Rabu, 27 Agustus 2008

“MANUSIA DI TITIK NOL” PAGELARAN ZIKIR ILAHI ROBBI


Lantunan zikir dan sholawat terdengar syahdu. Acara bertemakan “Manusia di Titik Nol” itu, setidaknya mampu mengingatkan mereka bahwa damai itu indah. Demikian catatan pembuka yang ditulis koran harian Tribun Pontianak 25 Agustus 2008, dalam beritanya dengan judul Pesan Perdamaian Lewat Zikir dan Shalawat.

Rasanya sungguhlah berat diajak untuk hinggap sejenak dari rutinitas hidup yang super sibuk di atmosfir kebendaan, untuk mengistirahkan kepakan sayap kemudian tenggelam sejenak ke dalam perenungan. Merenungi eksistensi kemanusiaan dengan sujud lahir-batin adalah salah satu tangga mema’rifati jati diri dan kehadirannya di alam fana. Alangkah jauh dan lamanya kita membiarkan diri terlempar dalam hidup yang hampa tanpa mampu berbuat, kecuali hanya ucapan “maaf, saya lebih mencintai diriku sendiri!” Aku ada tidak lebih hanya mengurusi kemakmuranku, aku berketurunan tidak lebih hanya melulu menyuapi makanannya, bahkan aku beragama pun karena keinginan untuk memasuki surga Tuhan dengan sendirian. “Maaf, di sini telah dibangun surgaku!” Tangga ma’rifat itulah penuntun kita untuk menemukan kesadaran tentang hakekat kemanusiaan, potensi, kualitas dasar, kepribadian, amanah, dan misi diri yang harus ditunaikan selama hidup.

Merupakan sebuah kebanggaan tersendiri sekaligus luapkan rasa rindu saya terhadap puisi dan teater yang dulu pernah bertahun-tahun saya geluti, hari itu terlampiaskan. Segala kerinduan tumpah ruah laksana sepasang kekasih yang kebelet untuk bertemu dalam hangatnya sebuah ciuman. Tepat tanggal 23 Agustus 2008, bertempat di gedung Anex Untan Pontianak, saya diberi kehormatan oleh YSDK untuk berpuisi, berteater, sekaligus berzikir dalam sebuah pementasan Pagelaran Zikir Ilahi Robbi dengan mengambil sebuah tema “Manusia di Titik Nol”. Sebagai tujuan pokok dari pagelaran ini adalah pesan moral yang ingin disampaikan kepada masyarakat akan pentingnya sebuah ‘Perdamaian’. Kedamaian dalam hidup adalah impian dan cita-cita setiap orang. Banyak hal dilakukan agar bisa mendapat kedamaian. Namun sayangnya ada juga orang yang merasa tidak damai melihat kedamaian orang lain. Mereka gerah melihat komunitas lain hidup dengan aman, tentram dan bahagia. Mereka kepanasan melihat keharmonisan di depan mereka. Lalu mereka mengusik dan mengacau seperti melempar batu ke air danau yang tenang.

Islam adalah agama kedamaian. Jauh sebelum United Nation ( PBB ) menandatangani Piagam Human Rightsnya, Rasulullah sudah lebih dulu menandatangani piagam perdamaian begitu beliau sampai di Madinah. Isi pokok Piagam Madinah ialah perjanjian untuk menjalin kehidupan yang damai antara beberapa kelompok yang hidup di Madinah. Meskipun berbeda agama, keyakinan, etnis, suku dan golongan, mereka harus bisa tetap hidup berdampingan dalam suasana damai. Padahal kita tahu, hijrah yang dilakukan Rasul dibayang-bayangi ancaman terror dan pembunuhan. Beliau adalah the most wanted, dikejar dan diburu kaum Quraisy Makkah.

Perasaan damai merupakan anugerah terindah yang diberikan Allah kepada kita, apa artinya harta, jabatan, keturunan dll, jika kata damai masih jauh dari perjalanan hidup ini. Kata ‘Damai’ memang ringan diucapkan, namun sungguhlah berat untuk dibuktikan, sebab itulah pagelaran tersebut dilaksanakan guna mengajak kita untuk berfikir sejenak dalam perenungan yang mendalam

Seperti biasa, acara dimulai dengan sambutan pembuka oleh Aris Bahariono selaku perwakilan dari YSDK sekaligus merangkap sebagai coordinator program. Singkat dan padat beliau mengutarakan maksud dan tujuan diselenggarakannya acara tersebut, hingga tidak kurang dari sepuluh menit, acara langsung dilimpahkan kepada saya sebagai pertanda dimulainya pagelaran ini.

Sebelum Zikir Nazam dilantunkan oleh ke dua belas bapak-bapak yang saya bawa dari Pemangkat – Sambas, terlebih dahulu saya membaca sebuah sajak dengan judul Berzikir dibarengi dengan gemerincing musik Man On Fire dari Kitaro. Sungguh aku tidak tahu apa yang dirasakan oleh penonton ketika dengan khusu’nya bait demi bait sajak tersebut ku baca, yang jelas dalam pembacaan tersebut aku ingin mengajak ke semua yang hadir untuk bertafakkur sambil mema’rifati diri, lantas merenungi hakekat hidup di dunia, dengan membetulkan arah kompas hidup ini agar tidak terus-terusan terbawa oleh lingkaran duniawi yang makin hari-makin menyeret kita untuk jauh dari Ilahi. ( Aku mohon dengan keperkasaan-Mu dan kehinaanku, Agar Engkau mengasihani aku, Aku mohon dengan kekuatan-Mu dan kelemahanku, Dengan kekayaan-Mu dan kebutuhanku, Kepada-Mu, Inilah ubun-ubunku yang pembohong dan penuh dosa, Berada di hadapan-Mu ), itulah sekelumit sajak yang kubawa lantas disusul dengan lengkingan Shalawat Nabi, kemudian bergemuruhlah suara kedua belas bapak-bapak tersebut mendendangkan alunan Zikir Nazam dengan iringan musik rebana, menghentak lalu masuk ke-keindahan alam religi yang syahdu. Dan akupun tidak beranjak dari posisi semula, masih dalam posisi duduk di antara dua sujud aku ikut berzikir dan tenggelam dalam ngilu.

Kurang lebih empat puluh menit kami terus berzikir dan bershalawat atas Rasul. Setelah itu, kelompok ibu-ibu dari grup Zikir Habsi Desa Mekar Sari, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya melanjutkan lantunan zikir. Indah dan merdu, itu komentar saya mendengar suara dari ibu-ibu Mekar Sari. “Suara itu, nada itu, nyaris hilang di Sambas. Tak ada syair zikirmu di masjid-masjid yang berderet di sepanjang pantai utara Sambas. Begitu pun dengan zikir kami, tak pernah terdengarkan di masjid-masjidmu. Masjid kita telah terlemparkan oleh amarah, Syahadat kita sudah terinjak-injak oleh dendam, Aku berharap zikirmu menggugah mata hati kami, ibu”.

Kembali aku tak tahu apa yang dirasakan oleh penonton.

Selesai itu kini giliran dari kelompok dari Pondok Pesantren Darul Khairat – Pontianak asuhan KH. Muhammad Suaidi melanjutkan zikir. Inti dari zikir tetap sama, hanya nada serta lagu yang dibawakan berbeda satu dengan yang lain. Secara keseluruhan, zikir yang dibawakan semua adalah indah dan menyentuh.

Sebenarnya bukan hanya keindahan nada serta merdunya suara saja yang ingin kami cari, namun lebih dari itu. Pagelaran zikir ini selain belajar mema’rifati diri, sekaligus ingin mengajak betapa indahnya kebersamaan. Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar. Akar dari kehidupan kita dalam bermasyarakat adalah persaudaraan, seberapa jauh kita masuk ke dalam diri sendiri lantas menelusuri segala tingkah polah hidup? Masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke panggung dunia yang luas ini, tekunilah! temukanlah! Apa yang bisa kita perbuat?

Setelah zikir, sebagai penghujung pagelaran kembali saya naik panggung diiringi dengan lima anak-anak dari Al-Kautsar memainkan sebuah Teater Play Back. Sebagai informasi tambahan, Teater, menurut Mohammad Kanzunnudin, terambil dari bahasa Yunani theatron dari kata dasar theomai, yang berarti; kagum melihat atau memandang. Dalam perkembangan selanjutnya mempunyai arti; gedung, tempat pertunjukan, pentas, panggung. Selain itu juga berarti penonton, publik, serta naskah atau sandiwara. Dalam arti luas adalah segala jenis tontonan yang dipertontonkan di depan publik, sedang dalam arti sempit adalah kisah kehidupan manusia yang diceritakan di pentas dengan naskah, tarian, nyanyian, atau tidak.

Bentuk dari teater ini memang lain dengan biasanya, sang- aktor memerankan sebuah peran tanpa didukung dengan naskah. Jika bicara teater atau drama tentu tidak bisa terlepas dengan naskah, naskah adalah nafas dari sebuah pementasan, tentunya tanpa naskah sebuah pementasan akan absurd. Di teater ini, naskah tidak berlaku, semuanya mengandalkan improvisasi total. Hanya satu – dua kata saja yang diucapkan itu pun masih improvisasi. Tujuan teater ini bukan me-mentasan satu cerita sesuai dengan apa yang dituliskan oleh sang sutradara, namun berusaha untuk ber-empati dan mengajak penonton untuk bercerita. Cerita dari penonton lantas ditangkap oleh sang dalang/sutradara, kemudian di ekspresikan secara total oleh actor yang memerankan sebagai tokoh dalam cerita dari penonton tersebut. Bentuk ekspresi-cerita itulah yang menjadi titik kekuatan dari teater ini. Tidak berhenti di situ saja, setelah pengekspresian, sang actor dituntut untuk diam-statis (mematung) dengan ekspresi yang tidak pecah/ bubar. Selain itu sang actor juga dituntut untuk membentuk sebuah formasi yang artistic.

Teater Play Back ini sang sutradara tidak berada di belakang layar, namun ikut bergabung dengan para actor di atas panggung. Fungsinya sebagai pengendali sekaligus memperjelas dari cerita penonton yang kemudian di ekspresikan oleh sang actor. Ini memang unik dan susah untuk dilakukan, apalagi actor yang memerankan hanyalah anak-anak kecil yang nota bene adalah anak asuh saya di Al-Kautsar. Sekali lagi itu adalah kebanggaan tersendiri bagi kami.

Sekitar jam 14.30 WIB acara pagelaran selesai. Cerita ini sebenarnya tidak berhenti sampai di sini saja, namun ada peristiwa yang mengiringi di tanggal 24 Agustus ke esokan harinya. Tapi biarkan itu tetap menjadi rahasia bagiku.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Allahu Akbar..,
laa ilaaha illaAllah....!

NOL

tidak ada lagi takut,
tidak ada lagi prasangka,
tidak ada lagi kepentingan,
tidak ada lagi tujuan,

hanya Allah

achmad ridwan mengatakan...

La haula wala kuwwata illa billah, makasih kawan...!