Senin, 16 November 2009

SARJANA

Bukan bermaksud menjelekkan atau membuat remah gelar kesarjana-an yang terlanjur menempel di awal maupun akhir dari nama kita, namun hanyalah sebuah refleksi ringan yang ingin ku tulis.

Rasa-rasanya sudah tidak asing lagi di telinga, begitu banyak kita mendengar bermacam keluhan dari kawan-kawan kita yang terlanjur menyandang predikat sarjana. Keluhan mereka hampir semua seragam, yaitu masalah "lowongan kerja". Lowongan kerja adalah sederet kesempatan yang selalu tidak ada kata jemu untuk kita mengejarnya, dari pagi sampai pagi lagi, bahkan dari hidup sampai hidup lagi, yang namanya pekerjaan selalu dicari letak lowongannya. Setiap bangunan yang berderet di tepi maupun pedalaman jalan selalu sang- manusia mencari tiap relung segala lowongan. Dan lowongan pekerjaan menempati posisi tertinggi dari kebutuhan manusia yang masih terus saja mencari, selebihnya (lowongan yang lain) menempati posisi kedua dan seterusnya.

Lalu, bagaimana nasib dari sang-sarjana?

"Sarjana", manusia mana sich yang tidak mengidam-idamkan predikat tersebut. Dari tahun ke tahun generasi muda kita selalu berlomba untuk memasuki dunia kesarjanaan. Tidak perduli walau letaknya ada di ujung dunia-pun mereka akan mengejar. Segala energi dan materi diperas guna menggapai impian tersebut, bahkan tidak sedikit generasi muda kita yang menjadi gila, gara-gara tidak kesampaian mengejar sarjana. Sarjana adalah bongkahan kemilau emas yang begitu kuat daya pesonanya. Jika diumpamakan ia manusia, wajahnya cantik - se-cantik bidadari, kulitnya putih bersih, parasnya tak ternoda bagai dara dengan rona merah di pipi karena malu. Jika memanggil, telinga ini manja mendengarnya, jika menatap - jantung ini berdegub hebat. Ia adalah sosok yang penuh pesona. Ah...ingin rasanya aku mendapatkan-mu sarjanaku. Jujur saja akupun merindukannya, hingga sekian tahun yang lalu aku berhasil mendekapnya dengan penuh cinta dan kebanggaan.

Tapi perlu diingat, selain cantik - ia-pun matre. Jika mendengar soal uang, wow...bukan main perangainya. Jika ingin mereguk kenikmatan sarjana seyogyanya anda harus punya uang terlebih dahulu. Makanya tidak heran jika banyak dari orang tua yang kebingungan mencarikan uang mahar guna melamar pujaan hati anaknya "si sarjana". Bukan seratus dua ratus ribu saja uang mahar yang harus dibayarkan, melainkan bisa mencapai jutaan, bahkan ratusan juta, bisa dibayangkan alangkah sulitnya.

Ketika sang anak berhasil merebut sang pujaan hati, malam pertama setelah prosesi acara pernikahan, alangkah bahagianya hati. Apalagi kini namanya menempel di awal atau akhir nama kita "Drs. Sarjono, Sarjono, SH, atau Sarjono, S.Hum". Bukan main bangganya kita memiliki predikat tersebut.

Namun hidup tidak berhenti di malam pengantin saja, ia terus berjalan di malam-malam biasa. Malam-malam yang dimiliki manusia normal yang ada di jagad raya ini. Malam - dimana pagi harinya perut ini harus terisi, malam - dimana raga ini harus mencari sesuap nasi. Jika tidak, hidup kita akan tersengal dan mati dalam kekakuan yang bisu. Pergerakan hidup yang begitu cepat membuat kitapun harus cepat bergerak, tidak ada kata perlahan jika ingin menaklukkan sang hidup. Kita akan terus dipepet dan diserempet oleh putaran kesempatan, maka dari itu kita harus pandai mengendarai kendaraan kita. Jika tidak, kita akan terjungkal di tepian jalan raya yang hanya ditutupi dengan selembar daun pisang. Hidup ini ganas, maka kita kita harus keras. Keras dalam bekerja, berfikir, berusaha, dan berkarya. Keras yang kita maksud bukan keras kepala melainkan keras dengan tidak mudah menyerah.

Sebagian orang ada sudah mampu menaklukkan itu, namun masih banyak yang belum mendapat kesempatan untuk menaklukkannya. Salah satu yang belum mampu menaklukkan adalah "Sarjana".

Sarjana itu serba salah. Bagaimana tidak. Begitu ia berhasil mendapatkan sang pujaan hati, ia harus kembali ke kominitas asal, yaitu manusia yang menginjakkan kaki di atas tanah. Ketika masih kuliah, hidup kita sebenarnya tidak menginjakkan kaki di atas tanah - melainkan melayang. Impian kita melayang, pemikiran kita melayang dan terkadang kita merasa menjadi sesosok manusia agung - yang ketika melihat manusia kumal yang sedang bergumal dengan tanah, kita jadi mual.

Sekarang dunia terbalik. Dulunya berada di posisi atas kini harus menerima apa adanya jika harus dijungkiran ke bawah. Sarjana yang terjungkirkan harus menerima dengan ikhlas karena sekarang ia yang bergumal dengan tanah. Jika demikian, apapun yang dilakukan sang sarjana selalu jadi cibiran orang-orang. "Sarjana kok jadi kuli, sarjana kok ngernet bus, sarjana kok jualan ayam"...aduuh, sakit rasanya dikatakan begitu. Makanya jangan heran jika sang-sarjana di manapun berada akan selalu mencari-cari setiap lowongan yang tampaknya kelihatan ber-rongga.

Rongga yang tampaknya masih menganga lebar adalah peluang jadi PNS. Wah, jika ngomong soal PNS, para sarjana yang memang lagi pontang-panting cari yang lowong-lowong jadi terbelalak - berjubel melebihi kaun dhuafa yang antri mendapatkan zakat dari sang dermawan. Satu yang dicari - seribu yang daftar, seratus yang dicari - setengah manusia Indonesia yang daftar. Sungguh panorama indah yang selalu menghias tiap akhir tahun pembukaan lowongan CPNS.

CPNS seolah-olah pilihan satu-satunya dan yang paling pantas dalam mencari pekerjaan bagi sarjana. Kesarjanaan kita kurang dianggap jika belum menjadi Pegawai Negeri Sipil. Apa tidak gila itu!!!

Anehnya lagi, tampaknya para sarjana kita pun termakan oleh pengaruh tersebut. Raut muka mereka menggambarkan kekhawatiran yang sangat hebat jika belum meraih predikat baru tersebut. Kulitnya gatal-gatal terkena enzim status kepegawaian, ubun-ubunnya membludak ingin menerobos masuk ke dalam rengkuhannya biarpun harus membayar dengan sekian puluh bahkan ratusan juta.

"Nasibmu sarjana!!!" engkau dicibir di tepian - namun masih ditolak di putaran kepegawaian, jika begitu...namamu cocok dengan gelarmu "SARJANA=SARJONO" (Bagi yang sarjana dilarang marah, ini hanya cerita fiktif belaka, jika ada kesamaan nama ya...nasib-lah)

Tidak ada komentar: