Rabu, 31 Maret 2010

CINTA TANAH KELAHIRAN – CINTA TANAH TEMPAT TINGGAL BAGI SANG PENGEMBARA


Cinta saya terhadap tanah kelahiran, bisa diibaratkan seperti cinta saya dengan ruh saya sendiri. Di sana terdapat orang-orang yang selalu mengitari derap langkah hidupku dengan sekumpulan do’a-do’a dan cinta. Tidak sekali-kali saya mencoba untuk memberanikan diri melakukan satu tindakan yang bisa membuat hatinya luka, apalagi sampai memercikkan noda dosa di antara pusaran samudera cinta mereka. Tanah kelahiran adalah tanah yang menyimpan “ari-ariku”. Separuh ruh yang dihembuskan oleh Tuhan masih bersemayam di sana – dan sampai saat ini tetap setia menunggu, menyambut kedatanganku di kelak kemudian hari untuk bersatu kembali menuju Tuhan Sang Pencipta kami. Demikian juga dengan engkau.

Engkau-pun senantiasa menjaga cinta itu. Sedapat mungkin engkau akan melakukan apapun demi menjaga kelestarian cinta tersebut, jika ada orang yang berani membuat kocar-kacir susunan cinta di tanah kelahiranmu. Adalah wajar jika amarahmu muntab menerjang senjata apapun yang menjadi penyebab terlukanya cinta. Karena masing-masing di antara kita bersemayam “ari-ari kehidupan” hasil maha karya Sang Khaliq. Susunan cinta yang terangkai, sebagai karcis persyaratan bagi kita untuk ikut memainkan pertunjukan film kehidupan ini. Jika kita tidak mau berperan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan keberadaan kita di atas pentas.

Tanah kelahiran adalah hidup dan mati kita.

Sedangkan cinta terhadap tanah tempat tinggal, ibarat cinta saya dengan anak-istri/suami. Mereka juga hidupku. Bermakna atau tidak perjalanan kehidupanku tentunya tidak terlepas dengan bermakna atau tidaknya kehidupan mereka. Hanya manusia sinting yang menganggap anak-istri/suami sebagai beban. Mereka adalah sumber energi Ilahi yang membuat saya betah untuk berlama-lama menjalani hidup. Sebab senyum mereka adalah senyumanku, dan tangis mereka-pun juga tangisku. Dan engkau-pun setuju itu.

Rasa-rasanya tidak ada seseorang yang enggan untuk berlama-lama hidup di dunia ini.

Tanah yang sekarang saya tempati tidak mungkin kubiarkan orang asing merebutnya. Sampai kapanpun aku akan membela kelestarian sekaligus kelembutan debu tanah yang membuat setangkai padiku tumbuh di hamparan sawah kehidupan. Satu-satu benih kutanam – dan satu-satu pula kalian menanam untuk kekekalan senyum anak dan istri kalian semua. Jika ada yang berani mencemari tanah tempat tinggalku, itu sama artinya mencemari anak-istri/suamiku.

Lantas bagaimana jika ada pergesekan dengan tetangga kita?

Kita tidak pernah sendiri dalam segalanya, keberadaan kita senantiasa tak-kan keluar dari lingkaran berjuta-juta kehidupan orang lain. Pergesekan atau perseteruan memang manusiawi, sebab kita diciptakan Tuhan bukan sebagai mahluk yang penuh dengan kearifan sekaligus kesempurnaan segalanya. Mungkin kita kurang bisa mengambil hikmah, seandainya tidak ada amarah yang pernah tumpah. Namun akan lebih bijak seandainya mulai sekarang masing-masing di antara kita mau belajar me-maknai amarah yang pernah tumpah, supaya ari-ari kita, anak-anak kita, istri/suami kita tetap berada dalam garis lingkaran cinta yang dianugerahkan Tuhan.

Tapi yang jelas, bagaimana kita bisa menjaga hubungan simbosis mutualis dua tanah kehidupan ini???

Sabtu, 13 Februari 2010

MENGUMPAT - ALIAS NGE-REPEK ALIS NGE-DUMEL


Saya kurang tau persis hal apa yang membuat pola hidup masyarakat di sekitarku ini sedemikian dahsyat. Pola hidup tak mau ambil pusing, sombong dengan kekayaan, pangkat dan jabatan serta tak mau ketinggalan mentalitas sebagian atau kebanyakan orang dalam berbusana sekaligus berpacaran. Kedahsyatannya mampu menjebolkan kekokohan etika dan norma religiusitas yang selama berlaksa-laksa tahun dipegang sebagai pedoman hidup dan cita-cita surgawi. Akal dan fikiranku menjadi kocar-kacir jika menyaksikan tingkah polah anak-anak muda yang mengitariku setiap detik. Telingaku menjadi tuli jika mendengar betapa lantangnya suara mikropon masjid mengajak manusia supaya meniti jembatan yang sudah ditentukan Ilahi – mana baik dan salah. Namun itu semua sia-sia dan tidak dianggap.

Pernah aku merasa frustasi dan memohon kepada-Nya, “Engkau gulung saja kehidupan ini, jika segala sesuatunya tidak bertanggungjawab. Mengapa Engkau biarkan manusia seperti itu yang justru ditimang-timang dalam kenikmatan-Mu, sementara orang-orang saleh dan apa adanya menjalani hidup tidak pernah Engkau gubris keberadaannya”. Berkali-kali aku protes, dan berkali pula protesku, SALAH!.

Jika demikian, ingin rasanya aku membuat film “ADA APA DENGAN ENGKAU”

Dunia jungkir balik. Engkau bisa dibilang “kampungan” jika hari gini masih perawan. Atau engkau akan dikatakan “bandot” jika hari gini belum pernah “ngentot”.

Ada seorang ibu atau bapak, tau persis jika anaknya tersesat dalam dunia prostitusi, sebagai wanita simpanan, atau wanita jadi-jadian, namun dengan enteng mereka pura-pura tidak tau – bahkan hidupnya menjadi sombong. Setoran rutin dari anaknya per-bulan sekian juta, digembar-gemborkan sebagai uang halal hasil kucuran keringat anak-ku sebagai pelayan di salah satu warung kopi, karyawan toko, atau penjaga wartel pinggiran kota.

Atau mental perempuan genit, dengan gemulai menebarkan pesonanya kepada tiap lelaki, lantaran sudah sekian bulan ditinggal suaminya kerja di Malaysia, dengan manis ia minta digarukkan jempol kakinya yang mulai gatal. Dan tidak ketinggalan pula, trend busana yang mulai menggila – semakin sopan engkau berbusana, semakin jauh engkau tertinggal. Namun sebaliknya, semakin telanjang – semakin dekat engkau dengan surga dalam hidupmu.

Atau mental lelaki hidung lebar yang tidak tahan menahan “konak”, jika merasa hidupnya lumayan enak dari segi ekonomi – dengan santai ia merayu sang-istri untuk kawin lagi. Lalu, di suatu malam – istri pertama harus rela mati-matian menahan cemburu sekaligus amarah, lantaran sang-suami numpang tidur di antara dua paha istri ke-dua. Mereka mendesah dalam pergulatan nafsu yang tak mampu dihentikan, kecuali orgasme mereka.

Sesekali, pernah juga terdengar beberapa Pegawai Negeri mulai melupakan sumpah yang ia ucapkan di depan kitab sucinya. Kitab suci tak lebih hanya tumpukan ber-ratus mungkin ber-ribu kertas yang lalu dijilid sebagai buku suci. Kesakralan dan ke-Ilahian-nya tak berpengaruh apa-apa. Karena gaji yang dirasa kurang mencukupi kebutuhan hidup biar dibilang “ngetrend”, ia tersesat dalam lingkaran dunia hitam.

Atau seorang kakek renta, dengan sisa nafas yang tinggal sepenggal, menyempatkan kemaluannya bergerilya mencari lubang, untuk yang terakhir kali mencoba betapa nikmat dan hangatnya kemaluan anak gadis berusia 7 atau 8 tahun-nan.

Jujur, aku cemburu dengan itu semua.

Jika sudah begitu, aku ingin menjelma sebagai pahlawan bertopeng yang mampu menegakkan kebenaran di atas dengkulmu. Ingin kumaki-maki semua orang yang melenceng hidupnya untuk kutata sedemikian rupa, agar tidak lagi zig-zag susunannya, ingin kuangkat tinggi-tinggi syari'at bahkan jika mampu kumasukkan ke dalam urat syaraf mereka agar tidak eror.

Tapi Tuhan berbicara lain, "Jika Aku mau, niscaya Kuseragamkan manusia ini - tetapi tidak, bukan itu maksud-Ku menciptakan manusia di dunia ini. Biarkan mereka tidak seragam, justru dengan ketidak-seragaman itu-lah, manusia berada di level tertinggi di antara makhluk-makhluk lainnya termasuk Malaikat-pun, seandainya mereka mampu menjaga dan memelihara keimanannya kepada-Ku".

Kalau ingat itu, biasanya aku langsung istigfar.

Aku bukan siapa-siapa, hanya mampu berdo'a sekaligus mendo'akan "Ya Alloh Ya Tuhanku, sumpah...hamba mohon jaga dan peliharalah imanku kepada-Mu". Tidak lupa, aku juga akan mendo'akanmu, mudah-mudahan suatu saat Alloh menggugah nurani keimananmu semua, engkau orang-orang yang ada di sekelilingku dan kebetulan sekarang ini masih zig-zag. Amin...