Senin, 14 Juli 2008

INVISIBLE POWER VS REKONSILIASI


Seluruh manusia di jagat bumi ini, baik pria atau wanita, dewasa maupun anak-anak bahkan mungkin binatang pun mempunyai ketakutan terhadap yang namanya hantu atau siluman. Secara umum semua berpendapat bahwa ia adalah sejenis makhluk halus, secara harfiah ada, namun tak mampu untuk kita lihat alias sembunyi atau terselubung. Islam sangat jelas berbicara tentang masalah ini. Dan karena tuntutan dari ilmu pengetahuan yang modern dan empiris maka kita menjadi kerepotan untuk memetakan keberadaannya.
Kemudian, istilah tersebut diadopsi (dianalogikan) untuk bermacam fenomena atau kejadian yang terpampang di depan mata kita, benar-benar nyata, menyentuh bahkan mungkin sedang melanda kita, tetapi memiliki sifat yang tidak tersentuh, benar-benar rahasia dan tabu untuk kita ucapkan. Ada konsekwensi tegas apabila kita berani untuk membongkar atau mengangkat sifat silumannya itu.
Sebagai contoh, kita sering mendengar istilah manusia siluman (invisible man), tangan siluman (invisible hand), kekuatan atau kekuasaan tersembunyi (invisible power), kejahatan terselubung (invisible/hidden crime), dan sebagainya sesuai dengan konteks yang mengiringinya. Tetapi yang perlu digaris bawahi semua itu mengacu kepada sesuatu yang menakutkan, berbahaya, dan kekuasaan besar yang menekan. Dalam hal ini adalah kekuasaan atau kekuatan dalam konteks politik, namun saya ingin mengajak melihat persoalan ini dari sisi budaya politik.
Jum’at 30 Mei 2008 di Pontianak, saya ikut hadir dalam sebuah seminar sehari yang diselenggarakan oleh Yayasan Swadaya Dian Khatulistiwa (YSDK) bekerjasama dengan CORDAID sebuah LSM Internasional dari Belanda, dan kebetulan saya ditunjuk sebagai moderator di sisen kedua, mengangkat sebuah tema yang cukup menarik yaitu; Pengembangan Kebijakan Pembangunan Perdamaian Berkelanjutan di Kalimantan Barat. Hadir di situ Kepala Badan Kesbanglinmas Prov Kalbar Toto WD, S.Sos namun diwakili oleh Drs. Usmandi (yang membacakan materi dalam seminar itu), Ahmad Shiddiq Anggota perwakilan Komnas HAM Kalbar, tokoh agama, anggota legislatif, masyarakat, aktivis perempuan, akademisi dll.
Materi yang dibacakan menyangkut tentang komitmen pemerintah terhadap Perda Prov Kalbar No. 10/2005 tentang membangun harmonisasi antar etnis di Kalbar masuk dalam RPJMD Prov Kalbar 2006-2008 yang telah menetapkan visi pembangunan daerah, yaitu terwujudnya masyarakat Kalbar yang harmonis dalam etnis, maju dalam usaha dan tertib dalam pemerintahan. (Pontianak Post 31 Mei 2008)
Bukan rahasial lagi bagi kita mungkin juga bagi dunia, bahwa Kalimantan Barat tepatnya di daerah Sambas pernah tertorehkan sejarah pahit sekaligus berdarah tepatnya tahun 1999, yaitu konflik etnis Melayu (Sambas) dengan etnis Madura. Entah berapa ribu nyawa melayang dan berapa banyak jumlah kerugian materi atau infrastruktur (rumah, tanah, binatang terbak dll) yang diakibatkan dari tragedi perang tersebut. Maka tidak mengherankan Sambas di mata pemerintahan pusat (Jakarta) dikategorikan sebagai ‘kawasan merah’ yang perlu mendapatkan prioritas khusus dalam hal penanganan konflik. Bukan suatu prestasi yang bisa diceritakan untuk anak cucu.
Sampai tahun ini yaitu 2008 permasalahan yang pernah tertorehkan tidak ada jeluntrungnya (penyelesaian). Memang sudah sepuluh tahun teragedi itu berakhir dalam arti perang fisik, namun perang yang bersifat non fisik – universal dalam artian mencakup seluruh aspek kehidupan manusia bisa dikatakan belum berhenti. Akhirnya muncul beberapa pertanyaan yang sangat wajar sekali dari setiap akal dan pikiran manusia, yaitu kenapa? Dan apa yang terjadi?. Seharusnya pemerintah jangan tersinggung – apalagi sampai dikatakan SARA apabila ada beberapa masyarakat yang mencoba memberanikan diri untuk menggelitik para pemangku kebijakan biar mau menjelaskan permasalahan ini secara serius. Dengan catatan ‘jangan sekali-kali diboncengi dengan muatan politik kepentingan’ sebab yakinlah rakyat pasti akan kecewa.
Point lain dari seminar sehari tersebut yang berhasil diungkapkan adalah permasalahan HAM. Sesuai dengan yang di tuturkan oleh Ahmad Siddiq, bahwa pembangunan perdamaian (peace building) di Kalimantan Barat mengalami stagnasi, bahkan lebih ironisnya lagi kebijakan pembangunan di Kalbar banyak yang tidak berspektif HAM dalam hal ini diabaikan, dirahasiakan, disilumankan, ditabukan dll. Sampai sekarang semuanya masih ruwet dan membingungkan. Kekuatan apa yang mengendon di balik itu semua? Belum terkuak.
Ada semacam asumsi dasar yang membuat kita jadi sedikit garuk-garuk kepala/berpikir, apa benar permasalahan ini oleh pihak pemerintah dicuekin begitu saja, ditutupi atau sengaja ditutup-tutupi mungkin, atau ada kekuatan dari kekuasaan yang besar dan kuat yang secara langsung atau tidak kita sadari justru menjadi dalang atas buntunya jalan menuju perdamaian di Sambas ini, atau barang kali ada istilah yang lebih ngetren yaitu ‘biar alamiah’ nanti toh sekian tahun atau sekian generasi yang akan datang peristiwa ini pun akan terlupakan, lagian enggak ada kok yang berani bertanggung jawab. Apa memang seperti itu? ini menguji andrenalin kita kata Aris Bahariyono sebagai koordinator program.
Kembali ke konsep awal. Siluman atau hantu, setan, dedemit, gendoruwo, wewe gombel, kolor ijo, kolor biru, kolor kuning sampai kolor bontex dan seribu jenis namanya itu, memiliki satu visi yang jelas, yaitu menyeret manusia untuk keluar dari jalur yang sudah ditetapkan oleh Tuhan melalui sebuah ketentuan hukum yang tegas, yaitu agama. Ketika manusia terseret dari jalur agama, maka manusia berada dalam posisi yang mundur dalam arti terlempar dari level ketakwaan. Sementara bagi setan ia berada dalam posisi maju ketika berhasil menyeret manusia, dalam arti juga ia masuk pada level yang lebih tinggi. Demikian seterusnya.
Untuk membelokkan rel/jalur manusia yang sudah ditentukan agama tersebut, tentunya si hantu harus memiliki invisible power kekuasaan/kekuatan tersembunyi. Itulah sebabnya banyak manusia yang tidak mampu untuk melawan, apalagi ditambah dengan minimnya kekuatan agama yang bersumber dari Allah SWT yang hanya sekian persen ia miliki.
Dalam dunia politik pun demikian, kekuasaan yang kuat secara langsung atau tidak mampu mengontrol segalanya. Apa hubungan itu semua dengan perdamaian di Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Sambas? Kecurigaan besar adalah tertuju pada Proyek Kelapa Sawit yang sedang dikembangkan di Sambas. Why?
Pertama, pemilik modal besar sengaja menskinariokan ketidak amanan itu agar tidak terjadi persaingan proyek (antara proyek sawit dengan proyek non sawit). Sudah bukan rahasia lagi kalau Sambas dalam rencana ke depan akan dijadikan kawasan Hutan Sawit dalam skala besar-besaran dengan proyek seluas 600 ribu hektar. Subhana Allah, terus terang saya tidak bisa membayangkan apa jadinya Sambas nanti. Hanya segelintir orang saja yang menikmati kelezatan proyek ini yang tentunya si pemilik proyek dan kroni-kroninya, selebihnya adalah kehancuran total. Tanah yang mati lantaran habis unsur haranya termakan sawit, kemudian disusul dengan krisis air yang semakin parah terhisap habis oleh sawit. Sambas akan menjelma sebagai daerah tandus yang menjanjikan kematian bagi anak cucu, karena masa produktifitas dari sawit sendiri hanya sekitar 25 sampai 30 tahun saja. Coba anda bayangkan! Belum lagi ditambah dengan persoalan hak milik tanah karena ada sengketa serius yang terjadi di Sambas akhir-akhir ini, sampai-sampai masyarakat ramai berdemonstrasi menuntut hak tanah mereka karena merasa tercaplok oleh proyek. Kalau Sambas masuk dalam kategori aman tentunya persaingan akan muncul hingga tidak ada lagi yang namanya monopoli proyek.
Kedua, kalau keadaan di atas bisa dikontrol tentunya masyarakat yang notabene adalah orang-orang Suku Madura, dalam hal ini korban kerusuhan 1999 yang mempunyai tanah di Sambas akan beramai-ramai menuntut hak tanah mereka yang selama ini ternyata masih belum ada penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah secara jelas. Dan diperparah lagi adanya beberapa oknum masyarakat Melayu sendiri atau bisa dibilang banyak sekali, yang secara terang-terangan atau pun sembunyi-sembunyi mengambil tanah orang-orang Madura yang pada waktu itu memang harus mereka tinggalkan. Dus, Proses untuk mengambil atau menjual tanah itu sendiri pun sampai sekarang masih sangat-sangatlah sulit. Jangankan untuk mengurus tanah, ingin bersilaturrahmi ke sanak famili atau tradisi ziarah kubur ke Sambas pun mereka harus berpikir seribu kali. Mulai dari unsur terbawah sampai teratas dari hirarkhi kepemerintahan tidak ada satu pun yang berani menjamin keselamatan mereka, apa lagi untuk mengurus ini-itu.
Ketiga, lambatnya proses rekonsiliasi dikarenakan sudah saking tingginya unsur KKN. Mengapa demikian? Jelas, adanya kong-kalikong antara pengusaha proyek dan pemerintah. Memang benar tidak ada yang berani menjamin keselamatan rakyat Madura untuk kembali ke Sambas, bahkan dari masyarakat Maduranya pun keinginan untuk kembali sudah tidak ada lagi. Bukan itu permasalahannya, tetapi pengangkangan hak itu lah yang perlu dipertanyakan. Kalau mau jujur, keinginan untuk kembali itu tetap ada kok, manusia mana sich yang dalam hidupnya tidak pernah memiliki perasaan rindu akan kampung halamannya. Mereka banyak yang terlahir di Sambas, tumbuh besar di Sambas melakukan perkawinan campuran (Madura – Melayu/ Madura – Dayak dll), bahkan banyak orang Madura Sambas yang sampai sekarang tidak pernah menginjakkan kakinya ke tanah Madura yang asli.
Kenapa sampai bisa seperti itu? Ada kekuatan apa? Pertanyaan besar itu sempat saya luncurkan, namun tidak ada satu pun jawaban yang bisa memuaskan. Selama ini prinsip pluralisme yang berkembang di Kalimantan Barat pada umumnya dan Sambas khususnya tidak lebih hanya melibatkan tiga etnis besar saja yaitu Melayu, Dayak dan Cina. Kalau tiga etnis besar itu sepakan untuk bergerak, maka konflik yang ada di bumi Borneo ini akan segera tertuntaskan. Apa memang demikian? Bukankah Kalimantan Barat dihuni oleh banyak sekali etnis, kalau begitu apa arti etnis yang lain? Apakah Jawa hanya sebagai tukang bakso kemudian punya ide kreatif sedikit mengembangkan odong-odong, lantas Bugis sebagai nelayan miskin yang saban hari bisa-nya cuma cari ikan teri melulu, lalu Madura selain selalu buat onar katanya bisa-nya hanya cari-cari besi bekas lantas dioleh menjadi palu kemudian dipakai untuk memukul kepala Madura sendiri biar benjut se-benjut-benjutnya and so..and so?
Intinya, acara seminar sehari tersebut memang kami belum mampu menemukan komitmen pemerintah yang konkrit, namun minimal kami sudah berani menggugah itu semua. Apakah ada perubahan atau tidak, tanyakan pada sawit yang bergoyang.

Tidak ada komentar: