan tingkat desa yang dipilih oleh rakyat desa. Tapi sekarang aku sudah menerima gaji. Yach..gaji buta. Aku menghianati mereka hari ini.
Aku melupakan Firman Nya, “Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal salih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” (Al-Mu’minun:51). “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian” (Al-Baqarah: 172). Menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi menekankan pentingnya bagi seorang muslim untuk mengkonsumsi makanan yang halal, bersih dan lurus. Yang halal ialah yang tidak mengandung kedurhakaan terhadap Alloh, yang bersih tidak mengandung perkara yang melupakan Alloh, yang lurus berarti yang menahan nafsu dan memelihara akal. Makanan yang baik akan mempengaruhi keadaan jiwa. Dalah sebuah hadits dikemukakan, ketika Rasulullah SAW menjabat tangan Sa’ad bin Mu’azd ia merasakan kedua telapak tangannya keras dan kasar karena selalu dipergunakan untuk bekerja. Lalu Nabi bersabda. “Ini adalah kedua telapak tangan yang dicintai Alloh SWT”.
Tangan ini bergetar memegang amplop sambil teringat wajah istri dan anakku. Haruskah kuberi mereka makan dengan harta yang belum pernah aku cari? “Ah yang penting SPJ (Surat Pertanggung Jawaban)-nya beres, semua orang yang kerja di kantor pemerintahan juga gitu kok, gak perlu kerja, paling-paling masuk jam sembilan, baca koran, absent sebentar, ngobrol sana-sini, terus kabur deh” bisik seratus Iblis yang berkeliaran di sekujur raga ini. “Bagaimana? kamu siap enggak melemparkan amplop yang sudah ada di tanganmu itu” bisik Iblis untuk kedua kalinya. Kembali aku tak mampu mengucapkan kalimat “…Siap Pak…!”
Sabtu, 14 Februari 2009
PANITIA PENGAWAS PEMILU DAN SEJARAH
Saya sedikit punya kenangan tersendiri dengan tanggal 11, 12, 13, 14 dan 15. Bagaimana tidak, setelah kupikir-pikir ada peristiwa yang bagiku bisa kuanggap penting sekaligus mengiringi perjalanan hidup saya di tanggal-tanggal tersebut. Bagaimana tidak! Pertama, bulan lalu tepatnya tanggal 11 Januari 2009 saya terpilih dan dilantik menjadi anggota sekaligus ketua Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan/ Panwaslucam untuk Pemilu 2009, dimulai dengan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sampai dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, tanggal 12 Febuari 2009 beberapa hari yang lalu saya juga terpilih dan dilantik menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk wilayah Desa Pemangkat Kota, dimana masa baktinya lumayan mengejutkan yakni 6 tahun. Ketiga, tanggal 13 Januari 2007 silam saya juga terpilih dan dilantik sebagai anggota sekaligus ketua Panwaslucam pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Sedang untuk tanggal 14 dan 15 peristiwa yang mengiringi lebih bersifat khusus, yaitu di tanggal 14 Februari yang bertepatan dengan hari kasih sayang/ valentein, saya menikahi perempuan Kalbar yang sampai sekarang menjadi istri saya. Nah! Untuk tanggal 15-nya, tapi di bulan Desember lahirlah si mungil Maulana Khalil Ridwan yang tak lain dan tak bukan adalah anakku.
Jujur, sebenarnya saya sedikit malu harus bercerita tentang serentetan tanggal-tanggal di atas. Bagi banyak orang mungkin peristiwa di atas adalah hal yang biasa dan dengan gampang mampu diraih oleh siapa saja tanpa harus mengeluarkan energi otak yang berlebihan. Menjadi Panwas itu biasa, begitu pula menjadi BPD, apalagi masalah menikah dan punya anak! Hal yang lumrah dialami setiap manusia.
Volume test tertulis maupun test wawancara sebagai persyaratan untuk masuk sebagai anggota Panwas memang tidaklah sesulit menjadi PNS. Tiap tahunnya ribuan orang gagal untuk lolos dalam test memperebutkan gelar Pegawai Negeri tersebut. Apalagi di Panwas gaji yang diterima pas-pasan bahkan mungkin kurang untuk menutupi kebutuhan hidup yang makin hari makin tinggi. Hanya satu juta dipotong pajak 15% per bulannya, walaupun memang ada tambahan uang transport, uang sosialisasi, sewa motor satu juta untuk dua unit dll, ditambah dengan masa tugas yang terbatas karena sifatnya ad hoc, menjadi Panwas bukanlah prestasi yang patut mendapat acungan jempol. Walaupun di Pemilu 2009 masa baktinya agak sedikit lama sampai Pilpres mendatang, saya yakin tentunya banyak orang akan males untuk mau berurusan dengan posisi sebagai Panwas, mendingan ngejar PNS saja mas! Namun bagiku tidak! Bukan test, gaji, atau masa bakti saja sebagai tolok ukur, melainkan “panggilan hati untuk kedamaian” itulah sebagai pemicunya, mengapa?.
Ini erat sekali dengan aktifitas harianku selain kesibukan di Lembaga Pendidikan Al-Kautsar serta ikut gabung dengan usaha ayah mertua dalam perdagangan ikan. Sudah hampir dua tahun ini saya berkecimpung di ranah konflik, dalam arti bukan sebagai pemicu konflik, melainkan mengajak bagi orang yang berkonflik untuk berpelukan, saling memaafkan, saling mengintrospeksi diri dengan menemukan kembali hakekat kemanusiaannya, lewat bendera besar yang bernama “Rekonsiliasi”.
Diam-diam Kalbar memiliki luka sejarah yang sampai sekarang belum pulih benar, bisa-bisa sedikit saja luka tersebut tergores oleh apapun, kemungkinan besar Kalbar akan kembali berdarah seperti tahun-tahun sebelumnya. Apalagi menjelang tahun-tahun penentuan seperti sekarang ini, dimana Indonesia akan menggelar pesta demokrasi lewat Pemilihan Umum pada bulan April mendatang. Sedikit gesekan di ranah politik saja, tidak menutup kemungkinan bakal terjadi konflik walaupun skala prioritasnya kecil. Berkaca pada Kota Singkawang beberapa waktu yang lalu, bagaimana masyarakat yang mengatas namakan Forum Pembela Melayu (FPM) duet dengan Forum Pembela Islam (FPI), melakukan protes keras bahkan sampai melakukan tindakan anarkis menyuruh Wali Kota Singkawang Bapak Hasan Karman untuk turun lengser keprabon alias mlorot dari singgasana kewali kotaannya. Hanya gara-gara bersinggungan dengan soal agama yang bercampur dengan budaya; yaitu sebuah “Patung Tugu Naga” yang nota bene FPM maupun FPI tidak setuju dengan didirikannya tugu tersebut.
Berkaca pada sejarah, alangkah baiknya jika sedikit saya gambarkan konflik yang pernah terjadi di Kalbar secara global. Ada 3 insiden kekerasan etnik di Kalbar yang mampu meluluh lantakkan kemanusiaan. Pertama, beberapa sub-etnik Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekelompok Cina yang tinggal di pedalaman, di sekitar perbatasan dengan Malaysia, yakni di wilayah Sambas, Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu hanya terjadi satu kali, berlangsung sekitar 2 bulan, dari Oktober hingga November 1967, satu titik waktu dimana rezim Orde Lama beralih ke Orde Baru. Kedua, beberapa sub-etnik Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu hanya terjadi satu kali, berlangsung sekitar 2 bulan, dari Januari hingga Februari 1997, satu titik waktu dimana rezim Orde Baru segera akan berakhir. Dan ketiga, satu sub-etnik Melayu melakukan etnic cleansing terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Sambas. Sebagaimana sebelumnya, insiden ini hanya terjadi satu kali, berlangsung sekitar 2 bulan, dari Februari hingga Maret 1999, satu titik waktu dimana Orde Reformasi baru mulai berdiri.
Lantaran sejarah pahit itulah hati ini merasa terpanggil untuk masuk menjadi anggota Panwas. Sesuai dengan tugas dan bidang Panwas menurut undang-undang yakni; mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu, menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan, menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan, meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang serta mengatur hubungan koordinasi antar Panwas pada semua tingkatan seantero Kalbar. Tugas mulia untuk menyelesaikan sengketa (konflik) yang timbul di lapangan dalam Pemilihan itulah titik poin-nya.
Asumsi saya bahwa kekerasan etnik dan perdamaian etnik sebenarnya merupakan bagian yang integral dari apa yang disebut relasi etnik. Secara umum perdamaian etnik cenderung lebih kuat ketimbang kekerasan etnik. Untuk damai memang tetap ada persaingan yang tajam di antara berbagai kelompok etnik untuk merebut sumberdaya (konflik etnik), tetap ada kekerasan individual dan kolektif inter-etnik, namun semua itu tidak menghalangi kelompok etnik untuk berhubungan dan mengadakan kerjasama. Strategi cerdas dalam menghadapi konflik yang perlu dimiliki oleh anggota Panwas, itu suatu kebanggaan tersendiri bagi saya.
***
Cerita selanjutnya tentang BPD. Walaupun hanya tingkat desa, sebenarnya BPD bergengsi juga untuk sedikit dibanggakan. Ia adalah mitra dari Kepala Desa dalam mengeluarkan setiap kebijakan sekaligus berposisi sebagai Dewan di tingkat Desa. Di Panwas saya memantau setidak-tidaknya 32 jatah kursi di Parlemen yang diperebutkan oleh 685 calon anggota Dewan yang bakal duduk di Dewan Legeslatif di Kabupaten Sambas. Enam ratus lebih orang dengan enam ratus lebih trik-trik politiknya secara professional harus Panwas kontrol. Sedang di Desa sendiri saya adalah salah satu dari sebelas orang yang menempati posisi sebagai Dewan Desa. Sama-sama Dewan tapi lain jalur dan wewenang yang sekaligus lain pula pendapatannya.
Sebelum KPU mengumumkan nama-nama calon anggota dewan yang bakalan ikut dalam Pemilu 2009 nanti, saya sempat juga ditawari oleh beberapa orang dari salah satu partai politik untuk ikut mencalonkan diri sebagai Calon Legeslatif. Entah lantaran belum panggilan jiwa ataupun yang lain, tawaran tersebut saya tolak. Namun Alloh berkehendak lain, justru sekarang saya dipilih sebagai salah satu orang yang harus mengawasi semua calon-calon tersebut, dan niatan untuk jadi Dewan itupun diganti dengan posisi sebagai Dewan yang sesungguhnya di tingkat desa sebagai BPD.
Menjadi BPD minimal saya bisa memahami bagaimana sebuah pemerintahan akan mengeluarkan sebuah kebijakan baik bersifat social, politik, ekonomi dan hukum. Walau pun skup nya hanya di tataran Pemerintahan Desa, setidak-tidaknya itu sudahlah cukup menjadi sebuah contoh yang riil. Sebagai Dewan Desa saya dituntut untuk lebih peka terhadap keluhan rakyat desa. Apa yang rakyat inginkan, saya-lah yang harus menyampaikan kemudian bekerja sama dengan Kepala Desa berusaha untuk mewujudkan. Segala sesuatu memang tetap kembali ke yang lebih atas (pemerintah) namun toh begitu, setidaknya sebagai penyalur inspirasi dari rakyat di tingkat desa, saya akan berusaha maksimal. Tidak spektakuler memang, namun itu cukup berarti bagi saya.
Posisi apapun yang sekarang saya emban itu adalah amanah. Sebagai muslim saya dituntut untuk memegang amanah. Belum genap 5 tahun saya tinggal di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas – Kalbar, ternyata masyarakat sedikit memberikan kepercayaan kepada saya untuk terus maju dan berkembang. Itu peluang yang positif dan tak mungkin akan aku hianati. Pelajaran berharga yang perlu dicamkan adalah; selama orang percaya dengan kita jangan sekali-sekali berniat untuk menghianatinya.
Rabu, 14 Januari 2009
REFLEKSI SEPULUH TAHUN KONFLIK SAMBAS
Tulisan ini merupakan kerja yang apik dari kawan-kawan yang berkecimpung sebagai pekerja perdamaian di Kalbar. Berikut isi dari tulisan tersebut :
”Status Quo” Proses Rekonsiliasi
Menjelang 10 Tahun Paska Konflik Sambas Tahun 1999
(Sebuah Catatan Hasil Refleksi)
__________________________________________________________________________________________
A. Latarbelakang
Disadari atau tidak saat ini telah menjelang 10 tahun perjalanan dan proses rekonsiliasi paska konflik Sambas 1999. Sebuah rentang waktu yang terlalu panjang bagi para pecinta dan pekerja perdamaian; dan 10 tahun yang tidak berarti apa-apa bagi kelompok “pro status quo”.
Bercermin dari belahan bumi borneo yang sama; meskipun situasi konflik di kedua wilayah Kalteng dan Kalbar sudah reda; di kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) secara bertahap warga Madura telah kembali ke sana, sedangkan di kabupaten Sambas mereka masih belum masuk ke wilayah itu. Bila dirujuk pada teori mengenai empat tahap resolusi konflik, yaitu : 1) de-eskalasi konflik, 2) intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik, 3) problem solving approach, dan 4) peace building; maka daerah Kalimantan Tengah lebih maju daripada Kalimantan Barat. Kasus Sampit sudah memasuki tahap ketiga, sedangkan kasus Sambas masih berada pada tahap kedua. Hal ini tidak terlepas dari faktor pendorong dan penolak resolusi konflik itu sendiri.
Peranan Negara dalam Transformasi Konflik di Kalimantan Barat dinilai cukup relevan dan penting. Berikut ini kondisi dan permasalahan yang melatarbelakangi :
Pada tahap De-eskalasi Paska Konflik, dalam tindakan jangka pendek : Aparat keamanan dalam jumlah yang sangat terbatas yang ada di area konflik coba meredam konflik, dan aparat yang diterjunkan itu cenderung tidak netral. Perkembangan di lapangan waktu itu menunjukkan bahwa Polsek dan Koramil tak lagi mampu mengendalikan situasi, dan tidak mampu segera mencegah berlanjutnya kekerasan. Aparat gagal melokalisir kerusuhan dan pemblokiran, sehingga kerusuhan meluas. Aparat gagal mencegah jatuhnya banyak korban jiwa dan harta benda.
Untuk periode jangka panjang, Negara Kurang mampu mendorong terjadinya reduksi perasaan saling membenci di antara pihak-pihak yang pernah bertikai. Dalam konteks kasus Sambas Pemerintah Daerah setempat turut mendukung dan menyebarkan “hidden agenda” untuk menolak Madura kembali ke bumi Melayu Sambas. Dilapangan terdapat kecenderungan di kalangan Masyarakat maupun di kalangan elit, perasaan “membenci” etnik Madura masih tumbuh subur. Negara gagal memainkan peranan de-eskalasi karena negara belum mau dan mampu menemukan cara-cara pemecahan masalah yang dapat dikatakan adil bagi pihak Madura. Pendekatan yang dianut ialah “pendekatan alamiah” yang cenderung bermakna “pembiaran”; yang secara sepihak hanya menguntungkan etnik Melayu Sambas, dan sangat merugikan warga madura.
Pada tahap intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik; Pemerintah Propinsi kalbar melakukan relokasi pengungsi; sementara di Sambas terbit Surat Edaran Bupati Sambas tentang Inventarisasi Tanah-Tanah milik orang Madura yang ditinggalkan di Sambas. Dalam hal ini di lapangan menunjukkan tidak adanya koordinasi antara pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten Sambas. Pemerintah sambas merasa ditinggalkan/tidak dilibatkan atau tidak mau ikut campur. Program pemerintah untuk tujuan perdamaian hampir dapat dikatakan tidak ada. Pemerintah Daerah tidak serius, sehingga banyak tanah-tanah milik orang madura yang dikuasai oleh orang Melayu, oleh Pemerintah Desa, atau disita sebagai “rampasan perang”.
Analisis perbandingan terhadap proses transformasi konflik antara Kalbar dan Kalteng menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
Parameter Sambas, kalbar Sampit, Kalteng
Data Korban Korban tewas sekitar 200 orang; pengungsi 30.000
Lokasi Pengungsian di wilayah Kalimantan Barat Korban tewas sekitar 400 orang; pengungsi 100.000
Lokasi Pengungsian di wilayah Jawa Timur
Kondisi Umum Paska Konflik Orang Madura ditolak masuk wilayah Sambas Orang Madura sudah kembali secara bertahap
Peran Negara
Tahap de-eskalasi Aparat keamanan lambat dalam mencegah penyebaran konflik Aparat keamanan lambat dalam mencegah penyebaran konflik
Tahap Intervensi Kemanusiaan Penampungan Pengungsi menjadi proyek Propinsi Kalbar. Kabupaten Sambas tidak dilibatkan Penampungan pengungsi sebagian besar di Jawa Timur.
Pemerintah Pusat menyediakan transportasi kapal (Pelni, TNI AL) untuk mengangkut pengungsi.
Tahap Negosiasi Politik Tidak banyak perannya; kalaupun ada difasilitasi oleh Pemerintah Propinsi dan Polda. Ada dukungan secara nasional lewat pertemuan di Jakarta, Yogyakarta, Malang, Bangkalan
Kepentingan penguasa yang memiliki konstituen kuat di Jawa Timur.
Pengungsi korban konflik Sampit banyak yang lari ke Madura, Pemerintah Jawa Timur merasa Keberatan
Kebijakan Pemerintah Daerah Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor : 143 Tahun 2002 tentang Pembentukan Team Gabungan Penanggulangan Pengungsi Pasca Kerusuhan Sosial di Kalimantan Barat.
Perda No. 10 tahun 2005 tentang RPJMD Provinsi Kalimantan Barat tahun 2006 – 2008 tanggal 31 Oktober 2005; khususnya pada Bab tentang Agenda Mewujudkan Kalimantan Barat Harmonis dalam Etnis) Perda Propinsi Kalteng No. 9 Tahun 2001 tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik
Perda Kabupaten Kapuas Nomor 11 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengembalian Pengungsi Dampak Konflik Etnik
Perda No. 5 Tahun 2004 tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik) Kalimantan Tengah
Peran Masyarakat Kelompok Penolak Resolusi Konflik sangat kuat (FKPM), dengan jaringan yang kuat di kalangan elite formal (birokrasi, DPRD) di tingkat Propinsi sehingga kabupaten, maupun elite Informal (Kesultanan Sambas), serta dukungan luas masyarakat Sambas.
Kelompok pendorong Resolusi Konflik, memiliki jaringan yang lemah dan hanya kuat di kalangan pengungsi Madura saja.
Peran NGO : parsial dan rebutan kapling proyek
Pengembalian pengungsi lebih banyak di kota-kota Hampir tidak ada kelompok penolak resolusi konflik.. Garis keras hanya ada di segelintir elite Dayak, Kristen atau sisa-sisa pelaku konflik. Garis keras tidak ada di grassroot, kecuali bila ada saudaranya terbunuh atau yang punya catatan hitam dalam relasi dengan Madura sebelumnya.
Kelompok Pendorong Resolusi Konflik ; FK4 (Forum Komunikasi Korban Kerusuhan Kalteng) memainkan peranan yang menonjol. Disamping peran institusi keagamaan IPMPU (Ikatan Pemuda Muslim Pembela Umat) yang didukung baik oleh Madura maupun Dayak Islam.
Peran NGO : ada kerjasama dalam pengembalian pengungsi, lebih banyak di desa-desa.
Dinamika Hubungan Masyarakat-Negara Paska Konflik : lingkup kabupaten
Kekuatan politik menjadi lebih homogen : (i) Membangun “tembok Sambas” ; (ii) Keraton tulang punggung penolak orang Madura Kembali
Pemekaran Wilayah mengakomodasi kepentingan Elite dan Masyarakat, serta pembagian wilayah kekuasaan antar etnik.
Pilkada; Kandidat dengan sengaja menghindari isu pengembalian Madura ke Sambas.
Paska Konflik : lingkup propinsi
Kekuatan politik tetap “heterogen” : (i) peran damang dalam menyeleksi kembalinya orang Madura
Pemekaran wilayah membuat banyak elite yang tertampung dalam struktur pemerintahan. Isu pemekaran menyebabkan masyarakat dayak tidak terfokus menolak warga madura.
Pilkada bisa berdampak negatif bila isu etnis ditampilkan, misalnya menyebarkan isu bahwa calon tertentu memiliki darah Madura.
Adanya rasa aman dan nyaman merupakan kebutuhan dasar bagi umat manusia. Kebutuhan ini mendorong semua unsur masyarakat untuk memperjuangkannya dengan cara dan peran masing-masing. Maka menciptakan rasa aman adalah tugas semua unsur masyarakat. Tetapi bila terjadi ”perebutan peran” dan sering memakai kekerasan dengan akibat warga masyarakatlah yang menjadi korban di tengah perseteruan dan inilah cikal bakal terjadi atau terulangnya konflik.
Keadilan dan kebenaran (tujuan penegakan hukum) mau tidak mau harus kita kedepankan, dan ini merupakan ”nilai sentral” yang selalu menyentuh berbagai aspek dalam praktek kehidupan kita termasuk juga dalam proses kebijakan pembangunan.
Tujuan yang hendak dicapai adalah tujuan untuk mewujudkan penegakan hukum dan menghilangkan kekebalan hukum bagi kelompok tertentu. Langkah kebijakan inilah bertujuan untuk menyatakan secara transparan apa yang benar, dan apa yang salah—(efektifitas hukum dapat tercapai lewat konsep harmonis antar etnis)
Melihat sembilan prinsip Good Governance dalam kaitannya dengan pencapaian visi Harmonis antar Etnis, maka ada beberapa karakteristik yang harus dilakukan pendalamannya dari program lalu, antara lain :
Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasi. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
Rule of Law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Consensus Orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
Di sinilah diperlukan membangn masyarakat yang responsif, di mana suatu masyarakat atau komunitas yang lebih tanggap terhadap tuntutan warganya dan mau mendengarkan keluhan serta keinginan-keinginan warganya. Masyarakat yang responsif ini adalah masyarakat yang dalam mengungkapkan dan menegakkan nilai-nilai sosialnya, tujuan-tujuannya, kepentingan-kepentingannya tidak dilakukan dengan melalui cara paksaan akan tetapi cenderung dilakukan dengan melalui penyebarluasan informasi, pengetahuan dan komunikasi. Konsekuensinya dalam memecahkan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, budaya dan hankamnya terutama dilakukan dengan cara-cara persuasif dengan memberikan dorongan, bukannya unjuk kekuasaan atau bahkan melembagakan kekerasan.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, strategi kebijakan yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan hukum pada tingkat yang paling tinggi. Pembangunan Hukum harus ditujukan untuk tegaknya supremasi hukum, sehingga kepentingan ekonomi dan politik tidak dapat lagi memanipulasi hukum sebagaimana terjadi di masa lalu. Pembangunan Hukum sebagai sarana mewujudkan supremasi hukum, harus mendapat tempat yang strategis sebagai instrumen utama negara dan kehidupan pada umumnya. Hukum juga harus bersifat NETRAL dalam menyelesaikan POTENSI KONFLIK dalam masyarakat Indonesia (Kalbar) yang majemuk.
Maka untuk mewujudkan konsep perdamaian berkelanjutan sangat berkaitan dan bergantung pada jaminan adanya pemerintahan yang bersih dan layak (good governance), maka pelaksanaan pembangunan hukum harus memenuhi asas-asas kewajiban prosedural (fairness), keterbukaan sistem (transparency), pengungkapan kerja yang dicapai (disclosure), pertanggungjawaban publik (accountability) dan dapat dipenhi kewajiban untuk peka terhadap aspirasi masyarakat (responsibility). Untuk itu, dukungan dari penyelenggara negara merupakan faktor yang menentukan terlaksananya pembangunan hukum secara konsisten dan konsekuen.
Di sinilah diperlukan keterkaitan pembangunan perdamaian berkelanjutan dengan aspek yang terkait khususnya dengan pembangunan hukum, maka langkah-langkah perwujudan sistem hukum nasional dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat untuk menjadikan hukum menjalankan peranya, tidak saja sebagai sarana pembaharuan masyarakat (tool of social engineering ), tetapi juga sebagai alat perekat bangsa (termasuk perekat suku yang pernah bertikai dalam suatu konflik).
Dalam konteks inilah masih diperlukan untuk menyusun norma hukum sebagai rambu-rambu yang dapat dijadikan acuan sosialisasi ke depannya. Bila kita akan menjadikan suatu perubahan dalam masyarakat lewat peranan hukum di dalamnya, maka harus diingat bahwa hukum mengandung empat nilai dasar yang merupakan ”law frame” yang harus diperhatikan, yaitu :
Hukum itu berwatak melindungi (mengayomi) dan bukan sekedar berisi muatan norma imperatif (memerintah) begitu saja;
Hukum itu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Keadilan sosial di sini bukan semata-mata sebagai tujuan, akan tetapi sekaligus sebagai pegangan yang konkrit dalam membuat peratutan hukum;
Hukum itu adalah dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan; dan
Hukum adalah pernyataan kesusilaan dan moralitas yang tinggi baik dalam pelaksanaannya sebagaimana yang diajarkan agama dan adat rakyat kita.
Dari keempat nilai dasar pembentukan hukum inilah yang sangat erat kaitanya dengan penuntasan konflik yang harus punya kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait. Di sini peranan pemerintah atau pemerintah daerah sangat diharapkan dan punya pijakan dasar yang pasti (lewat aturan hukum) dalam mengatasi konflik dan membangun perdamaian berkelanjutan dengan koridor harmonis antar etnis.
Atas dasar hal tersebut di atas Refleksi ”Status Quo” Proses Rekonsiliasi Menjelang 10 Tahun Paska Konflik Sambas Tahun 1999; dilakukan.
B. Tujuan dan Hasil yang diharapkan
Brainstorming merefleksikan realitas tentang kondisi, permasalahan, dan tantangan proses rekonsiliasi yang dihadapi; menjelang 10 tahun paska konflik Sambas tahun 1999.
Mengkaji ajaran (norma) yang dianut oleh masyarakat lokal (kearifan agama, tradisi dan budaya ) yang secara substantif dapat menjadi dasar pembentukan hukum dan pengembangan kebijakan untuk mengatasi konflik dan membangun perdamaian berkelanjutan dalam konteks advokasi oleh jaringan
Tercapainya sebuah kesepakatan-kesepakatan dalam nenetapkan strategi advokasi kebijakan yang mendukung proses rekonsiliasi dan rekonstruksi paska konflik sosial Sambas tahun 1999
C. Pendekatan
Kegiatan kali ini dilakukan dalam bentuk Focus Group Discussion yang melibatkan Ahli dan Jaringan Program.
Secara umum, dalam konteks Program Advokasi Kebijakan pro-Keadilan Sosial Dalam Kerangka Penguatan Proses Rekonsiliasi, terdapat dua isu kebijakan yang strategis yaitu : “ Rekonstruksi dan Rekonsiliasi ” paska kerusuhan sosial Sambas tahun 1999. Dalam konteks rekonstruksi sosial, isu yang akan digali dan dibahas antara lain : realitas masyarakat yang masih menanggung beban yang cukup berat dalam mengelola berbagai akibat konflik (melawan trauma) dalam berbagai aspek kehidupan; terkait dengan keterbatasan sumber daya alam, sarana dan fasilitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan (pangan, pendidikan, kesehatan, dll). Sedangkan dalam konteks “rekonsiliasi”, isu yang akan digali dan dibahas adalah : realitas di masyarakat bahwa pada dimensi personal masih dirasakan ketakutan, prasangka yang berlebihan antar kelompok etnis (madura dan melayu Sambas); relasional, masih ditemuinya pembatas-pembatas dan sumbatan-sumbatan komunikasi antar warga yang pernah bertikai, struktural, belum mampunya pemerintah menjamin perlindungan hak-hak warga yang pernah bertikai; dan kultural, masih rendahnya apresiasi terhadap nilai-nilai multikultural (ragam budaya) pada masyarakat yang majemuk.
Secara khusus dalam forum ini membahas strategi untuk mendorong terjadinya proses kebijakan yang sensitif “perdamaian” dengan menjadikan ajaran (norma) yang dianut oleh masyarakat lokal (kearifan agama, tradisi dan budaya ) sebagai dasar pembentukan hukum dan pengembangan kebijakan.
D. Catatan Hasil Refleksi
Kegiatan Dialog Kebijakan yang dibiayai dengan dana yang bersumber dari anggaran Program YSDK – CORDAID ini itelah dilaksanakan oleh Team Program Peace Building YSDK bekerjasama dengan Jaringan Program. Kegiatan ini telah melibatkan sebanyak 21 orang (4 orang atau 19%-nya perempuan) yang terdiri dari masyarakat, institusi/pemimpin lokal, NGO yang tergabung dalam jaringan program Advokasi Kebijakan pro-Keadilan Sosial Dalam Kerangka Penguatan Proses Rekonsiliasi; media / pers; dan staff program.
Rekonsiliasi dan Proses Kebijakan (Sudut Pandang Hukum)
Keadilan dan Kebenaran sebagai tujuan penegakan hukum, mau tidak mau harus dikedepankan, dan itu merupakan nilai sentral yang menyentuh berbagai aspek dalam praktek kehidupan termasuk dalam proses kebijakan pembangunan.
Berbagai langkah strategis dapat dilakukan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran itu. Tujuan yang hendak dicapai adalah mewujudkan penegakan hukum dan menghilangkan kekebalan hukum bagi kelompok tertentu. Langkah kebijakan inilah bertujuan untuk menyatakan secara transparan apa yang benar dan yang salah. Dalam Konteks Kalimantan Barat, secara konseptual efektifitas hukum harusnya dapat tercapai melalui “Harmonis antar Etnis”.
Untuk memperjuangkan harmonis antar etnis melalui proses kebijakan pembangunan di Kalimantan Barat, bisa dilakukan dengan mengurangi volume konflik dan meningkatkan kesadaran masyarakat, agar tidak ada orang yang tersingkir (masyarakat / suku yang termarginalkan); dan untuk terciptanya rasa aman dari segi politik dan ekonomi, diperlukan “rekonsiliasi sosial”, suatu pemulihan kembali tatanan kemasyarakatan moral sedemikian rupa sehingga apa yang terjadi sebagai kejahatan masa lampai tidak akan terjadi di masa mendatang.
Di sinilah diperlukan antara lain : mencari kebenaran mengenai masa lampau (mencari kebenaran); mencari tahu keadilan mana perlu ditegakkan (mencari keadilan); dan mencari serta berjuang menciptakan suatu masa depan yang lebih adil (menciptakan harapan dan peluang hidup) melalui proses pembangunan yang sedang berlangsung.
Rekonsiliasi bukan sesuatu yang mudah dan cepat tercapai, melainkan sebuah proses yang penuh susah payah untuk meresapi apa yang terjadi di masa lampau dan menciptakan suatu dunia baru dimana penderitaan masa lampau tidak akan terjadi lagi. Jangan terjadi lagi seperti dulu, membuat wajah Kalbar mundur beberapa puluh tahun ke belakang (akibat terjadi pelanggaran hukum secara besar-besaran).
Tidak ada lagi jalan lain untuk membangun keharmonisan baik di dalam atau antar etnis yang masing-masing pernah terluka, selain membangun suatu sikap (pribadi maupun kolektif) yang jujur, ikhlas hati dan kesediaan untuk berupaya tanpa mengenal lelah. Dengan cara mengembangkan sikap mendengar, membatasi ledakan emosi, memberikan peluang secara setara kepada setiap pihak untuk mengungkapkan diri. Maka jalan menuju rekonsiliasi, merupakan jalan menuju suatu dunia yang lebih adil dan penuh damai. Unsur kesetaraan akan memberikan dasar yang kuat untuk mengatasi suatu konflik dan menuju pemulihan kembali hubungan antar warga yang pernah berkonflik.
Adalah suatu proses kebijakan pembangunan yang sedang dilakukan di Kalimantan Barat dengan kata pengikatnya “harmonis antar etnis”; yang tertuang melalui suatu kebijakan hukum dengan dikeluarkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalbar tahun 2006 – 2008 tanggal 31 Oktober 2005. Sebagai landasan konstitusional sebagai bentuk hukum dalam perkembangan sistem politik yang semakin terbuka memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat Kalimantan Barat untuk ikut terlibat dan berperan aktif dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan kepentingan bersama, seluruh komponen masyarakat Kalimantan Barat untuk diwujudkan dalam kehidupan sosial dalam membangun NKRI di daerah Kalimantan Barat. Hal ini lah nantinya melalui “payung hukum” yang ada konsepsi “harmonis antar etnis” semakin urgent untuk diperjuangkan agar menjadi sebuah “kesadaran kolektif” (identik dengan kesadaran hukum) di tengah masyarakat Kalimantan Barat yang heterogen pluralis.
Dalam kerangka pembentukan hukum dan pengembangan kebijakan dalam membangun perdamaian, beberapa aspek perlu dicermati :
Para korban diberi kesempatan untuk mengutarakan nasibnya secara terbuka, tanpa ancaman, diberikan kesempatan untuk memahami latarbelakang persoalan yang menimbulkan atas dirinya;
Para korban diajak berbicara proses penyembuhan “luka batin” secara pribadi;
Membuka secara luas sejarah pahit, dengan mengarah pada perbaikan tatanan sosial, sehingga yang terjadi di masa lampau tidak akan terulang lagi;
Hasil rekonsiliasi perlu dijadikan “milik umum”.
Payung Hukum dan Kebijakan Publik merupakan bagian rekonsiliasi yang masih tersendat-sendat dalam 10 tahun paska konflik di Kalimantan Barat. Peningkatan “Kesadaran Hukum” Masyarakat yang akan mencerminkan pada rasa patuh dan taat terhadap hukum masih menjadi kendala. Menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan “keadilan dan kebenaran”; di sini diperlukan :
Mengembangkan “budaya hukum” di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam rangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum;
Menegakkan hukum secara konsisten untuk menjamin kepastian hukum, kepastian, dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai hak asasi manusia;
Menata secara menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati “hukum agama dan hukum adat” melalui program legislasi;
Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
Dengan adanya payung hukum dalam rekonsiliasi, hal ini merupakan pembangunan hukum, harus mendapatkan tempat yang strategis sebagai instrumen utama dalam mengarahkan, menjaga dan mengawasi jalannya rekonsiliasi yang sudah dibangun selama ini dalam kehidupan dua suku yang pernah bertikai. Dan “hukum” harus juga bersifat “netral” dalam menyelesaikan “potensi konflik” dalam masyarakat Kalbar dan Indonesia yang majemuk.
Alangkah bijaknya umat islam bila masih ingat pada “batu-batu dasar” yang telah diletakkan oleh “Piagam Madinah” sebagai landasan kehidupan ke depan bahwa hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antar komunitas yang lain didasarkan atas prinsip-prinsip : Bertetangga baik; Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; Membela mereka yang teraniaya Saling menasehati; dan Menghormati kebebasan beragama. Dengan menghormati Piagam Madinah ini, berarti “kewajiban” mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, kewajiban melaksanakan agama masing-masing secara utuh dan menyeluruh, kewajiban membela kebenaran dan kewajiban bertanggungjawab atas resiko yang timbul dari pelanggaran dirinya sendiri.
Walau demikian yang masih perlu dipertanyakan sampai saat ini adalah faktor “penolakan” terhadap rekonsiliasi. Penolakan rakyat terhadap suatu perubahan dikarenakan beberapa alasan antara lain : Mereka tidak memahaminya; Bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada; Para anggota masyarakat yang berkepentingan dengan keadaan (vested interest) cukup kuat untuk menolak perubahan tersebut; Resiko yang terkandung dalam perubahan itu lebih besar daripada jaminan sosial ekonomi yang bisa diusahakan.
Keempat faktor di atas itu lah yang harus didalami untuk kepentingan ke depan. Sebab berlakunya payung hukum dalam masyarakat (lembaga) akan / telah sampai pada suatu perhitungan tentang faktor-faktor yang mendorong maupun menghambat (menjadi kendala perwujudan hukum sebagai perilaku).
Apabila hukum dinyatakan berlaku, berarti didorong oleh faktor motif dan gagasan yang berupa : kepentingan sendiri, tanggapan pengaruh sosial, kepekaan terhadap sangsi dan kepatuhan. Sedangkan hukum dinyatakan tidak berlaku, maka ada sejumlah faktor yang turut menghalanginya antara lain : bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma, dan resiko sosial.
Dialog Kebijakan (perspektif budaya)
Konflik tidak akan terjadi jika tidak ada biang keladi yang merekayasa, konflik tidak terjadi jika semua orang mengakui bahwa kita ini satu. Di Sambas tidak perlu terjadi konflik, karena sejak ratusan yang lalu telah terjadi perkawinan lintas suku. Kita harus mengakui bahwa identitas kita tidak ada yang murni seratus persen; di dalam diri kita pasti ada darah-darah lain yang masuk. Kejujuran untuk mengakui hal itu tidak terjadi; sebaliknya kita secara egoistis selalu membanggakan ke-akuan kita. Jika pikiran seperti itu dikembangkan akan terjadi seperti yang dilakukan Hitler; bahwa rasnya yang paling utama, sementara ras yang lain tidak penting. Menangani kasus Sambas, jangan hanya di permukaan tetapi harus sampai pada dimensi itu.
Berbicara perubahan, jangan terlalu percaya dengan pendekatan-pendekatan kepada elit yang terkait dengan berbagai kepentingan dan konstelasi politik. Lebih baik pendekatan dengan anak-anak, karena dengan pendekatan terhadap anak, bisa menyentuh pada persoalan tentang rancangan masa depan yang kita idam-idamkan. Untuk melakukan perubahan pada level kebijakan, sebaiknya tidak fokus kepada legislasinya, tetapi pada manusianya (dengan peningkatan kapasitas : pengetahuan dan ketrampilan) yang membuat legislasi.
Sambas tidak relevan lagi disebut sebagai “serambi Mekah”, nilai nilai luhur pernah dianut masyarakat, tetapi hal itu terjadi pada ratusan tahun yang lalu. Sekarang sudah menjadi wilayah yang multikultural, kosmopolitan dan ada berbagai interaksi multidimensi dan multikompleks. Tetapi masih ada harapan, seandainya semangat itu di pertahankan bisa melalui norma-norma keagamaan , norma-norma “keIslaman”. Tantangannya adalah saat ini para da’i cenderung lebih doktriner.
Ada berbagai area yang perlu kita dekati untuk tujuan perdamaian dan transformasi konflik, bisa agama, politik, dan bidang pendidikan. Strateginya bisa dengan menggunakan prinsip makan bubur panas (mulai dengan bagian pinggiran yang sudah dingin). Atau dengan pendekatan pada berbagai dimensi perubahan, mulai dari ranah personal yang akan berdampak (multiplier-effect) pada relasional, struktural dan kultural. Ada beberapa langkah yang paling mungkin dilakukan yang bisa berdampak multiplier-effect (dampak yang besar pada berbagai sisi kehidupan) yaitu melalui pendidikan.
Jika penanganan kasus Sambas masih “status quo” , hal itu tidak lepas dari faktor penghambat, yaitu : “kepentingan”
Terkait dengan cita-cita membangun norma Hukum, dalam konteks kasus Sambas; kesadaran personal adalah hal yang utama, namun tidak bisa lepas dari konsesnsus kelompok. Bagaimana hal itu tercipta jika lingkungan tidak mendukung. Apakah perlu ada intervensi dari luar, dikala lingkungan tidak mampu menanamkan doktrin untuk kesadaran personal ?
Terkait nilai dan symbol yang berkembang dan dianut oleh Masyarakat Sambas seperti “serambi Mekah”, dalam konteks masyarakat dinamis tentulah tidak permanen. Bisa saja dari serambi Mekah menjadi Madinah; sebagai sebuah symbol dan representasi kehidupan Masyarakat jika itu positif perlu diapresiasi; tetapi jika itu negatif perlu terus diingatkan.
Karena hubungan relasional yang intensif, nilai-nilai yang hancur itu mungkin sulit untuk dibentuk atau dibangun lagi. Yang ada adalah sesuatu yang baru; pertanyaannya adakah nilai-nilai terbaru yang dapat diacu sebagai norma hukum yang humanis yang menghargai perbedaan.
Pada masyarakat yang paling bawah, kepentingan untuk rekonsiliasi masih belum diterima karena stigma negatif terhadap orang madura yang masih begitu kuat. Masih perlu waktu yang lama untuk memaklumi bahwa orang madura sebenarnya bukan orang jahat, untuk memaklumi bahwa orang madura adalah sahabat mereka, orang-orang baik yang diciptakan Tuhan. Masih sulit untuk menerima perbedaan suku, meskipun dalam tataran agama sama-sama Islam. Stigma ini harus dihapuskan. Perlu dibangun jaringan di Sambas untuk menghilangkan stigma negatif terhadap orang madura.
Elit politik di Kalimantan Barat 60% dikuasai oleh orang Sambas, meskipun pendidikan tinggi tetapi pola pikir kedaerahan masih cukup kuat. Kalaupun mereka berbicara di media untuk isu rekonsiliasi, hal itu hanyalah kamuflase dan bersifat politis saja.
Kita sebenarnya punya aset, yaitu elit-elit yang ada di universitas yang orang Sambasi itu, yang belum dimanfaatkan. Sedikit banyak tentu mereka tahu dan punya sense of belonging terhadap persoalan Sambas. Mereka bisa menjadi “agent” (perantara) untuk meyakinkan komunitas di Sambas untuk menghilangkan stigma. Kalau dibiarkan stigma pada diri komunitas Sambas bisa turun temurun pada generasi muda (anak-anak), sehingga konflik akan berkelanjutan.
Diperlukan kejujuran semua pihak, akuilah bahwa konflik ini sudah sepuluh tahun; diperlukan intervensi.
Perubahan akan sangat besar terjadi pada masyarakat Sambas ketika nanti Pertamina menyalurkan gas dari Natuna ke Paloh, ketika plan di Paloh nanti beroperasi akan ada dampak positif dan negatifnya. Akan ada banyak orang luar datang, secara positif akan menjadi agen untuk menetralkan atau mencairkan kebekuan yang ada; tetapi mungkin juga sebaliknya akan terjadi konflik karena dampak dari perubahan yang besar.
Tentang nilai-nilai apa yang masih bisa dianut; itu kembalikan saja kepada masyarakat. Tahun 60-an di Sambas, ternyata masyarakatnya hidup “peacefull”; masyarakat Sambas sebenarnya “permisif” sangat terbuka, siapa saja diterima. Tetapi kondisi semacam itu bisa terjadi karena tergantung pendekatan; maka diperlukan adanya agensi perubahan sosial.
Makin banyak Lembaga yang melakukan advokasi terhadap isu ini akan lebih baik, tetapi harus dilakukan pemetaan dulu tentang mana-mana daerah yang menolak terlalu kuat yang memerlukan pendekatan. Sosok yang berasal dari dunia pendidikan mungkin akan lebih fleksibel melakukan pendekatan, dan menjadikan para guru menjadi agen perubahan. Pendidikan itu seperti “menanam pohon kelapa” , yang tidak bisa 3 bulan di panen, memerlukan waktu 7 tahun. Prinsipnya, perubahan perlu dimulai dari “sekarang”, dari hal yang “kecil”, dan kembalikan kepada “nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat” Sambas.
Sebenarnya mereka tahu bahwa tidak perlu saling bermusuhan; di suatu kampung di Sambas ada ungkapan bahwa setelah ditinggal orang madura hasil pertaniannya menurun. Ada pengakuan bahwa keberadaan orang madura sebenarnya juga memberikan sumbangan secara ekonomis dalam kehidupan masyakat Sambas. Diungkapkan juga bahwa dulu ketika mau berkurban (Idul Adha) jika dibutuhkan, sapi potong itu cukup banyak, tapi sekarang ini susah dan harus mendatangkan dari luar.
Ada kesadaran, dan ada pengakuan “saling membutuhkan”, tetapi ada pembatas yang cukup kuat yaitu siapa yang berada di atas, siapa yang memegang bendera (yang berkuasa). Untuk itulah perlu intervensi, hanya saja bagaimana (strategi) intervensi itu dilakukan, yang masih memerlukan kajian terus menerus; bisa jadi melalui informal leader dari kalangan berbagai agama, atau mengoptimalkan peran intelektual yang ada di Pontianak, atau mendorong orang-orang yang terpandang yang mempunyai kekuatan untuk melakukan perubahan.
Perubahan harus terjadi, jangan sampai nanti dikejutkan dengan perubahan ekonomi dan sosial akibat pembangunan, industrialisasi, dll. Harus berani mengakui bahwa orang madura itu telah berkontribusi terhadap perubahan yang besar, dan hasilnya digunakan oleh banyak orang; dan jangan menilai dari sisi kriminalnya saja, karena kriminal itu dimana-mana ada. Hal ini yang perlu digunakan sebagai “isu” untuk meyakinkan para pihak untuk sebuah perubahan.
Persoalannya memang kembali kepada strategi intervensi; tentang bagaimana dan dimana dilakukan. Misalnya pendikatan tidak lagi dilakukan di Pemangkat, karena Pemangkat atau Sekura merupakan area yang sudah terbuka. Sejak Sambas masih disebut Serambi Mekah, Sekura sudah cukup maju dalam pergaulannya. Apakah kita bisa memasukkan virus-virus perubahan itu pada calon-calon legislatif, sebab umur lembaga legislatif sekarang ini tinggal 10 bulan. Mereka yang akan duduk kita pesankan untuk melakukan sesuatu walau sekecil apapun untuk melakukan perubahan. Pendekatan yang dilakukan perlu multi-aspek, melalui berbagai cara dengan informal leaders, politik, pendidikan, dan agama, yang bisa betul-betul memberikan pemahaman yang berarti.
Sesungguhnya saat ini terjadi saling ketakutan antara orang Sambas dan orang Madura. Mungkin situasi dipandang masih suasana perang. Kerja-kerja peacebuilding ini bisa jadi dipandang secara sempit sebagai pembelaan terhadap orang madura, tetapi yang terpenting adalah bagaimana meletakkan persoalanya secara kontekstual. Contoh yang sangat sederhana : Di Sambas ketika ada orang madura banyak pencurian, tetapi apakah sekarang ketika orang madura sudah tidak ada, masih ada pencurian ?
Konflik itu hanya sekedar dampak saja, yang terpenting adalah mencari titik kesamaan dimana semua orang bisa terbuka, hal ini yang belum ketemu sehingga pada tataran penyelesaian salah, baik pada kelompok Madura, Dayak, atau Melayu. Pendekatan yang dilakukan sekarang ini masih mengecil pada kelompoknya masing-masing, dan cenderung formalistik, politis. Dampaknya adalah pengelompokan yang lebih kecil, dan pendekatan yang formalistik cenderung memperkuat bukan persatuan “antar”-nya, tetapi justeru “dalam” kelompoknya. Banyak organisasi di Kalimantan Barat ini yang lebih mengesankan representasi kelompok-kelompok kesukuan. Kalau caranya seperti ini, yang akan jadi korban adalah : orang Madura, Cina, dan terakhir bisa Jawa. Atau yang terakhir nanti yang terjadi adalah perang antara kelompok Dayak dan Melayu. Hal itu bisa terjadi jika pendekatannya Formalis berbasis Kelompok Suku. Hal ini harus segera diperbaiki dari segi metodhologi dalam bekerja untuk isu-isu peace building atau keadilan sosial.
Perlu belajar dari pengalaman transformatif pada organisasi petani seperti yang dilakukan NGO di Sanggau, Sekadau yang selama ini terdoktrin dengan pikiran antropologis sukuisme didekati dengan pendekatan ekonomi politik terbukti sangat efektif untuk membangun sebuah perubahan. Orang Jawa dan orang dayak yang berada dalam satu organisasi bisa mempertahankan tanah yang sama.
Pengetahuan, cara pikir, pendekatan analisis dalam menyelesaikan masalah yang lebih mengemuka adalah pendekatan antropologis dibanding dengan pendekatan ekonomi-politis. Sehingga dampaknya sangat kelihatan, jika muncul konflik cenderung kesukuan, keturunan, dll. (bukan ekonomi). Hal ini untuk membantu melihat akar persoalan konflik yang terjadi, atau dalam mengembangkan teori secara komperehensif.
Sambas, tahun 2000 – Sekarang, hampir 70%-nya menjadi lahan konsesi perkebunan/kehutanan. Apakah ada yang pernah membaca bahwa konflik itu karena masuknya investasi besar di kalimantan Barat. Sementara Paloh itu menjadi seperti Batamnya (pusat ekonomi) Kaimantan Barat. Kalau pendekatannya masih seperti itu, jelompok jawa akan menjadi sasarannya.
Meskipun pendekatan antropologis juga berpotensi memunculkan pemikiran yang terkotak-kotak, bukan berarti pendekatan antropologi itu tidak penting, dalam konteks kasus Kalteng ternyata juga terbukti bermanfaat membawa perubahan. Persoalannya di Kalimantan Barat untuk kasus Sambas, sebenarnya telah terjadi horizontalisasi persoalan, dalam konteks Sambas kita selalu dihadapkan dengan pemahaman bahwa Konflik Sambas ini adalah persoalan antara Melayu dan Madura, pihak-pihak yang kita sebut dengan elit politik dan elit akademis selalu punya kedok dengan mengatakan bahwa masyarakat belum bisa menerima. Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa hubungan-hubungan personal itu sudah terbangun, meskipun sebagian masih diliputi rasa ketakutan.
Elit masyarakat memang tidak peduli dan tidak mempunyai kejujuran samasekali. Bagi elit politik bicara “rekonsiliasi” di Sambas itu sangat beresiko dalam hubungan politiknya, berbeda dengan di Sampit. Sangat disesalkan bahwa bukan hanya tidak peduli, tetapi para elit justeru sering terjebak dengan “tintanya yang berdarah itu” ; statemen, penelitian, pemikiran akademis yang cenderung hanya membuat semakin jauh kesesatan dan melanggengkan konflik.
Ketika kita baca di media, sekalipun pesimis, tetapi masih ada setitik harapan, misalnya adanya Forum Cendekiawan Sambas, meskipun hanya sekedar statemen, tetapi itupun tidak pernah muncul. Demikian juga pada kalangan aktivis; pada sebuah forum konsultasi regional untuk perdamaian di Kalimantan, tipikal personal aktivis NGO sangat berbeda dengan di Kalteng; ketika kasus Sambas diangkat untuk menjadi agenda prioritas untuk Kalbar mereka menyatakan keberatanya, karena dianggap kasus Sambas sudah selesai, jadi kalau bicara perdamaian : perdamaian seperti apa lagi yang diminta ? ; masih muncul pernyataan dan pertanyaan seperti itu.
Sebagai ilustrasi lagi, dalam forum konsultasi regional tersebut hadir Pemerintah dari Sampit dan Sambas yang berbeda sekali performance-nya. Di forum itu, pemerintah Sampit dalam ungkapan-ungkapanya meskipun terkesan keras terhadap orang Madura tetapi mencerminkan pengalaman tetang upaya yang serius untuk rekonsiliasi. Sementara Pemerintah Sambas, ungkapanya sentimentil (prihatin, sedih, dll); demikian juga terjadi pada NGO-nya yang sok pluralis tetapi tidak ada yang berbuat !
Sepuluh tahun merupakan rentang waktu yang cukup lama, membuat para pekerja perdamaian tidak sabar juga untuk melakukan perlawanan dan melakukan intervensi. Bahwa Sambas itu bagian dari Indonesia yang punya pemerintahan dengan hirarki struktural yang cukup jelas ke pemerintah pusat. Berkembang pemikiran tentang kasus Sambas yang telah dianggap selesai karena : “orang madura sudah tidak ada lagi di Sambas, orang Sambas merasa aman dan orang Madura tidak dibunuh lagi karena memang tidak di Sambas”; inilah yang melatarbelakangi munculnya pertanyaan seorang aktivis NGO di Kalbar : penyelesaian macam apa lagi yang di mau ?
Ironis memang, tapi harapanya sebenarnya bukan seperti itu; tetapi bahwa bagaimana agar orang madura ke Sambas tidak dianggap lagi seperti sebagai Tahanan Politik, Nara Pidana, atau mantan Preman yang akan kembali ke daerahnya.
Ini adalah pesoalan dikotomi yang tidak adil antara mayoritas dan minoritas; kelompok yang mayoritas (dominan) lebih cenderung mempertahankan status quo. Bagaimana kelompok minoritas ini bisa melakukan perlawanan untuk mendapatkan keadilan? Menunggu kelompok mayoritas untuk mengakui kelompok minoritas sebagai bagian yang berbeda adalah hal yang mustahil. Harus ada intervensi dari luar seperti misalnya pemerintah pusat; jika dibiarkan mengharapkan Pemerintah Daerah yang otaknya sudah rasis akan sulit.
Apakah diseminasi atau penetrasi ide, dan mendorong proses politik / kebijakan masih cukup relevan sebagai bentuk intervensi untuk rekonsiliasi Sambas ?
Di Kalimantan Barat, sesungguhnya orang Sambas itu pihak yang secara politik “kalah”, kekuatan politiknya hanya di Sambas. Kemudian mereka mengamankan posisi politik yang mutlak, bagi elitnya benteng keamanan politiknya hanya di Sambas.
Ini adalah eksperimen dan pertarungan politik elit politik Sambas untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada tingkatan ini kita harus lebih cermat melihat; kalau berbicara siapa yang berkonflik dan siapa yang memelihara konflik, yaitu : “Elit Politik”. Pada tataran strategis, dalam hal ini konteksnya tidak lagi bagaimana mengintervensi pemerintahan yang ada, tetapi bagaimana “menciptakan kekuatan politik di Sambas yang pluralis”. Harus dari pemain yang baru, bukan pemain yang lama yang mempertahankan kekuasaannya, yang notabene tidak bisa dilepaskan dari kekuatan feodal Sambas jaman dulu yang sekarang bermetamorfosis dalam sistem politik yang ada. Ternyata Feodalisme di Sambas lebih kuat dibanding Jawa; ilustrasinya pada tingkat akar rumput untuk bagaimana petani melawan pak RT-nya saja itu beratnya minta ampun di Sambas, baru bisa diyakinkan dengan harus mengatakan bahwa pak RT itu musuhnya, karena yang menyebabkan tanah petani lepas dirampas oleh sebuah PT. Untuk melakukan perubahan menggunakan pepatah yang dianut, misalnya : pemimpin lalim kita lawan, pemimpin adil kita junjung.
Perlu dilakukan pemetaan yang cermat pada semua kelompok di Sambas. Secara kontekstual dalam konflik antara kelompok Madura dan Melayu, cara memahaminya yang berkonflik di pihak Madura adalah “madura yang penjahat”, sedangkan di pihak Melayu “Elit Politik yang ingin berkuasa secara penuh”. Kekuatan politik di Sambas didominasi penuh oleh kelompok Melayu Sambas, hal ini sangat berpotensi menyuburkan pemikiran yang cenderung di-“generalisasi” dan memperkuat stigma. Di Kalimantan Tengah meskipun pendekatanya antropologis, tapi tidak terjadi generalisasi dalam penyelesaiannya, misalnya dengan memilah kelompok Madura yang “black-list” yang tidak boleh masuk kembali, sehingga tidak terjadi penolakan kepada “semua Madura”. Tinjauan ini yang tidak meng-generalisasi ini lah yang sebenarnya boleh diintroduksikan sebagai pendekatan untuk kasus Sambas.
Tinjauan secara formil dan ekstrim agar konflik ini selesai dalam waktu yang singkat, dan orang Madura bisa kembali tinggal di Sambas, hanya satu cara : Pemerintah dengan tentaranya bawa orang Madura ke Sambas dengan senjata yang lengkap. Tetapi jika kita mengandalkan pendekatan “kesadaran”, akan memakan waktu cukup lama bisa seratus tahun, asumsinya kalau tidak ada perubahan ekonomi yang mendasar, atau bencana alam seperti di Aceh, yang memungkinkan adanya mobilisasi dan interaksi secara lebih dinamis. Kalau mau jangka pendek, memang harus ada peran Pemerintah yang cukup jelas dan tegas dengan segala kekuatan dan kewenangannya.
Tetapi kalau dilihat dari kacamata perubahan politik, agenda untuk mengganti warisan feodal di Sambas (yang menjadi penguasa sesungguhnya sekarang) itu penting dan harus dilakukan. Soal di tingkat akar rumput ada pandangan masyarakat Sambas bahwa dulu orang Madura pernah mencuri, itu akan mudah terklarifikasi dengan sendirinya selama sepuluh tahun tanpa orang Madura.
Dalam tataran strategis, intervensi diperlukan bahkan pada tingkat untuk memaksa, dan harus ada kelompok penekan untuk melakukan perlawanan terhadap feodalisme dan ketidak adilan di Sambas, agar jika muncul sebuah pranata, norma, kebijakan, program, atau apapun pada birokrasi dan pemerintah yang berkuasa di Sambas akan bermuara pada tujuan perdamaian.
Hanya persoalannya yang belum ketemu adalah bagaimana strategi untuk mendorong atau memaksa agar para penguasa itu berbuat untuk melakukan perubahan di Sambas.
Legislasi itu tidak banyak menolong, selama pelaksana pembuat legislasi itu tidak bijak. Perubahan politik atau birokrasi yang ada di Sambas memang harus dilakukan, tetapi masalahnya dalam era otonomi sekarang ini sulit dilakukan. Memang harus ada perubahan atau kejutan, tetapi harus muncul dari perubahan ekonomi. Sambas bisa dipaksa berubah tetapi dari sisi ekonominya. Sepertihalnya Aceh, yang dipaksa berubah sangat besar kerena tsunami.
Karena kita tidak punya power, yang bisa kita lakukan adalah “mendorong” agar terjadi perubahan di Sambas, mulai dari siapa yang memegang bendera kekuasaan di Sambas. Atau dengan intervensi yang bukan politik atau legislasi, tapi ekonomi; kita lihat saja nanti kalau Paloh dan Teluk Keramat menjadi pusat industri, sementara Subah menjadi area penghubung ke Perbatasan, dan setelah jalan perbatasan dibangun, apa yang terjadi ? Diharapkan dengan pola itu masyarakat akan berubah.
Sekarang ini sudah ada perubahan kecil di tingkat bawah, tetapi yang masih belum bisa diputuskan adalah rantai kekuasaan karena pembatas otonomi daerah, yang tidak mungkin memasukkan calon dari luar ke Sambas. Dominasi orang Sambas akan berakhir kalau dipaksa dengan perubahan yang besar. Kekuatan ekonomi yang akan menghancurkan elit-elit politik di Sambas.
Yang paling konkrit kita mulai dari yang kecil, di bidang pendidikan yang menjangkau rentang waktu lintas generasi. Bahwa anak-anak bisa mengetahui dan sadar akan arti konflik dan perdamaian itu melalui pendidikan. Tidak banyak memang yang bisa dilakukan, jika kita bisa melakukan 0,1% dalam sepuluh tahun bisa menjadi 1%. Dan itu merupakan investasi yang sangat berharga untuk puluhan tahun mendatang. Bisa juga dilakukan oleh orang-orang Sambas yang peduli.
Jika kita berpedoman pada kebijakan publik, persoalannya menjadi sederhana sekali. Persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan melalui kebijakan publik. Kita punya kebijakan apa saja yang baik-baik, tidak akan jalan. Bagaimana Sampit menjadi kota mati, karena melalui proses kesadaranlah di sana mulai ada perubahan. Jangan bertumpu pada kraton Sambas, karena kraton Sambas tidak ada pengaruhnya apa-apanya lagi di masyarakat.
Mari kita berbuat, sekecil apapun, tapi kita harus menetapkan strategi yang tepat karena kita berhadapan dengan tembok; meruntuhkan tembok tembok tidak gampang dalam satu atau dua hari, tapi perlu waktu dan teknik yang efektif.
Bangkitkan kekuatan untuk intervensi, empat tahun ke depan Sambas akan berubah dari sisi sosial ekonomi, mudah-mudahan rencana pembangunan dari pertamina itu jadi yang akan membuat orang Sambas yang mempunyai sifat permisif menjadi terbuka secara laik untuk hidup bersama dengan orang orang yang lain yang berbeda.
Kuatnya dominansi para elit itu telah menghancurkan kekuatan tradisional di tingkat masyarakat. Demikian juga dengan kelompok-kelompok kapitalis (yang menguasai permodalan) juga akan meracuni masyarakat. Perubahan yang dimaksud di sini bukan perubahan yang membuat masyarakat menjadi “tidak jelas identitas budaya-nya sehingga tidak punya patokan nilai” , hal inilah yang kita khawatirkan. Harapan untuk menyatukan kembali masyarakat Madura dan Sambas yang sudah porakporanda nilai-nilainyanya juga akan sirna; pertanyaannya dengan perekat apalagi jika kondisinya demikian.
Nilai-nilai itu penting, tapi yang lebih penting adalah memberdayakan siapa yang bisa menjaga nilai-nilai itu, misalnya melalui pendidikan; atau memberdayakan informal leaders yang ada di Sambas. Memberdayakan yang dimaksud bukan institusinya, tetapi pewarisan nilai-nilai itu. Belajar dari Bali, betapapun masyarakatnya di terjang oleh berbagai gelombang perubahan (melalui tourism dll), tetapi nilai-nilai yang dianut di masyarakat tetap dipertahankan; lihat saja ketika hari raya Nyepi, semua pihak berhenti dari hiruk pikuk dan menghargai nilai yang dianut oleh masyarakat Bali. Jadi point pentingnya adalah menanamkan dan melestarikan nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat.
Semua yang disampaikan dalam forum semoga bisa menjadi bahan perenungan baik secara pribadi dan kelembagaan maupun dalam konteks berjaringan.
Point pentingnya adalah :
Diprediksi dalam Empat tahun ke depan Sambas akan berubah, dengan asumsi ada beberapa faktor yang mendorong ke arah sana, salah satunya yaitu ekonomi. Meskipun di awal kita menduga bahwa kebijakan itu bisa merubah keadaan, tetapi kebijakan bukan satu-satunya faktor penentu, masih banyak faktor yang lain karena persoalan Sambas merupakan persoalan yang multikompleks dan multidimensi.
Jika kita bicara “nilai” yang terpenting adalah siapa yang sesungguhnya bisa menjaga nilai, salah satu strateginya melalui proses pendidikan, sehingga kerja-kerja seperti ini tidak mudah : “setelah dari pertemuan ini sertamerta tembok Sambas lalu runtuh..!!??” Perlu kerja yang berkesinambungan baik dalam jangka pendek dan jangka panjang, bahkan untuk rentang waktu lintas generasi ***
Langganan:
Postingan (Atom)