Senin, 14 Juli 2008

AKU BERTANYA PADA MEDIA MASSA DI KALIMANTAN BARAT


Bukan hal yang aneh, jika manusia sekarang ini dalam hidupnya sudah mencapai tingkat ketergantungan dengan yang namanya media massa. Entah itu media cetak seperti surat kabar, majalah, buku dan lain sebagainya, atau pun media elektronik seperti televisi, radio, tape, hand phone dan masih banyak lagi. Itu semua bergerak dalam lingkaran kehidupan dari kita melek mata, sampai dipejamkannya mata kita oleh ajal. Karena sifatnya yang terus berada di samping kehidupan manusia dan keberadaannya pun sangat diperlukan, secara otomatis apa pun yang keluar dari corong media massa itu mampu membentuk arah dan cara pandang kita dalam mensikapi hidup ini. Seorang presiden mungkin tidak akan takut dengan sidang pertanggung jawaban kepresidenanya, tapi jika sudah ketemu dengan media massa tentu ia akan sangat berhati-hati – mungkin juga takut. Itu salah satu point dari kehebatan media massa. Tapi, dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk membahas tentang manfaat atau madharatnya sebuah media massa karena itu terlalu luas untuk dibahas di sini.
Beberapa waktu yang lalu tepatnya hari Sabtu 14 Juni 2008 di Pontianak, saya diundang untuk ikut dalam sebuah seminar sehari yang diselenggarakan atas kerjasama Aliansi Untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi (ANPRI), Mitra Sekolah Masyarakat (MISEM), Institut Dayakologi, PEK-Pancur Kasih, BK3D, Gemawan, dan Segerak. Dalam seminar itu topik yang dibahas adalah Media Massa di Kalbar Menciptakan Konflik Atau Membangun Dan Memelihara Perdamaian (Peace Building). Sebuah tema yang cukup luar biasa, apalagi untuk kapasitas orang seperti aku yang kalau diukur dari segi intelektual masih di bawah standar ditambah aku bukan orang yang pandai menulis, jadi dikalangan media massa aku seperti orang kesasar yang salah masuk rumah orang untung saja tidak diteriaki copet.
Kesan pertama yang kutangkap begitu aku masuk dalam ruangan adalah minder setengah mati, bagaimana tidak, acara yang diselenggarakan itu live di salah satu televisi lokal di Pontianak, yaitu RUAI TV. Lumayan sich sebenarnya bisa numpang ngeceng sebentar di layar kaca, he..he..! Tidak hanya itu saja TVRI Pontianak, RRI, Harian Pontianak Post serta salah satu guru besar sosiologi fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNTAN Prof. Syarif Ibrahim Alqadrie, turut sebagai panelis diacara tersebut.
Yang beruntung mendapat nomer urut pertama untuk mempresentasikan makalahnya adalah bapak professor tersebut. Ada poin menarik ketika beliau membahas secara panjang lebar tentang makalahnya yaitu; “Hipotesis 2020.” Apanya yang menarik? Di situ beliau menuliskan bahwa pertikaian besar-besaran akan terjadi lagi di Kalimantan Barat dalam pereode ke lima pada 3 (tiga) dekade mendatang, yakni pada tahun 2020-an. Yang dijadikan acuan dasar adalah sejarah meletusnya konflik yang terjadi, dan kemudian secara kebetulan itu terjadi selama 4 (empat) periode dalam setiap 30 tahunan sekali, yaitu 1900-an, 1930-an, 1960-an dan 1990-an. Dari situlah beliau melakukan penelitian yang kemudian dijadikan sebagai hipotesis. Kontan saja kritikan meluncur, andaikan analisa bapak itu benar dan di Kalbar tahun 2020 terjadi perang maka kami akan dengan gempang menemukan siapa di balik perang tersebut, jelas jawabannya adalah bapak sendirilah yang menjadi dalangnya. Mendengar kritikan itu beliau tersenyum simpul.
Setelah profesor selesai yang mendapat giliran berikutnya adalah para panelis dari media masa, dimulai dari Harian Pontianak Post yang dianggap sebagai soko guru media masa di Kalbar, lalu TVRI Pontianak, kemudian RRI dan yang terakhir adalah RUAI TV. Semua mengatakan ketika terjadi konflik di Kalbar, media masa sudah menempatkan posisinya sebagai corong masyarakat yang adil serta menjunjung tinggi profesionalitas. Mereka membantah keras ketika ada salah seorang mengkritik terhadap Pontianak Post yang pada waktu itu masih bernama Harian Akcaya, ketika perang 1999 meletus media tidak bisa menempatkan atau mengambil keputusan yang arif untuk memuat/ memberitakan kejadian-kejadian, mana yang sifatnya news atau tidak. Segala sumber berita dimuat tanpa memilah-milah. Sebagai contoh Akcaya pernah memuat pemberitaan mengenai rencana penyerbuan balik oleh orang-orang Madura kepada orang-orang Melayu, atau rencana-rencana yang sifatnya memprovokasi dll. Dan ternyata masyarakat pada waktu itu diserang ketakutan-ketakutan yang ternyata sumbernya dari media masa sendiri. Itu membuktikan jelas ketidak provisionalan media. Atas pertanyaan ini mereka membantah dengan keras. Entah mana yang benar akupun tidak mengetahuinya, karena kebetulan saat itu aku masih di Yogyakarta sebagai mahasiswa yang super malas.
Ketika giliran RUAI TV berbicara, mereka lebih banyak membahas tentang simbol-simbol filosofis yang tergambar sebagai logo televise tersebut. Menurutnya, hanya tiga etnis besar sajalah yaitu Melayu, Dayak dan Cina yang mampu mengkaunter segala konflik. Kontan saja metode berfikir seperti itu mendapatkan sanggahan keras dari para peserta yang ikut dalam seminar. Alhasil, aku pun sekali lagi tidak mendapatkan poin yang menggembirakan.
Setelah dua jam lebih acara berlangsung, ternyata volume pembahasan yang disajikan hanya berputar-putar tentang masalah yang tidak terlalu besar yaitu konflik yang terjadi di Pontianak, yang disebut “Konflik Gang 16”. Mengapa hanya konflik kecil yang dibicarakan di sini, sementara tragedi Sambas yang sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu dan bahkan dunia pun mengetahuinya tidak dibahas serius di sini dan hanya sekilas saja disinggung? Sementara kasus gang 16 sendiri yang aku pun saja tidak mengetahuinya kok setengah mati dibahas? Dengan lantang aku bertanya tentang itu. Ujung-ujungnya aku pun tau, ternyata belum ada keberanian. Semoga tahun 2020 Kalimantan Barat tidak akan terjadi perang seperti yang digambarkan profesor di atas, namun sebaliknya akan terkuak misteri kabut yang membungkus rekonsiliasi ini dengan kegelapannya menuju jalan terang yaitu “Damai”. Amin.

Tidak ada komentar: