Senin, 04 Agustus 2008

PILOT PROJECT ZONA DAMAI DI KALBAR


Di – 31 Juli 2008, kembali saya diundang oleh Mas Aris Bahariono yang berposisi sebagai koordinator program dalam sebuah Lokakarya Multikulturalisme Jaringan Advokasi Kebijakan Pro-Keadilan Sosial Kalimantan Barat. Acara tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Swadaya Dian Khatulistiwa (YSDK) bekerja sama dengan sebuah yayasan dari Belanda CORDAID bertempat di kota Singkawang Kalimantan Barat. Hadir sebagai nara sumber adalah Drs. Munawar, M.Si (Yayasan Insan Kampus), Hasan Karman (Walikota Singkawang), Mardiana Maya Satrini (Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat) dan yang paling buncit adalah saya sendiri (LPP Al-Kautsar Pemangkat).

Tidak kurang dari 50 orang peserta ikut hadir dalam acara tersebut diantaranya kawan-kawan Forum Rumah Budaya Melayu Kalbar, Ketua Asosiasi Perkumpulan Kepala Desa Kecamatan Selakau, Ketua Dewan Adat Dayak, MiSem, Komnas HAM, CRID, warga relokasi kerusuhan Sambas Mekar Sari, guru, anggota dewan, pers, dan masih banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan.

Dalam hati kecil aku bersyukur sekali ternyata YSDK masih mau melibatkan saya dalam setiap kegiatan. Mulai dari seminar, pertemuan simpul jaringan, pelaksanaan berkunjung masyarakat Mekar Sari ke Sambas – atau masyarakat Sambas ke Mekar Sari, pementasan seni budaya baik yang di Pontianak maupun di Sambas, bahkan rencana dalam waktu dekat tanggal 25 Agustus ini YSDK – MiSem dan Al-Kautsar berusaha mendatangkan budayawan nasional Emha Ainun Nadjib dalam rangka dialog budaya, sekaligus pelaksanaan Zikir Maulud tingkat Kabupaten yang akan dilaksanakan di Pemangkat. Mudah-mudahan itu terwujudkan mengingat begitu sulitnya bagi kami untuk menembus team management Cak Nun biar sekali-kali mau nongol di Pemangkat. Bukan pekerjaan mudah memang mengusung upaya perdamaian di Sambas, ibarat musyafir kami ini berjalan melawan angin, melewati padang gurun yang tentunya tidak meng-enakkan. Masih sedikit masyarakat yang mau berbicara masalah ini dikarenakan terlalu banyak resiko yang akan ditanggung, selain itu kritikan yang bukan main gencarnya sering mampir di telinga kami yang terkadang mampu membuat kentut ini terasa panas. Bagaimana-pun juga semuanya tetap saya serahkan kepada Allah SWT supaya jihad kami ini ada manfaatnya walaupun dalam skala kecil. Besar – kecil memang bukan prioritas, bagi kami yang penting sudah membuat perubahan itu saja.

Kembali ke acara, seperti biasa proses awal dimulai dengan pembukaan serta penjelasan maksud – tujuan kegiatan dan program oleh Marcell D. lodo sebagai pimpinan YSDK. Setelah kurang lebih 15 menit, Walikota Singkawang Bapak Hasan Karman membahas materi pokoknya yang bertemakan “Potensi dan Permasalahan Multikultural Dalam Kerangka Kebijakan Pembangunan Untuk Keadilan Sosial di Kalbar.” Dengan mengangkat sebuah Studi Kasus Singkawang Sebagai Model Kota Damai di Indonesia. Pertama yang beliau bahas adalah Latar Belakang dan Sejarah Multikultural Singkawang yang diawali dengan sejarah awal masuknya manusia pertama yang menginjakkan kakinya di Kalimantan, kemudian disusul dengan penjelasan ‘Tiga Pilar’ suku Kalbar, yakni Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Menurut beliau fenomena kesukuan yang ada di Kalbar ini unik, dalam arti setiap suku manapun entah itu Dayak atau Tionghoa jika sudah masuk Islam maka secara otomatis ia disebut Melayu. Orang-orang Dayak yang sudah masuk Islam kemudian tinggal di lingkungan Islam dan hidup sebagaimana kebiasaan orang Melayu, maka segala tradisi dan aneka budayanya serta merta harus ditinggalkan, begitupun dengan Tionghoa dan lain-lain. Mengenai ‘Tiga Pilar’ ini banyak dari para peserta yang kurang setuju dengan pendapat tersebut, namun karena tujuan diselenggarakannya acara ini bukan untuk mengadili kasus pencurian ayam, jadi situasi yang sempat memanas dapat dikontrol oleh sang moderator.

Setelah itu materi mengarah ke masalah kebijakan tentang komitmen pemerintah Kota Singkawang dalam pelaksanaan pembangunan dengan mempersiapkan pola dasar kota Singkawang untuk jangka waktu 25 tahun, dan rencana strategis 2003-2007 sebagai pedoman dan acuan dalam membangun kota Singkawang. Ada 3 point utama dalam membangun perdamaian melalui keberagaman budaya di kota Singkawang antara lain Pertama, Tujuan; yaitu dengan meningkatkan rasa solidaritas dan toleransi yang tinggi, meningkatkan rasa kebersamaan, serta menciptakan kerukunan masyarakat. Kedua, Arah Kebijakan; dengan mewujudkan Sumber Daya Manusia yang agamis dalam satu kerukunan yang harmonis, membangun struktur dan kultur politik yang demokratis, meningkatkan pelayanan sosial, serta menggali dan mengembangkan segala potensi baik sumber daya alam maupun budaya daerah. Ketiga, Program Kegiatan; dalam program ini setidaknya ada lima unsur yaitu 1). Program Peningkatan Kehidupan Antar Etnis melalui dua kegiatan pokok yaitu membentuk forum komunikasi antar etnis di 5 wilayah kecamatan dan sosialisasi wawasan kebangsaan dan bernegara. 2). Program peningkatan peran partai politik. 3). Program peningkatan seni budaya daerah. 4). Program kehidupan beragama. 5). Pembinaan kesejahteraan sosial. Dan di ujung pembicaraannya bapak walikota mengatakan telah siap untuk menyambut jika Singkawang akan dijadikan pilot project sebagai zona damai di Kalbar. Sebuah langkah maju yang perlu didukung menurut saya.

Selesai bapak walikota kini giliran Drs. Munawar, M.Si dari Yayasan Insan Kampus sekaligus dosen di STAIN Pontianak yang menyampaikan makalahnya. Tema yang beliau angkat adalah “Introduksi Model Pembauran Antar Suku di Kalbar; Sebuah Ide Pendidikan Multikultur”. Sebagai seorang pendidik, langkah untuk memelihara perdamaian di Kalimantan Barat baginya tidak bisa terlepas dari pendidikan itu sendiri. Dalam materinya, beliau menawarkan sebuah konsep Pendidikan Multikultur dengan membuat sebuah modul muatan lokal sebagai model pembauran antar suku di Kalbar bagi sekolah atau madrasah se Kalimantan Barat. Sesuai dengan deskripsi yang beliau tuliskan di makalahnya, bahwa pembauran antar suku di Kalimantan Barat pada dasarnya ingin mengajak siswa untuk memahami dan menerapkan model pembauran tersebut, dan dimulai dari sekolah yang disesuaikan pada kebutuhan daerah saat ini, serta diharapkan dapat memenuhi harapan masyarakat Kalbar untuk hidup damai sejahtera secara permanen di masa mendatang.

Di dalam modul yang beliau utarakan secara garis besar ada 7 bab sebagai rencana isi buku tersebut antara lain; pentingnya perdamaian, makna pembauran, sikap sebagai manusia, cinta toleransi, karakter warga Kalimantan Barat, sejarah konflik Kalimantan Barat dan yang terakhir bentuk-bentuk pembauran.
Bagi saya itu adalah ide yang cukup cemerlang, mengingat anak adalah masa depan manusia. Biar pun coreng – morengnya orang tua asalkan anak bisa mendapatkan pendidikan yang tepat, bukan tidak mungkin seluruh keluarga pun akan mendapatkan manfaatnya. Kebanyakan masyarakat Kalbar – khususnya Pemangkat kurang dapat mempercayai dan memperhatikan serius terhadap pendidikan anak-anaknya. Salah satu alasan kuat bagi saya mendirikan Lembaga Pendidikan di sini-pun karena faktor tersebut. Perhatian utama masyarakat di sini adalah harta, tidak perduli anak kita lulus SD atau tidak yang penting mencari uang adalah di atas segalanya. Jangan heran jika sekali-kali kalian main ke Pemangkat dengan gampangnya menjumpai anak di bawah umur yang saban harinya menjadi kuli pengangkut ikan di pelabuhan-pelabuhan dll.

Konsep Pendidikan Multikultur adalah salah satu wujud penyadaran bagi orang-orang Kalbar terhadap hakekat keberagaman, dan tentunya lembaga sekolah adalah salah satu tempat yang pas untuk mengembangkan konsep sekaligus menerapkan pola dasar yang akan dijadikan acuan tersebut. Hasil akhir yang ingin dicapai adalah tumbuhnya penyadaran bagi anak didik untuk saling memahami dan menerima perbedaan tanpa ada lecutan-lecutan konflik. Kunci pokoknya adalah anak, mengingat anak adalah penerus estafet kehidupan kita sebagai orang tua yang kadung kocar-kacir dalam tata laku bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama.

***
Setelah acara break sebentar untuk sholat dan makan siang, kurang lebih jam 13.30 WIB acara kembali dibuka untuk memasuki sesi ke dua. Pertama yang ditunjuk oleh moderator untuk berbicara adalah saya.

Karena tidak membuat makalah sebelumnya, maka tidak ada yang namanya presentasi dan selebaran yang dapat dibagikan untuk seluruh peserta. Di forum, saya memang tidak memegang satu catatan apa pun kecuali selembar kertas kosong plus sebuah pulpen, dan tak tau-nya ternyata tintanya sudah kering. Setengah mati saya coret-coret kertas kosong tersebut dengan harapan supaya tinta yang kering itu dapat kembali cair. Tapi harapan itu tetap pupus. Tanpa memperdulikan apa-apa akhirnya saya berbicara nerocos begitu saja di forum tersebut persis seperti tukang jamu di pinggiran jalan. Tak peduli orang mau beli atawa tidak, yang penting actions.

Jauh hari setelah Mas Aris menelpon supaya bersedia sebagai nara sumber dalam lokakarya tersebut, saya sudah nolak mati-matian. Saya sadar diri kalau tidak memiliki kemampuan apa-apa, jangankan untuk menjadi nara sumber, sebagai peserta yang disuruh bertanya-pun aku tidak bisa, lantaran memang sains of donk-ku lambat sekali. Setiap persoalan yang dibicarakan orang bagiku butuh dua tahun baru bisa memahaminya. Tidak tahu alasan apa yang membuat mas Aris tetap ngotot menyuruh saya untuk maju.

Dus – topik yang saya angkat bertemakan “Kesadaran Spiritual Kemanusiaan Terhadap Hakekat Keberagaman Dalam Kehidupan Masyarakat (Aspek Sosial, Budaya, Ekonomi dan Politik). Hal yang saya bicarakan sebenarnya tidak jauh dengan apa yang sudah di sampaikan oleh Bapak Munawar, yaitu tentang Pendidikan Multikultur, bedanya, saya menggunakan cerita keseharian hidup sedang beliau lebih dalam bentuk modul pendidikan. Pembicaraan awal, saya membuka dengan sebuah cerita lucu dari anak-anak didik saya yang ada di Al-Kautsar. Sebagai informasi tambahan dalam tulisan ini, sesekali jika ada waktu luang saya yang menggantikan sang istri dalam mengajar di Al-Kautsar.

Suatu hari ada anak yang protes terhadap saya, mengapa setiap mengajar bapak selalu memakai baju yang itu-itu saja, apa tidak ada yang lain, kebetulan beberapa kali ngajar saya selalu memakai baju itu melulu. Baju dengan warna hitam, persis seperti baju seragam karyawan motor, yang saya beli di toko ‘Lelong’ (toko yang menjual baju bekas/rombengan dari Malaysia dan Singapura). Mendengar itu saya kaget bukan main, ternyata anak yang masih usia dini pun memahami ke-eneg-an situasi. Sebagai orang yang akhir-akhir ini dituntut untuk mengusung perdamaian, spontan pola pikir saya mengarah ke issu Pendidikan Multikultur yang memang waktu itu mulai semarak dibicarakan di Kalbar sebagai salah satu terobosan yang cerdas. celoteh tersebut saya apresiasikan ke dunia pendidikan lewat mata pelajaran seni kaligrafi Arab. Setiap pelajaran tersebut sang anak saya tuntut tidak boleh menggunakan cat atau pensil warna (krayon), harus pensil biasa yang berwarna hitam. Setelah sekian lama, sang anak ternyata eneg juga. Mereka protes jika tidak ada warna lain untuk menghiasi kaligrafi tersebut, tanpa sentuhan warna maka lukisan indah itu akan jauh dari nilai-nilai estetik. Percuma donk jika melukis tanpa warna, sanggah mereka. Waktu itu apa yang menjadi rengekan mereka tidak langsung saya tanggapi – walau pada akhirnya saya memberi kelonggaran terhadap mereka, namun prinsip satu warna masih tetap saya terapkan. Sengaja itu saya lakukan dengan tujuan untuk memperhatikan sekaligus menangkap puncak dari emosi anak terhadap pola yang monoton dalam hal ini khasanah keaneka ragaman sebuah warna.

Setelah tragedi protes tadi, cerita berlanjut ke mata pelajaran seni dan teater. Sesekali anak-anak saya ajari tentang drama dan puisi. Kali ini saya mengajak anak-anak untuk memerankan sebagai orang lain. Judul utamanya adalah “Seandainya Saya Boleh Memilih”. (pilihan terhadap suku yang ada di Kalbar). Sang anak saya suruh maju untuk mengekspresikan semua kemauannya supaya berubah dan menjelma menjadi anak dari suku lain, selain suku asli mereka. Beberapa anak ada yang bangga menjadi suku China, Dayak, Bugis, dan hanya sedikit yang memilih Jawa. Parahnya lagi dari semua anak yang maju tidak ada yang mau memilih menjadi Suku Madura. Mendengar cerita itu para peserta tertawa dan ada sebagian yang memberi aplaus.

Dari kedua cerita di atas, saya memaparkan situasi yang serius menyangkut permasalahan konflik yang pernah terjadi di Kalimantan Barat. Untuk membentuk suatu kesadaran yang kokoh terhadap keberbedaan, keberragaman, maka anak adalah usia yang tepat mengingat; anak usia dini pola pikir dan tata hidupnya belum terkontaminasi dengan apa pun. Sejarah konflik yang kadung didengar dari orang tua, tanpa disadari membentuk pola pikir mereka. Stereotype yang kurang baik terhadap salah satu etnis (Madura) misalnya, jika tidak disadarkan dari awal akan membawa akibat yang tidak baik pula. Jadi, secara garis besar – kekurang pahaman terhadap budaya orang lain itulah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya percikan-percikan konflik. Untuk itu sebagai manusia yang beragama, seyogyanya peningkatan kesadaran spiritualitas – kemanusiaan perlu dijaga, serta penemuan kembali rasa cinta terhadap sesama manusia itu menjadi point penting bagi suatu kesadaran. Al-Hadits “Sesungguhnya dalam jasad kita ini ada segumpal darah, jika segumpal darah itu baik secara otomatis baik pula jasad kita – namun sebaliknya, jika segumpal darah itu jelek niscaya rusak pula jasad kita. Itu lah hati”.

Setelah saya nerocos terus-terusan, akhirnya kini giliran dari ibu Mardiana Maya Satrini yang berbicara, topik yang beliau angkat sama dengan topik yang saya sampaikan sebab dari pihak YSDK hanya menyediakan tiga topik besar itu saja yang dijadikan acuan. Sebuah pantun mengatakan “lain ladang lain belalang – lain lubuk lain ikannya” walau pun satu tema, namun pijakan yang dipakai antara saya dengan Ibu Maya berbeda. Saya memakai ‘anak’ sebagai objek pembicaraan, sedangkan beliau memakai ‘perempuan’ sebagai objek pembicaraannya pula.

Dalam setiap konflik perempuan selalu mendapatkan posisi yang kurang mengenakkan serta cenderung menjadi korban, selain anak-anak. Kekerasan sexsual misalnya, adalah tontonan yang paling banyak dialami oleh perempuan dalam situasi konflik. Banyak contoh memaparkan hal tersebut.

Sebagai ketua Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat, dalam hidupnya Ibu Maya selalu berhadapan dengan seribu keluhan kaum perempuan entah itu dalam skup kecil seperti konflik rumah tangga, maupun skup yang lebih besar seperti posisi perempuan menghadapi situasi pasca perang di Kalbar dll. Dalam pemaparannya itu pula beliau bercerita masalah tingginya angka pelacuran di Singkawang – sampai data statistic masyarakat yang positif terkena penyakit HIV AIDS. Sebagai akhir dari pembicaraan, beliau menekankan bahwa perempuan tetap memiliki andil dalam berbagai konflik. perempuan menjadi korban, survivor bahkan pelaku konflik. namun perempuan juga menjadi aktor dalam proses membangun perdamaian dengan pola-pola yang unik. sayangnya dalam berbagai proses penyelesaian damai dalam berbagai kasus partisipasi dan pengakuan terhadap peran perempuan dalam proses membangun justru kurang diakui. untuk itu, jangan sekali-kali meremehkan kekuatan perempuan, sebab baik buruknya sebuah rumah tangga dan bahkan negara bukan terletak di tangan seorang lelaki – melainkan wanita.

Setelah kurang lebih 6 jam akhirnya lokakarya tersebut selesai, kembali bapak Marcell D. Lodo sebagai pemimpin YSDK sekaligus penyelengga acara tersebut memberi sambutan penutup sekaligus ucapan terimakasih kepada semua yang hadir.

Ini bukan akhir namun awal dari sebuah proses mas, kata Aris Bahariono sambil menjabat tanganku dengan erat. Matur nuwun mas kataku sambil nyengir, he..he..!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

untuk menjadi kuat, kita tidak harus menjadi kepala semua, coba bayangkan kalau : Badan kita ini kepala semua, rambut leher kepala, tangan kepala, perutnya kepala, penis kepala, dan kaki jempol semua kepala...?????

achmad ridwan mengatakan...

he..he..asal enggak potong kepala saja kali ya, makasih lho mau mampir di rumah mayaku.